Kupi Beungoh
Hoax dan Cara Kotor Berdakwah
Sering sekali hoax itu berisi hal-hal yang baik, seperti nasehat dan hikmah dari suatu peristiwa, peringatan, ajakan dan lain sebagainya.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (Q.S Al-Hujarat ayat 6)
Oleh : Dhiya Urahman
Era media sosial yang kita alami saat ini, menghadirkan tantangan tersendiri bagi dunia dakwah.
Dalam beberapa kasus, ada pemuda muslim melestarikan kegiatan penyebaran hoax dilakukan demi menyokong (apa yang mereka sebut) dakwah.
Contohnya sering kita mendapatkan kiriman berita si artis atau ilmuwan ‘anu’ masuk Islam, padahal faktanya tidak demikian.
Saat kasus kekerasan hingga pembantaian etnis Rohingya oleh militer Myanmar marak terjadi pada bulan Agustus-September 2017, beredar foto para biksu Budha Tibet yang membantu pengumpulan mayat korban bencana alam di Cina, diputarbalikkan beritanya sebagai foto pembantaian etnis muslim Rohingnya.
Itulah contoh-contoh berdakwah dengan cara kotor.
Mungkin maksudnya baik untuk menambah semangat ke-Islaman atau menumbuhkan perhatian umat Islam pada saudara muslim di Rohingnya.
Namun dakwah dengan penyebaran hoax ini tentu merupakan cara kotor untuk mengajak orang dalam kebaikan.
Pergeseran teknologi yang tradisional keteknologi digital juga membawa perubahan besar dalam cara manusia berkomunikasi.
Jika sebelumnya khalayak media massa dikendalikan oleh informasi dari lembaga media massa, ketika perubahan teknologi itu terjadi ke arah digitalisasi, maka terjadi pula perubahan pada pola distribusi konten media yang kini dapat berpindah ke posisi khalayak.
Sehingga dominasi media sebagai penyedia konten media tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi, justru sebaliknya khalayak juga dapat menciptakan konten media itu sendiri.
Hal tersebut juga menjadi salah satu sebab berita bohong atau hoax banyak tersebar di berbagai media, mulai dari broadcast message, media cetak, maupun media online.
(Baca: Khasiat Kangen Water untuk Kesehatan Ternyata Hoax, Kemenkes Bongkar Hal Mengejutkan!)
Apa itu hoax?
Hoax adalah pemberitaan palsu dan upaya penyebarannya yang bertujuan agar para pembaca percaya terhadap berita palsu tersebut.
Sering sekali hoax itu berisi hal-hal yang baik, seperti nasehat dan hikmah dari suatu peristiwa, peringatan, ajakan dan lain sebagainya.
Namun tetap saja itu adalah hoax atau berita palsu.
Dengan demikian pemuda di Aceh dituntut agar lebih hati-hati dalam menyebarkan pesan.
(Baca: Gara-gara Info Hoax Wajib Ganti Kartu, Kantor BPJS Kesehatan Lhokseumawe Diserbu Masyarakat)
Hoax dan Generasi Millenial
Generasi millenial adalah kelompok demografis setelah generasi X atau generasi yang lahir antara tahun 1980-2000 an, bisa kita katakan generasi millenial yaitu generasi muda masakini yang saat ini berusia di kisaran 15-34 tahun.
Dalam buku Ahman Izzan & Usin S.Artyasa “Menata Kelola Hidup agar Lebih Bermakna dan Bahagia” dituliskan “Generasi milenial, yaitu generasi yang baru lulus atau baru bekerja profesional sekitar 2-3 tahun belakangan ini. Generasi termuda ini sering dianggap sebagai pekerja ‘suka-suka’. Kecendrungan mereka tidak disiplin dan tidak serius karena jiwanya lebih didominasi oleh gaya hidup ‘have fun’ alias hura-hura.
Generasi ini sangat dipengaruhi oleh munculnya smartphone, internet, dan jejaring media sosial, sehingga memiliki pola pikir, nilai-nilai, dan perilaku yang serba instan dan serba cepat.”
Sebagian dari generasi millenial mungkin belum memahami apa itu berita hoax.
Menurut Williard G. Bleyer dalam Wonohito (1960:2) mendefinisikan berita sebagai segala sesuatu yang hangat dan menarik perhatian sejumlah pembaca, dan berita yang terbaik ialah berita yang paling menarik perhatian bagi jumlah pembaca yang besar. (Apriadi Tamburata, Literasi Media, 2013, hal. 87).
Profesor Samaun Samadikun dalam bukunya, “Petani Silikon Indonesia” mengatakan bahwa keterampilan dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi dapat digunakan sebagai sarana melawan hoax dan fitnah.
Di mana teknologi informasi ialah suatu cara untuk menggunakan informasi sehingga sumber daya (resource) menjadi sesuatu yang lebih diperlukan oleh masyarakat, biasanya dengan mengolah informasi mengenai sumber daya tersebut sehingga menjadi “lebih laku”.
Generasi millenial lebih cenderung menggunakan media-media online yang sangat mudah diakses oleh masyarakat luas memberi manfaat, baik itu berupa ilmu atau nasihat singkat baik itu melalui status di jejaring sosial maupun video.
Melaksanakan amalan sunnah di zaman yang canggih ini bisa diaplikasikan melalui media sosial baik itu melalui Facebook, Twitter, Instagram, dan lain sebagainya.
(Baca: Kominfo: Masyarakat Jangan Terprovokasi Ajakan Hoax Agar Tak Mendaftar Data Seluler)
Majunya teknologi dan arus informasi membuat masyarakat lebih terbuka terhadap pengetahuan global, tidak terkecuali dengan generasi milenial yang terus mengapdate dan dihidangkan dengan media-media baru.
Ketika media baru diperkenalkan, maka media yang lama tidak ditinggalkan begitu saja, tetapi hidup bersama dan saling berinteraksi dengan media pendatang baru.
Media mengubah bentuk kontrol sosial, Paul Lazarsfeld dan Robert K. Merton, seperti dikutip Haris Munandar & Dudy Priatna dalam Media Massa & Masyarakat Modern, melihat media dapat menghaluskan paksaan sehingga tampak sebagai bujukan.
Mereka mengatakan “Kelompok-kelompok kuat kian mengandalkan teknik menipulasi melalui media untuk mencapai apa yang diinginkannya, termasuk agar mereka bisa mengontrol secara lebih halus”.
Pergeseran teknologi dari tradisional ke modern membuat generasi milenium harus memahami berita yang benar dan berita tidak benar, serta banyak menyebarkan berita berbau positif.
Di mana kemajuan teknologi di zaman sekarang banyak yang disalahgunakan untuk kepentingan suatu golongan atau kaum.
Apa yang harus kita lakukan?
Allah SWT telah menegaskan kepada Rasulullah dan umatnya agar tidak tertipu dengan berita bohong, firman-Nya dalam Alquran surat Al-Hujurat ayat 6 mengenai berita bohong;
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (Q.S Al-Hujarat ayat 6)
Kita sebagai umat Islam harus teliti dalam mengakses dan menginformasikan berita, konsep “tabayyun’ dari ayat di atas yang bermakna “periksa dengan teliti” setiap mendapatkan suatu kabar.
Sebagai masyarakat modern, kita harus pandai dalam menggali informasi.
Wajib membaca dengan teliti dan menelusuri sumber asli dari berita tersebut.
(Baca: Ini 7 Bencana Alam Terparah Menerjang Indonesia Selama Tahun 2017)
Dan yang terpenting adalah jangan terlalu mudah untuk menyebarluaskan berita tersebut, sebelum diketahui keasliannya.
Nah, di sini, generasi milenial punya tantangan untuk meningkatkan pola dakwah tradisional ke dakwah virtual yang memiliki daya jangkau publik yang lebih luas.
Dengan demikian, sekali berdakwah dapat diikuti oleh ratusan ribu bahkan jutaan followers.
Sebagai pemuda sekaligus harapan bangsa, sudah seharusnya pemuda millenial mampu bersikap kritis dalam menganalisa informasi yang layak dan yang tidak layak untuk dikonsumsi, sehingga pemuda milenial tidak menjadi generasi penyebar hoax. Semoga!
* Penulis, Dhiya Urahman, adalah mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam FDK UIN Ar-Raniry Banda Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.