Kupi Beungoh
Kisah Pilu Nelayan di Peukan Bada: Hidup di Gubuk Reot, Anak-anak Putus Sekolah
Husnaini tak tahu cara untuk mendapatkan bantuan modal atau peralatan usaha dari instansi terkait ataupun dari perusahaan besar seperti PT SBA
Oleh: Iqbal & Nasywa Salsabila
SERAMBINEWS.COM - Ujung Pancu yang terletak di Kecamatan Peukan Bada terkenal akan keindahan alam bahari. Pasir dan ombak laut di bibir Samudera Hindia menjadi pemikat mata bagi pengunjung.
Namun, tahukah Anda, bahwa di kawasan itu terdapat satu keluarga yang hidup dalam kondisi penuh keprihatinan?
Jika anda pergi jalan-jalan ke daerah Ujung Pancu, anda pasti akan menjumpai sebuah desa yang bernama Lamteh, disana akan anda lihat juga sebuah rumah yang layak disebut gubuk reot.
Gubuk itu dihuni oleh satu keluarga buruh nelayan. Amri, kepala keluarga serta istri dan 4 orang anaknya tinggal di dalam rumah berdindingkan papan lapuk dan rotan berlubang dengan atap seng yang bocor di beberapa bagian.
Rumah tersebut hanya memiliki satu ruangan “serba guna”. Di ruangan berukuran sekitar 4x5 meter itu mereka sekeluarga tidur beralas kasur seadanya, meletakkan lemari pakaian, kompor, peralatan dapur dan barang-barang lainnya dalam satu ruangan yang cukup sempit itu, bahkan saat menerima tamu pun dengan ruangan yang sama.
Sementara kamar mandi dan dapur masih menumpang di rumah saudara yang terletak di belakang. Setiap saat anggota keluarga ini mandi dan buang air besar di rumah saudaranya.
Kondisi kediaman yang dihuni Amri dan keluarga tentu saja belum memenuhi indikator rumah layak huni di Indonesia, yang mencakup ketahanan bangunan, luas ruang minimal 7,2 m⊃2; per orang, akses sanitasi layak, dan air minum bersih.
Setiap pukul 6 pagi hari, Amri (47), berangkat melaut bersama rombongan nelayan lainnya untuk mencari ikan menggunakan perahu di daerah Ulee Lheu Banda Aceh. Hasil melaut adalah sumber utama penghasilan keluarga. Selain untuk dijual, hasil tangkapan juga digunakan untuk konsumsi sehari-hari.
Baca juga: Skandal Izin, PT CGU Tak Tunjukkan Legalitas di Hadapan Pansus DPRK Aceh Timur
Baca juga: Investor Malaysia Tinjau Sabang, Rencana Bangun Hub Bunkering Internasional
Pendapatan Rp 50 ribu per hari
Sedangkan jerih payah yang didapatkan hanya pada kisaran Rp. 50.000/hari. “Biasanya sekali melaut dapat Rp 50 ribu. Terkadang di bawah itu,” kata Amri kepada penulis beberapa waktu lalu.
Namun jika kita kalkulasikan pendapatan buruh nelayan dalam sebulan hanya mencapai Rp 1.500.000 maka hal itu belum sepenuhnya mencukupi kebutuhan keluarga pesisir yang hidup dalam ketidakstabilan ekonomi.
Pendapatan Amri dan buruh nelayan di Aceh rata-rata tidak mencapai Upah Minimum Regional (UMR) Aceh. Penetapan UMR terbaru untuk tahun 2025 adalah sebesar Rp 3.685.616, sesuai dengan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 500.15.14.1/1342/2024 dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan.
Butuh Bantuan Modal
Sementara Husnaini (39), sang istri tercinta Amri, bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Husnaini bekerja mencari tiram di belakang rumah yang langsung berbatasan laut, lalu menjual tiga sampai empat bungkus dalam sehari yang mana pembeli merupakan tetangga yang ada di sekitar.
Tiga tahun yang lalu, ia sempat berjualan minuman air tebu di depan kuburan massa Ulee Lheu Banda Aceh, namun sekarang aktivitasnya tersebut terhenti karena terkendala modal modal usaha.
“Ibu Husnaini tergolong gesit dalam membantu ekonomi keluarga, perlu diadvokasi agar ia mendapatkan bantuan modal untuk mengembangkan usahanya,” kata Hasan Basri M Nur PhD, dosen kami dalam MK Media Komunitas di UIN Ar-Raniry.
| Rendah Mutu Dan Reputasi Kampus: Akibat Stagnasi Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi |
|
|---|
| Migas Aceh, Hantu di Bawah Tanah, Bayang-bayang di Atas Kemiskinan |
|
|---|
| Saat Perpustakaan Tak Lagi Jadi Tempat Favorit Anak Muda |
|
|---|
| MBG “Mimpi Buruk” Membangun Generasi Cerdas |
|
|---|
| Meretas Makna di Balik Gelar Pendidikan Tinggi dalam Dinamika Profesi dan Pergulatan Makna Hidup |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.