Citizen Reporter
Black Forest, Permata Hijau di Jerman
SAYA berada di Jerman bergabung dalam sebuah tur delegasi Aceh setelah menghadiri perhelatan akbar Conference
OLEH M RIZAL FALEVI KIRANI, Technical Assistant Gubernur Aceh, bergiat dalam Program Aceh Green, melaporkan dari Bonn, Jerman
SAYA berada di Jerman bergabung dalam sebuah tur delegasi Aceh setelah menghadiri perhelatan akbar Conference of the Parties (COP) 23 United Nations Frameworks Convention on Climate Change/Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-bangsa yang diselenggarakan PBB di Bonn, Jerman, akhir November lalu.
Acara ini dihadiri oleh para perwakilian lebih dari 200 negara. Aceh turut mengirimkan delegasi yang terdiri atas berbagai unsur, termasuk unsur Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), unsur Bappeda, unsur DPRA, dan unsur organisasi masyarakat sipil. Perjalanan delegasi Aceh ini didanai oleh Uni Eropa melalui sebuah program dukungan kepada Indonesia untuk merespons perubahan iklim di Aceh (SICCR-TAC Project).
Untuk segera sampai pada cerita tentang Black Forest/Hutan Hitam (orang Indonesia mungkin hanya mengenal jenis kue bolunya, blackforest gateau), maka saya meringkas cerita perjalanan di Eropa. Pesawat kami mendarat di Dusseldorf, ibu kota dari Negara Bagian North Rhine Westphalia (NRW). Ketibaan pada dini hari memberi kami cukup waktu untuk melakukan refreshment di airport dan sarapan, sebelum menghadiri agenda pertemuan pertama dengan Kementerian Perlindungan Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup Pemerintah Federal North Rhine Westphalia.
Seorang staf Berthol Haosler yang ditunjuk melakukan presentasi memberi kami kejutan pertama. Ia ternyata fasih berbahasa Indonesia. Mengapa bisa, staf tersebut pernah bekerja di Kalimantan pada era ‘90-an.
Northrhine-Westphalia adalah negara bagian terpadat dengan penduduk sekitar 18 juta jiwa. Fakta yang menarik tentang negara bagian ini adalah ia ternyata merupakan penggabungan dua negara bagian North Rhine dan Westphalia pada tahun 1946. Pesan kuat yang dapat ditangkap bahwa di negara ini pengelolaan hutannya sangat ditentukan oleh pemerintah federal. Banyak kawasan hutan yang statusnya milik perusahaan ataupun perseorangan berskala kecil yang pengelolaannya diatur dengan standar norma dan prosedur yang dikeluarkan oleh pemerintah federal.
Tutupan hutan untuk negara bagian ini masih berkisar 30%, namun secara paradoks negara bagian ini juga merupakan sentra industri energi dan menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar, yaitu sekitar 32% emisi gas rumah kaca keseluruhan Jerman. Akhirnya, saya temukan beberapa hal yang dapat kita sarankan kepada Jerman untuk bisa lebih baik. Tapi studi banding ini memang bukan hanya untuk hal yang positif, kita juga ingin belajar dari sebuah kegagalan.
Di negara bagian yang sama, kami sempatkan melihat bagaimana para aktivis lingkungan menduduki sebuah hutan tersisa bernama Hambach Forest yang masuk ke dalam konsesi pertambangan batu bara tertua dan terbesar di negara bagian ini. Konsesi penambangan batu bara terbuka ini meninggalkan lubang menganga sedalam 440 meter dengan luas dapat menenggelamkan seluruh Kota Cologne ke dalamnya. Tapi pihak pengelola masih berencana membuka hutan Hambach Forest yang tersisa, tempat pengungsian 142 jenis satwa liar dan sisa hutan tua di wilayah itu.
Ketika kami mengunjungi kamp para aktivis tersebut, pemandangan di sana sangatlah menyentuh perasaan. Ratusan aktivis lingkungan dan mahasiswa membuat rumah-rumah pohon dan tinggal di sana bertahun-tahun demi memperjuangkan agar sisa hutan ini tidak terus dimusnahkan oleh perusahaan tambang batu bara di sana. Minggu-minggu ini adalah saat kritis bagi mereka, karena akan ada keputusan dari pengadilan tinggi di Cologne terkait tuntutan pemberhentian operasi penambangan di sana. Para aktivis menyatakan, apabila kali ini mereka kalah, maka polisi akan mengangkut mereka secara paksa. Nah, mereka berencana akan memborgol tangan mereka di atas rumah pohon agar tidak dapat diangkut oleh polisi.
Bagi orang-orang Aceh, perjalanan ini sangatlah penting, mengingat Aceh sedang dalam fase awal pembangunan di bawah pemerintahan Gubernur Irwandi Yusuf yang terkenal sangat mendukung agenda pelestarian alam. Bahkan salah satu program unggulan tersebut dinamakan Aceh Green yang akan menggawangi pembangunan Aceh tetap dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan, memperhatikan aspek pelestarian lingkungan hidup, dan memastikan terjadinya keharmonisan lintas sektor dari hulu hingga hilir.
Tur lapangan pascakonferensi UNFCC ini bertujuan untuk melihat berbagai dimensi pengelolaan hutan Black Forest, terutama di bagian barat daya Jerman. Kami menjadikan Freiburg sebagai base untuk melakukan eksplorasi kawasan hutan Black Forest. Freiburg terletak di State Baden-Wurttemberg. Kami menginap diresor yang berada di pegunungan bernama Haus Feldberg-Falkau.
Dengan naik bus kami tiba di Haus Feldberg-Falkau sudah menjelang senja. Makan malam saya anggap sebuah reward bagi saya untuk kesabaran duduk di dalam bus selama delapan jam dari Bonn. Tidak butuh penerjemah Jerman bagi saya untuk secara meyakinkan mengenali smoked salmon yang “bersila” di atas wadah pada meja hidangan. Bahkan hanya dengan sudut mata, yang gagal saya identifikasi hanyalah jenis kelamin salmonnya. Ikan adalah makanan halal termudah untuk dikenali apabila melakukan perjalanan ke Eropa.
Saya memberikan ponten tinggi untuk dinner kali ini dan memang beberapa hari terakhir ini saya lebih mudah memberikan nilai tinggi untuk kuliner Jerman setelah rezim rendang dan teri kacang yang dibawa salah satu kolega punah total. Selesai ber-dinner, tak banyak yang bisa dilakukan. Saya segera menyadari, mata saya telah bersekongkol dengan susunan saraf di badan untuk mengajak saya menenggelamkan keseluruhan malam di Black Forest, deretan ladang bit, kebun anggur, smoked salmon, Freiburg, dan keseluruhan isinya ke dalam mimpi malam panjang ini, agar besok bangun dengan segar dan melanjutkan aktivitas.
Perbedaan jam biologis saya ternyata tak membiarkan mata tertutup sampai waktu yang didefinisikan sebagai pagi oleh orang Jerman, 3.30 malam. Seakan ada virtual alarm di dalam kepala yang berdering, lalu kehidupan saya hari berikutnya pun dimulai. Kalau di Aceh sering buat janjian ngopi dengan teman bakda magrib, di Black Froset kami justru janjian ngopi dengan kawan-kawan sebelum subuh. Suasana asyik ini mengingatkan saya pada saat sahur Ramadhan.
Salju telah turun ketika tidur malam tadi dan telah menyulap pemandangan di luar yang ada hanya putih salju dan hitamnya pegunungan Black Forest. Bukan karena daun pepohonan berwarna hitam, tapi karena bagian atas pohon tertutup salju, sehingga celah-celah pepohonan dari samping menampakkan kekelaman di bawah kanopi yang tak tertembus cahaya matahari, ditambah kontras dan saturasi dari efek salju yang sangat putih. Saya takjub dengan pemandangan yang saya lihat dari jendela belakang Hotel Falkau pagi ini persis dalam film-film kartunnya HC Andersen.