Opini

Jejak Proto-Austronesia dalam Bahasa Aceh

TIDAK dapat dipungkiri bahwa keberadaan suatu bahasa dalam masyarakat merupakan anugerah yang tidak

Editor: bakri
SERAMBI/SAID KAMARUZZAMAN
Kepala Balai Bahasa Aceh Muhammad Muis berbicara dalam penyuluhan Bahasa Indonesia untuk media massa yang berlangsung di aula kantor BPSDM Aceh, Banda Aceh, Rabu (4/10/2017). 

Oleh Nurmaida

TIDAK dapat dipungkiri bahwa keberadaan suatu bahasa dalam masyarakat merupakan anugerah yang tidak ternilai dari yang Maha Kuasa. Bahasa yang kita gunakan saat ini, telah ada sejak turun temurun, tidak terbentuk begitu saja secara tiba-tiba, tetapi berasal dari bahasa yang satu (proto bahasa). Bahasa proto itu kemudian mengalami perkembangan dengan caranya sendiri dalam waktu yang relatif panjang, hingga sampai pada bahasa sekarang.

Bahasa-bahasa di Nusantara yang dituturkan di seluruh kepulauan Indonesia merupakan bahasa-bahasa yang terwariskan dari satu rumpun yang mempunyai penutur terbanyak di dunia, yaitu rumpun bahasa Austronesia atau dikenal juga dengan nama proto-Ausronesia. Rumpun bahasa Austronesia merupakan satu keluarga bahasa tua. Nama Austronesia berasal dari kata Latin, auster yang berarti “angin selatan” dan kata Greek nêsos yang berarti “pulau”.

Para penutur bahasa Austronesia dihipotesiskan berasal dari daerah yang sekarang disebut Cina bagian selatan. Mereka sekitar 4.000 tahun yang lalu bermigrasi ke Taiwan, kemudian menyebar ke Filipina, Indonesia, dan ke Madagaskar dekat benua Afrika, serta ke seluruh lautan Pasifik (Dempwolff, 1956). Penyebaran mereka ke beberapa wilayah tersebut, dengan sendirinya telah menyebabkan penyebaran dan perkembangan bahasa yang mereka tuturkan.

Bahasa Aceh
Satu bahasa yang dituturkan di wilayah barat Nusantara adalah bahasa Aceh. Bahasa Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Chamic, cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia, cabang dari rumpun bahasa Austronesia. Rumpun bahasa Melayu-Polinesia adalah sebuah cabang utama dari rumpun bahasa Austronesia yang mencakup semua bahasa Austronesia yang dipertuturkan di luar Taiwan dan memiliki jumlah penutur sekitar 351 juta jiwa.

Secara luas Bahasa-bahasa Melayu-Polinesia (MP) terbagi dalam dua subkelompok utama, yaitu Melayu-Polinesia Barat dan Melayu-Polinesia Tengah bagian Timur. Bahasa Malayo-Polinesia Barat Dalam (Hesperonia Dalam), terdapat di Indonesia Barat, Bugis, Aceh, Cham (di Vietnam dan Kamboja), Melayu, Indonesia, Iban, Sunda, Jawa, Bali, Chamoru, dan Palau. Bahasa Malayo-Polinesia-Timur, bahasa Malayo-Polinesia Tengah atau bahasa Bandanesia yang terdapat sekitar Laut Banda yaitu bahasa-bahasa di Pulau Timor, Sumba, Flores, dan juga di Maluku.

Bahasa Malayo-Polinesia Timur atau disebut juga bahasa Melanesia Halmahera Selatan-Papua Barat-Laut, beberapa bahasa di pulau Halmahera dan sebelah barat pulau Irian, contohnya bahasa Taba dan bahasa Biak. Bahasa Oseanik, termasuk semua bahasa-bahasa Austronesia di Melanesia dari Jayapura ke timur, Polinesia dan sebagian besar Mikronesia.

Sebagai satu rumpun bahasa Melayu Barat Polenesia yang merupakan salah satu cabang dari bahasa Austronesia, bahasa Aceh merefleksikan ciri-ciri kesamaan dalam bentuk fonologi, morfologi, dan leksikal dengan bahasa tuanya (proto) Austronesia. Namun seiring perjalanan waktu, bentuk fonologi, morfologi, dan leksikon berangsur mengalami perubahan dari proto aslinya. Perubahan fonologi dn morfologi cenderung lambang dan teratur sedangkan perubahan leksikon berubah lebih cepat mengikuti keadaan sosial budaya dan lingkungan dimana bahasa tersebut dituturkan.

Bahasa Aceh yang ditutukan oleh masyarakat Aceh yang mendiami pantai Barat ujung pulau Sumatera merupakan penerusan dari Proto Austronesia (PAN) dari subgroup Melayu Chamic (Blust: 2014). Runpun bahasa Autronesia itu sendiri terdiri dari 1.200 bahasa dan dituturkan lebih dari 270 juta jiwa telah mengalami perjalanan waktu yang sangat panjang hingga menjadi bahasa seperti sekarang, di antaranya penerusannya sampai kepada bahasa Aceh. Untuk melihat perjalanan bahasanya dari bahasa proto, banyak aspek yang dapat dijadikan acuan di antaranya lokasi, lingkungan fisik dimana penutur itu tinggal, flora dan fauna, antropologi fisik, latar belakang sosial dan dan budaya, kontak luar dan prasejarah.

Dari segi lokasi, Aceh terletak di ujung Barat pulau Sumatera dan merupakan satu provinsi negara Republik Indonesia. Terkait dengan lingkungan fisiknya, penduduk yang menuturkan bahasa Austronesia tinggal di daerah 8 derjat dari equator. Dengan demikian, daerah beriklim tropis dan sub tropis. Ciri ini sesuai dengan letak geografis dan iklim yang terdapat di provinsi Aceh.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa bahasa Aceh memiliki ciri kesamaan dengan proto-Austronesia. Ciri ini telihat dari beberapa kesamaan dari segi linguistiknya yang mencakup segi fonologi, morfologi leksikal dan semantisnya. Beberapa bukti linguistik dibawah ini menunjukkan kesamaan bahasa Aceh dengan proto-Austronesia. Dalam melihat bukti linguistik proto-Austronesia dalam bahasa Aceh ini digunakan metode perbandingan kamus PAN hasil rekonstruksi Dempwolf (1938) dan Blust (2014).

Bukti linguistik
Bukti linguistik dalam kata budaya dasar dapat di lihat persamaan ciri linguistik dari bagian bagian tubuh, kata ganti, kehidupan desa dan masyarakat, rumah dan bagian-bagiannya, peralatan dan perlengkapan, makanan dan minuman, tanaman (halaman dan pepohonan), binatang, musim (keadaan alam, benda alam, dan arah), penyakit dan pengobatan, perangai (kata sifat dan warna), mata pecarian, pakaian dan perhiasan, permainan, gerak dan kerja, kata bilangan, dan kata tugas.

Mengapa digunakan acuan kosa kata dasar? Ini tidak lain karena kosa kata dasar merupakan kosa kata yang bisa bertahan lama dan sulit berubah, sehingga dapat bertahan hidup ribuan tahun lamanya.

Pada bagian tubuh terdapat bukti linguistik PAN *gigi yang bermakna ‘gigi’ rekonstruksi (PANDLO) memiliki kesamaan ciri dalam bahasa Aceh menjadi gigo atau igo di beberapa daerah. Hampir semua fonem memiliki kesamaan dengan PAN kecuali vokal /i/ yang berubah menjadi vokal rendah. PAN *kaki rekonstruksi (PAND) memiliki kesamaan ciri dalam bahasa Aceh menjadi gaki atau aki di beberapa daerah.

Sebagian besar fonem PAN terwaris sama dalam bahasa Aceh, kecuali fonem konsonan velar tak bersuara PAN menjadi fonem velar bersuara dalam bahasa Aceh. Dan, di beberapa tempat terjadi peristiwa aferesis (penghilangan) konsonan PAN dalam bahasa Aceh. PAN *ulu yang bermakna ‘kepala’ rekonstruksi (PANDC) memiliki kesamaan ciri dalam bahasa Aceh menjadi ulee.

Dari kata tersebut hanya satu fonem yang mengalami perubahan, yaitu fonem tinggi belakang PAN *u menjadi fonem rendah depan /ee/ dalam bahasa Aceh. PAN *kulit rekonstruksi (PAND) yang bermakana ‘kulit’ memiliki kesamaan ciri dalam bahasa Aceh menjadi kulet. Perubahan ciri linguistiknya hanya terjadi pada silabel ultima tertutup, yaitu vokal tinggi depan PAN *i berubah menjadi vokal tengah depan /e/ dalam bahasa Aceh. PAN *dilah rekonstruksi (PAND) yang bermakna ‘lidah’ terwaris dalam bahasa Aceh menjadi lidah.

Dari kata tersebut mewariskan semua fonemnya dalam bahasa Aceh dengan proses metatesisnya. PAN *mata yang bernakna ‘mata’ rekonstruksi (PANDTV) mewariskan pewarisan linearnya dalam bahasa Aceh. Ini bermakna bahwa seluruh fonemnya memiki kesamaan ciri dalam bahasa Aceh. PAN *babah yang bermakna ‘mulut’ mengalami pewarisan linear dalam bahasa Aceh menjadi babah. PAN *peyut yang bermakna ‘perut’ rekonstruksi (PANDLRD) mewariskan kata prut dalam bahasa Aceh.

Persamaan ciri linguistik PAN dengan bahasa Aceh dalam kosa kata kekerabatan terdapat pada PAN *matu’a rekonstruksi (PPNBITER) yang bermakna ‘orang tua’ mengalami penerusan dalam bahasa Aceh sebagai kata matuha. Dari penerusan itu terdapat kemiripan bunyi dan makna PAN dan bahasa Aceh. Namun terdapat sedikit perubahan fonem glottal stop *? pada posisi tengah berubah menjadi glottal frikatif /h/ dalam bahasa Aceh.

Selanjutnya dalam hubungan kekerabatan ini, penerusan kosa kata PAN dalam bahasa Aceh terdapat pada kata *lakih rekonstruksi (PANDLO) yang bermakna ‘suami’ mewariskan kata lako dalam bahasa Aceh. Pewarisan ini terjadi dengan pergantian bunyi vokal tinggi depan *i menjadi tengah belakang /o/ dalam bahasa Aceh. PAN *anak rekonstruksi (PAN) yang bermakna ‘anak’ mewariskan kata aneuk dalam bahasa Aceh. Terlihat banyak kesamaan ciri linguistik yang muncul pada kosa kata ini. Perbedaannya hanya terdapat pada perubahan vokal rendah tengah *a menjadi vokal tinggi tengah /eu/ dalam bahasa Aceh.

Berdasarkan beberapa fakta yan telah diuraikan, terbukti bahwa bahasa Aceh merupakan warisan dari proto-Austronesia. Ini tampak dari beberapa bukti linguistik yang masih tersisa dalam tuturan bahasa Aceh, yang masih dipakai hingga sekarang. Kosa kata yang masih mewariskan kesamaan ciri, baik dari segi bentuk dan makna terdapat pada kosa kata yang berkaitan dengan bagian tubuh, kata ganti, kata-kata yang berhubungan dengan kekerabatan, kata-kata yang berhubungan dengan masyarakat, rumah, dan tanaman.

* Nurmaida, alumnus Program Doktor Linguistik bidang Linguistik Historis Komparatif Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, saat ini sebagai Guru SMAN 1 Nisam Aceh Utara. Email: almaidaahlam@yahoo.com

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved