Opini
Gramedia dan Semangat Literasi di Aceh
LAKSANA gayung bersambut, setelah beberapa bulan lalu, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) mendeklarasikan
Oleh Herman RN
LAKSANA gayung bersambut, setelah beberapa bulan lalu, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) mendeklarasikan sebagai pusat literasi di Aceh, kini giliran penerbit dan toko buku terbesar di Indonesia hadir di ibu kota provinsi Aceh, yakni Gramedia. Kehadirannya disambut masyarakat Aceh laksana hujan sehari setelah musim kemarau setahun.
Sejak hari pertama dibuka, jalan Nasional di depan Gramedia selalu macet. Tentu saja ini menandakan antusias literasi masyarakat Aceh, terutama warga Banda Aceh dan Aceh Besar dapat dikatakan tergolong tinggi. Lantas, muncul pertanyaan, bagaimana nasib toko buku lain di Banda Aceh pascahadir Gramedia? Tutupkah?
Pertanyaan bernada khawatir itu masih berkisar di kedai kopi yang juga semakin menjamur di Banda Aceh. Ada beberapa pertanyaan lain sebenarnya lebih menarik, yakni apakah kehadiran Gramedia bisa menjadi penggerak semangat literasi di Aceh yang sekaligus mendorong program Aceh Carong Pemerintah Aceh dengan menerbitkan karya-karya penulis Aceh?
Tentu saja ini pertanyaan penting dan menarik, karena Gramedia bukan sekadar toko buku ternama, tetapi sekaligus penerbit yang punya banyak “anak”. Banyak grup Gramedia yang dikenal menerbitkan karya-karya penulis muda. Hal ini tentu sangat penting dalam mewujudkan semangat literasi bagi masyarakat Aceh, sebab selama ini banyak keluhan bahwa di Aceh kekurangan penerbit. Jikapun ada penerbit buku di Aceh, nasib mereka seperti kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau.
Di sisi lain, banyak penulis di Aceh, terutama penulis pemula, mengeluhkan penerbitan karya mereka. Beberapa orang menganggap bahwa penerbit di Aceh masih sangat komersil terhadap penulis. Setiap pemilik karya bukannya mendapatkan royalti dari penerbit, malah diminta turut membayar ongkos penerbitan. Hal ini sudah rahasia umum, terutama di Banda Aceh. Oleh karena itu, banyak buku yang diterbitkan oleh penulis-penulis Aceh umumnya sangat terbatas, tergantung berapa ia miliki dana untuk menerbitkan bukunya.
Seperti angin segar
Hadirnya Gramedia di Banda Aceh seperti angin segar. Namun, saya tidak berani berspekulasi bahwa Gramedia akan mau menerbitkan karya-karta orang Aceh. Apalagi, sudah rahasia umum pula bahwa tidak mudah menerbitkan buku melalui Gramedia.
Namun demikian, saat berkunjung ke Gramedia di hari peluncuran toko buku itu beberapa waktu lalu, ada penulis muda mengaku mau memberikan karyanya ke Gramedia. “Tidak salah mencoba. Silakan saja,” begitu respons saya ketika ditanyai pendapat. Akan tetapi, saya sudah menduga bahwa akan ada sejumlah alasan --misal manajer bagian penerbitan belum ada di tempat-- yang akan didapatkan oleh para penulis muda tadi.
Kehadiran sebuah penerbit mestinya memang menjadi dukungan penuh dalam gerakan literasi. Gerakan literasi nasional sudah digaungkan sejak dua tahun terakhir hingga ada program Gerakan Literasi Sekolah yang dipelopori Satria Darma. Namun, gerakan literasi di daerah tentu masih sangat butuh dukungan banyak pihak, termasuk penerbit dan toko buku. Oleh karenanya, Gramedia diharapkan hadir bukan sebagai “buldozer” bagi penerbit dan toko buku kecil di Banda Aceh, melainkan dapat menjadi mitra.
Ada beberapa program gerakan literasi yang bisa dilakukan oleh Gramedia, karena selama ini belum dilakukan oleh penerbit maupun toko buku di Banda Aceh. Pertama, semangat menerbitkan karya para penulis tanpa memandang kemasyhuran nama. Setiap orang diberikan kesempatan menerbitkan karyanya tanpa diminta ikut menyumbangkan dana. Hal ini bisa memberikan semangat literasi tulis bagi setiap orang (penjabaran tentang ini masih panjang, akan saya ulas di lain waktu).
Kedua, toko buku hendaknya bukan sekadar menjajakan buku, tetapi bisa menyediakan sarana penggerak literasi baca-tulis. Hal ini dapat dilakukan dengan menggelar sejumlah pelatihan baca-tulis, baik berhadiah maupun tidak. Dengan adanya beberapa pelatihan menulis yang digelar oleh penerbit dan toko buku, tentu banyak karya yang akan dihasilkan oleh para penulis sesuai visi misi penerbit sehingga tidak ada lagi alasan bahwa selama ini penerbit menolak karya orang-orang karena tidak sesuai dengan visi misi si penerbit.
Ketiga, ada sejumlah lomba yang bisa digelar oleh toko buku dan penerbit, terutama terkait literasi. Lomba tersebut bisa dilakukan berjenjang, mulai usia anak-anak sampai dengan usia dewasa atau orang tua. Semangat lomba literasi akan melahirkan banyak karya yang kelak membuat lahirnya penulis-penulis masa depan. Hal ini penting dilakukan mengingat banyaknya penulis senior di Indonesia yang sudah memasuki usia uzur.
Nanggroe Aceh adalah sumber literasi Asia Tenggara. Karya-karya dalam bahasa Melayu bermula dari negeri ini. Beberapa nama yang bisa disebut dan sudah tersohor antara lain Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniry, Chik Pante Kulu. Mereka merupakan orang-orang yang memulai literasi tulis dengan bahasa Melayu yang kelak menjadi bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kehadiran Gramedia diharapkan bisa menjadi “bidan” yang melahirkan Fansuri baru, Ar-Raniry muda, dan tunas Pante Kulu di negeri para aulia ini.
Bukan momok literasi
Akhirnya, sebagai warga Banda Aceh, saya hanya bisa bermimpi Gramedia bukan menjadi momok literasi yang menakutkan toko buku kecil di Banda Aceh, melainkan bisa menjadi mitra yang bersanding dengan toko buku-toko buku kecil tersebut. Selain itu, saya bermimpi Gramedia mau dan berperan dalam melahirkan para “literator” dari Serambi Mekkah.
Terakhir, sekadar saran bagi pihak manajemen toko Gramedia di Banda Aceh. Hendaknya mengubah jalur masuk ke parkiran sehingga tidak mengundang macet berlebihan. Secara kearifan Aceh, pintu masuk memang dikehendaki sebelah kanan, pintu keluar sebelah kiri. Namun, mengingat tingkat kemacetan yang tidak terbendung, hendaknya pintu masuk kendaraan ke Gramedia dibuat sebelah kiri, sehingga kendaraan yang baru tiba bisa langsung masuk.