Opini

Merawat MoU Helsinki dan Merevisi UUPA

PERDAMAIAN Aceh yang ditandai dengan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

Editor: bakri
IST
Suasana diskusi Surah Damai 12 Tahun MoU Helsinki, di gedung Bale Gadeng Yogyakarta, Sabtu (12/8/2017). 

Oleh Zahlul Pasha

PERDAMAIAN Aceh yang ditandai dengan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI, kini telah berusia 12 tahun (15 Agustus 2005 - 15 Agustus 2017). Bagi sebuah usaha damai, ini adalah usia yang relatif matang dalam menciptakan komitmen dan iklim kondusif bagi upaya rehabilitasi pembangunan Aceh pascakonflik. Meskipun demikian, tidak semua komitmen yang tertuang dalam MoU Helsinki berhasil direalisasikan sepenuhnya oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat.

Dari 71 Pasal MoU Helsinki, terdapat 10 Pasal yang sampai saat ini belum terealisasi. Ada yang sudah diupayakan realisasinya oleh Pemerintah Aceh, namun terkendala di tingkat pemerintah pusat. Pertama, poin 1.1.3 menyangkut dengan nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh Legislatif Aceh setelah pemilu yang akan datang (2009). Kedua, poin 1.1.4 perbatasan Aceh (dengan Sumatera Utara, pen) merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956. Ketiga, poin 1.1.5 Aceh memiliki hak menggunakan simbol-simbol wilayah, termasuk bendera, lambang dan hymne.

Keempat, poin 1.3.1 Aceh berhak memperoleh dana melalui utang luar negeri. Aceh juga berhak menentapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral RI (Bank Indonesia). Kelima, poin 1.3.8 Pemerintah RI dan Aceh menyetujui auditor luar melakukan verifikasi atas pengumpulan dan pengalokasian pendapatan antara pusat dengan Aceh. Keenam, poin 1.4.3 suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi dibentuk di Aceh dalam sistem peradilan RI.

Ketujuh, poin 1.4.5 semua kejahatan sipil yang dilakukan aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil (Pengadilan Negeri, pen) di Aceh. Kedelapan, Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh untuk diberikan kepada semua mantan pasukan GAM, semua tahanan politik yang memperoleh amnesti dan rakyat sipil yang dapat menunjukkan kerugian jelas akibat konflik. Kesembilan, Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim yang tidak terealisasikan. Kesepuluh, pasukan GAM akan memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan sebagai polisi dan tentara organik di Aceh tanpa diskriminasi dan sesuai dengan standar Nasional.

Landasan penting
Satu mandat dari MoU Helsinki yang telah mampu mengubah arah pembangunan Aceh pascakonflik adalah pembentukan Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Peraturan ini kemudian memberikan kesempatan lebih luas bagi Aceh untuk mengelola pemerintahan sendiri, baik dari sisi manajemen sumber daya alam, ekonomi dan politik. Kehadiran UUPA diyakini menjadi landasan penting yang dihadirkan negara bagi terwujudnya kesejahteraan dan perdamaian abadi di Aceh.

Meskipun demikian, layaknya MoU Helsinki yang masih menyisakan persoalan, hal yang sama juga dialami oleh UUPA. Seringkali ia dianggap bermasalah ketika norma pasal-pasalnya menegasikan kepentingan pihak atau kelompok tertentu, sehingga upaya hukum pun ditempuh untuk menilai kekuatan mengikatnya. Sejauh ini, setidaknya terdapat 5 pasal UUPA yang dianggap bermasalah, di antaranya ada yang telah dibatalkan MK melalui mekanisme judicial review, dicabut oleh DPR melalui proses legislative review, dan ada pula yang diabaikan sama sekali oleh pemerintah pusat.

Adapun rincian kelima pasal tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, pengabaian Pasal 74 UUPA oleh MK. Satu klausul pasal yang diabaikan sejak undang-undang keistimewaan ini disahkan terkait dengan ketentuan Pasal 74 UUPA yang menentukan bahwa sengketa hasil pemilihan Kepala Daerah di Aceh diselesaikan melalui Mahkamah Agung (MA). Akan tetapi, MA tidak pernah mengadili sengketa hasil Pilkada Aceh karena MA menilai kewenangan mengadili sengketa pilkada telah dialihkan ke MK.

Kedua, pengangkatan Kepala Badan Reintegrasi dan Kependudukan Aceh oleh Mendagri yang menimbulkan polemik antara Pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat. Hal ini dikarenakan Pemerintah Aceh mengklaim sesuai Pasal 110 dan 111 UUPA, kepala dinas, badan, dan kantor diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur dan Bupati/Wali Kota atas usul Sekretaris Daerah. Sedangkan Mendagri berpendapat bahwa pemerintah berwenang mengangkat Kepala Badan Reintegrasi dan Kependudukan Aceh berdasarkan Pasal 83A UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Permendagri No.76 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pejabat yang Menangani Urusan Administrasi Kependudukan di Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Ketiga, pencabutan Pasal 256 UUPA yang mengatur calon perseorangan dalam Pilkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d dibatalkan oleh MK yang memberikan peluang bagi daerah lain untuk dapat mengajukan dirinya sebagai calon kepala daerah dari jalur perseorangan. Putusan ini pula yang membuka “keran” demokratisasi di Indonesia, sehingga MK membolehkan calon kepala daerah di provinsi lain mencalonkan diri melalui jalur independen tanpa dukungan partai politik sama sekali. Satu hal yang belum pernah terjadi di Indonesia pada masa-masa sebelumnya.

Keempat, pencabutan Pasal 67 ayat (2) huruf g oleh MK yang mengatur tentang persyaratan calon kepala daerah yang tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan dengan hukuman penjara minimal 5 tahun yang diajukan oleh mantan Gubernur Aceh, Abdullah Puteh. MK menilai pasal tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Kelima, pencabutan Pasal 57 dan Pasal 60 UUPA melalui UU Pemilu yang disahkan oleh DPR beberapa waktu lalu. Di dalam Pasal 571 huruf D UU Pemilu disebutkan bahwa Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), (2), (3) serta (4) UUPA dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Keseluruhan pasal yang disebutkan dalam Pasal 571 huruf D itu berkaitan erat dengan penyelenggara pemilu di Aceh, yakni Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan Panwaslih Aceh yang menurut pembentuk harus dicabut dan disesuikan dengan UU Pemilu.

Tak berjalan mulus
Dari kelima poin yang di atas, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa upaya merawat perdamaian Aceh selama ini tidak selamanya berjalan mulus. Baik MoU Helsinki dan UUPA sebagai turunannya masih menyisakan kelemahan mendasar. Jika masalah MoU Helsinki menyangkut sejumlah poin yang belum terealisasi, maka UUPA mengalami kelemahan pasal yang justru tidak mampu menyesuaikan ketentuan mengikatnya dengan berbagai perkembangan yang semakin pesat. Akibatnya, ketentuan dalam UUPA menjadi tertinggal, karena tidak mampu menyesuaikan dirinya dengan perkembangan ketatanageraan di Indonesia.

Kondisi ini dikarenakan banyak dari kita menganggap bahwa UUPA merupakan “kitab suci” Pemerintah Aceh, di mana ketentuan-ketentuan di dalamnya harus diletakkan pada kedudukan yang setinggi-tingginya dan tidak boleh diganggu-gugat oleh siapapun. Jika pandangan demikian terus-menerus diyakini, niscaya keberadaan UUPA beserta pasal-pasal di dalamnya semakin hari akan terus direduksi oleh peraturan perundang-undangan lain yang lahir untuk menjawab problema ketatanegaraan. Bukan tidak mungkin, suatu hari nanti UUPA akan hilang kesaktiannya dan kekhususan Aceh yang kini dimiliki hanya dapat diketahui lewat sejarahnya saja.

Suatu produk hukum sejatinya patut direvisi (diubah) dikarenakan beberapa sebab (Wicipto Setiadi: 2013). Pertama, terjadi pertentangan antar UU yang dihasilkan dengan UUD NRI 1945 (dasar konstitusional). Kedua, tumpang-tindih peraturan baik secara vertikal maupun horizontal. Terkadang UU dikesampingkan oleh peraturan di bawahnya atau antara setingkat UU itu sendiri. Ketiga, daya laku vis a vis daya guna, beberapa UU yang dihasilkan walaupun populis di masyarakat, tetapi dalam pelaksanaan dan penegakannya tidak maksimal.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved