Opini

Meritokrasi, Mitos Politik?

ISTILAH meritokrasi lahir pertama kali oleh Michael Young pada 1958 dalam bukunya, Rise of the Meritocracy

Editor: bakri
DIAN MAHARANI

Oleh Sufri Eka Bhakti

ISTILAH meritokrasi lahir pertama kali oleh Michael Young pada 1958 dalam bukunya, Rise of the Meritocracy. Dalam definisi praktisnya, meritokrasi atau sistem merit adalah proses promosi dan rekruitmen pejabat pemerintahan berdasarkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas, bukan berdasarkan koneksi politis. Meritokrasi adalah profesionalisme (baca: kinerja dan prestasi). Stephen J. McNamee menyatakan bahwa meritokrasi adalah sistem yang menekankan kepada kepantasan atau kelayakan seseorang menduduki posisi atau jabatan tertentu. Kepantasan di sini sebagai kemampuan. Tanpa memandang latar belakang etnis, afialiasi politik, atau status sosial mereka.

Dalam konteks politik, meritokrasi sebenarnya satu sistem yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi. Meritokrasi sering dianggap sebagai suatu bentuk sistem masyarakat yang sangat adil dengan memberikan tempat kepada mereka yang berprestasi untuk duduk sebagai pemimpin. Dalam dunia kerja, arti dari meritokrasi adalah sebuah penghargaan yang diberikan kepada pekerja atau karyawan yang disesuaikan dengan keahliannya, jabatannya atau prestasinya. Sebab itu, istilah meritokrasi kerap dipakai untuk menentang birokrasi yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), terutama pada aspek nepotisme.

Sejarah meritokrasi
Di negara maju, meritokrasi telah diterapkan sejak ratusan lampau. Bahkan didunia barat, meritokrasi menjadi salah satu kunci keunggulan mereka dibandingkan peradaban lainnya di dunia.Contoh modern dari meritokrasi dapat dilihat di Singapura. Negara tetangga Indonesia tersebut telah membentuk pemerintahan dan administrasi di berbagai sektor dengan menempatkan para pemimpin berdasarkan prestasi atau kemampuan mereka.

Jauh sebelum masyarakat barat menerapkan meritokrasi, Dinasti Utsmani telah terlebih dahulu mengaplikasikannya. Hal ini dilakukan sebagai upaya menjaga stabilitas negara yang terdiri dari berbagai etnis dan latar belakang budaya. Pada masa itu, bukan suatu hal yang mengherankan jika melihat anakBalkan menjadi serdadu atau komandan militer Utsmani dalam penaklukan Eropa. Di Jepang sendiri, meritokrasi telah ada sejak restorasi Meiji. Meritokrasi di Jepang dapat dilihat ketika pemimpin negeri matahari terbit tersebut memberikan beasiswa ke luar negeri bagi siswa yang mampu dan berprestasi.

Menguliti landskap sejarah Indonesia, Bangsa ini pernah dipimpin oleh perdana menteri yang menerapkan meritokrasi pada masanya. Perdana menteri tersebut adalah Sutan Sjahrir (1909-1966) dan Agus Salim (1884-1954). Mereka telah menerapkan sistem meritokrasidalam memilih menteri menteri yang mumpuni dibidangnya.

Setelah itu, Ir Juanda (1911-1963) juga pernah menerapkan meritokrasi melalui Zaken Cabinet. Beliau mengangkat menteri-menterinya berdasarkan keahlian dan kemampuan yang dimiliki. Selajutnya, BJ Habibie semasa menjadi presiden juga pernah berusaha menerapkan pola dan sistem yang mengarah kepada meritokrasi dalam pemerintahan Indonesia. Walau masa kepemimpinan kesemua tokoh tersebut tergolong sangat singkat.

Di sektor bisnis, bisa dikatakan meritokrasi “mati segan hidup tak mau”. Dapat dilihat dari daftar Fortune Global yang berisi 500 perusahaan dunia dengan omzet terbesar, Indonesia hanya ada satu perusahaan milik negara yang termasuk dalam daftar bergengsi tersebut yaitu Pertamina, sedangkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih belum mampu memberikan hasil yang memuaskan.

Dikaji lebih dalam, tentu ada yang salah dengan pengelolaan perusahaan-perusahaan negara tersebut. Tanri Abeng dalam bukunya, Reformasi BUMN dalam Perspektif Ekonomi Makro, mengatakan bahwa mismanajemen di BUMN disebabkan tidak adanya meritokrasi dalam pemilihan pucuk pimpinan. Seperti halnya dalam penunjukan direksi perusahaan, yang hanya berdasarkan like and dislike pejabat pemerintah, bukan melalui uji kepatutan dan kepantasan.

Timbul pertanyaan umum dalam masyarakat kita, apakah benar meritokrasi sebagai kunci kebangkitan masyarakat yang maju atau hanya mitos politik? Mari kita alihkan pandangan ke bidang olahraga. Di bidang ini, terutama bulutangkis, putra dan putri Indonesia mampu merajai berbagai ajang kompetisi baik nasional maupun internasional. Bahkan kejuaraan dunia bergengsi seperti Thomas Cup, Indonesia terbanyak meraih piala.

Dan, masih banyak ajang perlombaan olahraga yang membuktikan bahwa Indonesia bisa unggul. Artinya, penerapan meritokrasi di bidang olahraga adalah kunci dan telah terbukti efektif dalam menggali potensi sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Selain bakat, mereka bisa berprestasi dikarenakan adanya kesempatan yang diberikan secara sportif, guna membuktikan mereka mampu menjadi yang terbaik.

Moral dan kapabilitas
Dalam perspektif Islam, konsep meritokrasi merupakan kapabilitas dan moralitas. Islam menjadikan moral dan kapabilitas sebagai acuan dalam mempekerjakan seseorang seperti dalam percakapan antara putri pemuka Madyan dengan Musa as, sebagaimana firman Allah Swt, “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashas: 26).

Jika saja bangsa Indonesia mau melaksanakan meritokrasi sepenuh hati, maka tentu meritokrasi bukan menjadi istilah atau mitos politik belaka. Karena meritokrasi, memungkinkan seseorang bisa maju ke tingkat tertinggi --bahkan menjadi presiden sekalipun-- tanpa perlu khawatir terhadap pertimbangan politik.

Jika masyarakat suatu negara sadar bahwa mereka bisa maju karena prestasi, mereka lebih mungkin untuk melakukan hal-hal yang optimis dalam upaya meningkatkan kemampuan mereka. Sehingga, tidak timbul gap yang sering muncul di opini publik bahwa seseorang yang dekat dengan kekuasaan (orang dalam) yang memiliki kesempatan atau seseorang yang kaya yang memiliki kesempatan sukses dalam karier dan pekerjaannya.

Oleh karena itu, masyarakat khususnya generasi muda penerus bangsa dituntut bekerja dan belajar lebih keras, guna membuktikan bahwa mereka mampu. Semoga!

* Sufri Eka Bhakti, MA., Dosen Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe, Postgraduated, Universiti Sains Malaysia (USM). Email: sufri.usm@gmail.com

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Medium

    Large

    Larger

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved