Ini Kisah Gampong Pande dan Masa Depannya di Mata Pegiat Sejarah Tarmizi A Hamid
Kawasan ini dulunya adalah salah satu panggung utama sejarah Aceh dan telah merekam jejak-jejak sejarah yang cukup banyak.
Penulis: AnsariHasyim | Editor: Safriadi Syahbuddin
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Gampong Pande terletak di Kecamatan Kuta Raja, Banda Aceh.
Dalam catatan sejarah, wilayah ini memiliki peran penting dan strategis sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Aceh.
Sesuai dengan namanya, Gampong Pande pada masa kejayaannya adalah tempat para pandai besi, pabrik senjata, dan pusat aktivitas ekonomi kerajaan.
Di mata pegiat sejarah dan kebudayaan Aceh Tarmizi A Hamid, atau akrab disapa Cek Midi, kawasan Gampong Pande merupakan areal inti dari berbagai peristiwa sejarah sebab berada di tepi laut dan di bagian muara atau hilir Krueng Aceh.
(Baca: VIDEO: Ketika Bule Berburu Kepiting di Gampong Pande Banda Aceh)
Kawasan ini dulunya adalah salah satu panggung utama sejarah Aceh dan telah merekam jejak-jejak sejarah yang cukup banyak.
"Dulu, kawasan ini termasuk dalam Mukim Mesjid Raya di mana Daruddunya, istana dan kuta para sultan Aceh juga berada di mukim ini," ujar kolektor naskah kuno ini kepada Serambinews.com, Sabtu (11/11/2017).
(Baca: Karena Sejarah Dikira Dongeng (Meratapi Gampong Pande))
Menurut Cek Midi, Krueng Aceh sendiri, mulai hulu sampai hilir merupakan nadi kebudayaan dan peradaban orang Aceh. Dari kawasan di dua tepi Krueng Aceh, orang Aceh telah menyebar ke berbagai tempat di Asia Tenggara.
Sungai atau Krueng Aceh ini harus mendapat penghormatan yang layak.
Aliran sungai di bagian muaranya adalah jalur vital menuju ke Kuta Sultan dengan melewati Gampong Jawa yang berdampingan dengan Gampong Pande.
(Baca: ARSIP - Gampong Pande, di Sini Kuta Raja Bermula)
Di Gampong Jawa sendiri terdapat makam kepala Pelabuhan atau Syahbandar Aceh zaman dahulu, dari abad ke-12 Hijriah, yang bernama Syahbandar Mu'tabar Khan.
Menurut Cek Midi semua fakta sejarah ini menunjukkan kepentingan dan nilai yang tinggi yang dimiliki kawasan Gampong Pande.
Karena itu ia menilai kawasan tersebut sama sekali tidak layak dijadikan tempat pembuangan sampah dan limbah apalagi lumpur tinja.
"Itu sama sekali tidak logis dan tidak masuk ke cita rasa. Saya rasa seluruh masyarakat Aceh akan sependapat dengan saya dalam hal, sebab penempatan lokasi buang sampah dan lain-lain di pinggir Krueng Aceh yang melegenda dan juga di bekas kawasan paling penting dalam sejarah Aceh, ini adalah sesuatu yang tidak dapat diterima baik dari segi adat dan kearifan orang Aceh, atau dari segi cita rasa keindahan," tutur Cek Midi.
(Baca: Makam Permaisuri Sultan Iskandar Muda tak Terurus, Jangan Sampai Kasus Gampong Pande Terulang)
Karena itu, katanya, rencana penghentian proyek Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) bahkan relokasi TPA dan IPLT sudah seharusnya dilakukan Pemerintah.
Melihat dari kandungan nilai sejarah, sebaiknya, kawasan ini digunakan untuk kawasan situs yang didukung dengan berbagai sarana edukasi masyarakat dan generasi muda.
Seperti museum kemaritiman, perpustakaan bahkan pengajian keagamaan, dan terutama lagi sebagai pusat kajian sejarah Aceh.
Sehingga, kawasan ini juga menjadi kawasan tujuan wisata yang mengesankan, dan tidak menjadi kawasan wisata tutup mulut dan hidung oleh karena bau busuk yang ditebarkan dari gunungan sampah dan tinja di kompleks TPA.
"Perlu diingat sekali lagi, ini adalah kawasan utama dari kota Islam, Bandar Aceh Darussalam, bukan tempat pembuangan sampah," ujar Cek Midi.(*)