Opini

Sudah Syariahkan Bank Syariah?

Apakah bank syariah benarsudah syariah? Belum lagi bank syariah marginnya lebih besar dibandingkan bank konvensional, dimana syariahnya

Editor: mufti
For Serambinews.com
Muhammad Yasir Yusuf, Dosen Pasca Sarjana UIN Ar Raniry, Prodi S3-Ekonomi Syariah 

Muhammad Yasir Yusuf, Dosen Pasca Sarjana UIN Ar Raniry, Prodi S3-Ekonomi Syariah

LIMA tahun pasca implementasi Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS), Aceh berdiri sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang sepenuhnya menggunakan sistem keuangan syariah. Namun, di balik kebanggaan itu, muncul suara-suara kritis: Apakah bank syariah benar-benar sudah syariah? Belum lagi bank syariah marginnya lebih besar dibandingkan bank konvensional, dimana syariahnya, ada ungkapan lainnya “riba yang bersurban”.

Ujung-ujungnya ada sebagian masyarakat menginginkan kembalinya bank konvensional karena merasa layanan dan manfaat bank syariah belum maksimal.Pertanyaan ini patut dijawab secara ilmiah dan jujur. Sebab dalam Islam, label “syariah” bukan sekadar nama, melainkan amanah ilahiah yang menuntut keadilan (al-‘adl), kemaslahatan (maslahah), dan keberlanjutan manfaat (istidāmatu al-naf‘). Jika nilai-nilai ini belum tampak nyata dalam praktik, maka yang harus dibenahi bukan syariahnya, tetapi cara kita memaknainya.

Kesyariahan substantif

Secara formal, bank syariah telah memenuhi seluruh standar kepatuhan. Seluruh operasionalnya tunduk pada Undang-Undang No. 21 Tahun 2008, diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan mengikuti fatwa DSN-MUI serta regulasi OJK Syariah. Secara hukum, bank syariah di Aceh sudah syariah: bebas riba, bebas gharar, dan bebas maysir. Namun, kesyariahan sejati tidak berhenti pada akad yang halal, melainkan harus mencapai tujuan moral syariah (maqāṣid al-sharī‘ah)--menciptakan keadilan, kemaslahatan, dan kesejahteraan sosial.

Di sinilah muncul kesenjangan: terkadang dan mungkin mayoritas bank syariah masih berfokus pada margin dan efisiensi, bukan pada pemberdayaan dan keadilan. Fenomena ini disebut Asutay (2012) sebagai: “Islamic banks have become Islamic in form, but not fully Islamic in substance.”Artinya, secara bentuk bank syariah sudah Islami, tetapi secara ruh belum sepenuhnya hidup dalam nilai Islam.

Aceh kini adalah “laboratorium ekonomi Islam” di Indonesia. Semua transaksi keuangan--dari gaji ASN, dana desa, hingga investasi dan kegiatan keuangan lainnya--melalui sistem syariah. Kondisi ini membuka peluang besar bagi bank syariah untuk menjadi motor pembangunan berkeadilan, bukan sekadar lembaga intermediasi keuangan syariah. Optimalisasi bank syariah berarti menggeser peran dari “bank syariah di Aceh” menuju “Aceh yang syariah melalui bank.” Setiap pembiayaan, investasi, dan layanan keuangan harus membawa nilai tambah sosial bagi rakyat: memberdayakan, bukan membebani; menyejahterakan, bukan memperkaya segelintir pihak.

Fungsi Intermediasi bank menjadikan bank syariah idealnya menjadi mitra masyarakat, bukan sekadar kreditur. Fungsi intermediasinya harus diarahkan untuk: membiayai sektor produktif seperti pertanian, perikanan, dan UMKM halal, menerapkan akad bagi hasil (mudhārabah dan musyārakah) yang adil dan transparan. menjalankan pendampingan usaha (ta‘āwun), bukan hanya pembiayaan berbasis agunan.

Dengan demikian, setiap rupiah yang berputar di Aceh menjadi instrumen risk sharing, bukan risk transfer. Bank syariah yang adil tidak sekadar menghindari bunga, tetapi menghadirkan keberkahan ekonomi yang nyata--inilah maqāṣid al-sharī‘ah fi al-iqtiṣād.

Di sisi lain optimalisasi bank syariah di Aceh juga harus mencakup fungsi sosial. Dalam Islam, bank bukan hanya entitas bisnis, tetapi juga bagian dari sistem social finance. Bank syariah dapat dan harus mengelola zakat korporasi secara transparan dan bisa bekerja sama dengan Baitul Mal Aceh dalam penyaluran dan pemberdayaan mustahik, menyalurkan qard hasan (pinjaman kebajikan) untuk masyarakat kecil, mengembangkan wakaf produktif dalam rangka menghidupkan aset wakaf yang terdiam dan memperkuat CSR berbasis maqāṣid, bukan sekadar memperkuat citra.

Jika ini dilakukan bersama Baitul Mal Aceh dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS), maka terbentuk ekosistem keuangan sosial Islam yang dapat mengentaskan kemiskinan, membuka lapangan kerja, dan menumbuhkan solidaritas ekonomi umat.

Tantangan dan transformasi

Dalam implementasinya, memang belum semua ideal itu tercapai. Masih ada tantangan yang dirasakan mulai dari regulasi nasional yang berorientasi profit dan risiko rendah, keterbatasan SDM syariah yang memahami maqāṣid dan juga pengawasan DPS yang sering bersifat administratif walaupun sudah ada POJK No 2 Tahun 2024 tentang Penerapan Tata Kelola Syariah Bagi Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah yang memberikan ruang lebih besar bagi DPS untuk menjalankan tanggung jawab dan perannya, namun masih butuh penyesuaian di beberapa sektor.

Belum lagi kurangnya literasi dan ekosistem pembiayaan syariah yang inklusif seperti tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat pelaku ekonomi terkait keuangan syariah, adanya akses yang mudah dan merata, sinergi antarpemangku berkepentingan dan produk-produk inovatif dan beragam di lembaga keuangan syariah. Diakui arah perbaikan sudah dimulai. OJK kini mengarusutamakan konsep Value-Based Intermediation (VBI), dan Perbankan Syariah mulai mengembangkan model pembiayaan yang inklusif, hijau, dan berkeadilan.

Transformasi ini menandai pergeseran paradigma: dari Sharia Compliance menuju Maqāṣid Compliance--dari kepatuhan simbolik menuju kepatuhan moral dan sosial. Value-Based Intermediation (VBI) dalam industri keuangan, khususnya perbankan syariah adalah upaya untuk menciptakan dampak positif dan berkelanjutan bagi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Konsep ini melampaui kepatuhan syariah semata, dengan mengedepankan tujuan syariah (maqashid syariah) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved