Kisah Hidup 'Anak-anak Perang' yang Tumbuh di Masa Nazi Jerman
Kisah mereka menempatkan kita, sebagai pembaca, langsung di sana. Dan di sebelah cerita-cerita itu, ada foto-foto orang tua
Kisahnya yang muncul dalam Kriegskinder adalah tentang perjalanannya berbelanja dengan ibu dan pengasuhnya saat kecil.
"Kami berkendara melewati Ghetto Krakow, tempat ibu saya membeli mantel bulu dan selendang dan dia bsia menentukan harganya. Saya berdiri di kursi belakang Mercedes, pengasuh saya, Hilde, duduk di sebelah saya, di depan, di sebelah pengemudi ada ibu saya," katanya. "Saya mengenakan setelan Pepita warna hitam dan putih."
"Orang-orang melihat dengan sedih. Saya menjulurkan lidah ke seorang anak laki-laki yang lebih tua. Dia berbalik dan pergi, saya merasa menang. Saya tertawa senang, tapi Hilde, dengan diam, menarik saya agar duduk."
Meski kisah itu menggambarkan interaksi khas anak-anak, namun ingatan itu juga mengganggu. "Sebagian besar kisah sudut pandang pertama di buku ini cukup anekdotal," kata Helwig. "Apa yang mereka katakan memang menarik, tapi begitu pula apa yang tidak mereka katakan."
Banyak yang menggambarkan kematian dengan cara mereka memahaminya saat itu, dari sudut pandang anak-anak.
"Suatu hari, seorang pria yang digantung terbaring di depan rumah kami di Berlin. Orang Jerman. Dia berusaha melarikan diri dari perang dan bersembunyi di gedung yang hancur dan mereka menggantungnya dari tiang lampu jalan," kata Werner.
"Setelah dia mati, mereka memotong talinya. Dia berbaring di jalan selama berhari-hari dengan mulut terbuka dan anak-anak melempar batu kerikil ke dalam mulutnya."
"Pada akhirnya, mereka membawanya pergi dan menguburnya di pinggir jalan. Karena mayat tak boleh berada di jalanan kota, maka sebuah truk datang, menggali kuburannya, dan jenazah lain, lalu melempar tubuh-tubuh itu ke dalam truk. Kami, para anak-anak menonton. Lalu kami pergi dan makan siang."
"Kami makan bubur jagung, tapi saya hanya bisa membayangkan mayat-mayat itu dengan pakaian mereka yang compang-camping dan tulang menonjol dan saya merasa mual."
Lewat adegan-adegan yang diingatkan ulang lewat kisah mereka, dikenang lewat rasa atau bunyi atau bau, maka masa lalu pun seolah dihidupkan di masa modern.
"Sampai hari ini, banyak yang mengingat soal tempat-tempat perlindungan dari serangan udara, serangan pengeboman, ketakutan akan orang-orang dewasa di sekitar mereka, orang-orang yang meninggal dan terluka, yang digantung dan bunuh diri, rumah-rumah yang dibom dan main di reruntuhan," tulis Alexandra Senfft - cucu dari seorang penjahat perang Nazi, dan penulis The Long Shadow of the Past: Descendants Face their Nazi Family History - di bagian pengantar untuk Kriegskinder.
"Ada yang mengingat jelas ada yang kabur, namun banyak yang bisa membayangkan pesawat-pesawat dan 'orang-orang Rusia'; mereka bisa mengingat rasanya kelaparan dan cokelat yang diberikan oleh tentara Amerika."
Saat membaca ingatan-ingatan ini, kita dibawa ke sebuah tempat yang lebih dekat untuk bisa memahami: dengan melihat mereka sebagai anak-anak, walaupun kita melihat foto mereka sebagai orang dewasa, kita mengakui ambiguitas mereka.
"Untuk mengenali bahwa ayah atau ibu seseorang bisa menjadi pelaku dan untuk merekonsiliasi pengakuan ini dengan rasa sayang kita pada mereka adalah sebuah tindakan yang penuh dengan ketegangan yang tak terbayangkan juga dengan kebimbangan," Senfft menulis.
"Kadang kejahatan yang ditutupi begitu berat membebani psikis generasi keturunannya dan mereka tak bisa memprosesnya: bagaimana bisa seseorang yang dicintai dan ayah yang penuh rasa sayang selama ini ternyata adalah seorang pembunuh?"