Angka Penganiayaan Fisik, Seksual dan Diskriminasi Rasial 'tinggi' Terhadap TKI di Hong Kong
Dalam kasus kriminal, pengadilan Hong Kong menjatuhkan hukuman enam tahun penjara dan denda senilai 15.000 dolar Hong Kong
Baca: Pemulangan Jenazah TKI Terkendala Peti Mati, Berkat Haji Uma Akhirnya Tiba di Kampung Halaman
Majikan Kartika, Tai Chi-wai, dan istrinya Catherine Au Yuk-shan diganjar penjara masing-masing tiga tahun tiga bulan dan lima setengah tahun karena menyiksa Kartika dengan "rantai sepeda, besi panas" dan juga mengikatnya selama lima hari dengan popok di kursi saat keluarga itu liburan. Kejahatan itu dilakukan antara Oktober 2010 hingga Oktober 2012.
Erwiana mengatakan masih banyak tenaga kerja yang mengalami hal serupa namun takut bersuara.
"Masih banyak yang belum ikut berorganisasi, belum belajar banyak tentang haknya dan ketika ada masalah masih takut. Di Hong Kong pun ada, apa lagi di tempat lain, di Singapura, Malaysia, yang sangat tertutup dan pekerja tak boleh ikut berorgansisasi berdemo, apalagi di Arab, sangat mengerikan," katanya.
Eni Lestari, pegiat pekerja migran Indonesia yang tergabung dalam organisasi Asian Migrant Workers di Hong Kong, mengatakan kasus Erwiana merupakan terobosan bagi para tenaga kerja, terutama yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
"Kasus Erwiana jadi terobosan bagi kami, karena sekian tahun kami mengatakan Hong Kong punya praktik perbudakan modern dan masyarakat membantah kita... Sekarang masyarakat relatif menerima ketika kita katakan Hong Kong ada praktik kerja paksa dan bahkan perdagangan manusia, mereka tak bisa berdebat."
"Tapi pemerintahnya masih menolak untuk memberikan perlindungan di sisi ini," kata Eni.
"Kasus Erwiana menjadi senjata bahwa kalau kamu tak merubah sistem perlindungan pekerja asing maka kamu akan ditampari kasus model Erwiana," tambahnya.
Kondisi tak berubah sejak 1990-an
Cynthia Abdon-Tellez dari Mission for Migrant Workers mengatakan kondisi yang dialami para pekerja migran terkait penganiayaan fisik tak berubah sejak 1990-an.
Ia juga mengatakan pekerja Indonesia menjadi rentan karena persiapan di Indonesia yang disebutnya tidak "memberikan cukup penjelasan tentang hak pekerja."
"Proses yang mereka lalui sebelum ke Hong Kong, di kamp pelatihan (oleh agen) untuk belajar bahasa, mempelajari alat-alat rumah tangga, tapi mereka juga diminta untuk menurut kepada majikan."
"Kami sempat tanya mengapa mereka tak mengatakan apa-apa (kalau ada masalah) dan mereka bilang karena agen meminta mereka, menurut sebanyak mungkin ke majikan. Bagaimana kalau ilegal, ya diminta untuk ikuti saja kalau tidak Anda akan kehilangan pekerjaan, Anda berhutang banyak," cerita Cyntia.
Baca: Ketua DPD RI Bantu Rp 12 Juta untuk Pemulangan Jenazah TKI Aceh Utara
Ia mengatakan hutang kepada agen merupakan ancaman yang paling banyak digunakan kepada para tenaga kerja dengan ancaman masuk penjara.