Opini

Kiprah ‘Kartini’ Aceh dari Masa ke Masa

SEJARAH Aceh menggambarkan dinamika yang sangat terbuka bagi peran perempuan. Karenanya Aceh memiliki banyak tokoh sebagai Kartini Aceh

Editor: hasyim
Foto/Mayor Inf Aris NL Kodam III/Siliwangi
Mahasiswa dari delapan perguruan tinggi dan akademi swasta se Jawa Barat, berkunjung ke makam pahlawan Nasional asal Aceh Cut Nyak Dhien, di Gunung Puyuh, Desa Suka Jaya, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Minggu (5/2/2017). Makam pahlawan Aceh tersebut merupakan salah satu situs wisata sejarah. 

Oleh Rasyidah

SEJARAH Aceh menggambarkan dinamika yang sangat terbuka bagi peran perempuan. Karenanya Aceh memiliki banyak tokoh sebagai Kartini Aceh di berbagai bidang pembangunan. Aceh mencatat peran sulthanah Kerajaan Samudera Pasai, yaitu Ratu Nur Illah dan Ratu Nahrasiyah pada abad 15 M. A Hasjmy mencatat, masa kepemimpinan Ratu Nahrasiyah (1400-1428 M) telah membawa kerajaan ini pada kejayaan, menyempurnakan tamaddun yang telah dirintis oleh kakeknya Sultan Malikussaleh. Hal yang sama terjadi pada Kerajaan Aceh Darussalam, yang selama 59 tahun dipimpin oleh empat ratu; Ratu Safiatuddin (1641-1675 M), Ratu Naqiatuddin (1675-1678M), Ratu Zakiatuddin (1678-1688 M), dan Ratu Kamalatsyah (1688-1699).

Keberadaan ratu-ratu di Aceh sejak abad 15 M, adalah bukti bahwa peran publik perempuan telah berkembang lama. Peran ini berkembang di seluruh bidang termasuk politik dan pertahanan. Setidaknya terdapat tiga faktor yang mendukung perkembangan peran publik perempuan sejak dulu: Pertama, dukungan “status sosial politik” sebagai keluarga kerajaan. Faktor keluarga kerajaan, menguntungkan perempuan dan laki-laki karena status ini memberi kesempatan yang luas untuk mendapatkan peningkatan kualitas SDM.

Kedua, dukungan ulama terhadap kepemimpinan perempuan. Catatan sejarah menjelaskan dukungan Syeikh Nuruddin Ar-Raniry pada pemerintahan Ratu Safiatuddin, dan dukungan Abdur Rauf As-Singkili pada empat ratu di Kerajaan Aceh Darussalam. Dukungan ulama sangat penting karena sosial budaya Aceh identik dengan Islam. Tanpa dukungan ulama, sulitlah bagi sultan atau suthanah manapun untuk mengendalikan pemerintahan. Apa lagi bagi sulthanah, karena ada kontroversi terhadap kepemimpinan perempuan. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri fakta kepemimpinan enam ratu di Aceh. Dua di kerajaan Samudera Pasai dan empat pada masa Kerajaan Aceh Darussalam. Sebagiannya dicatat dalam sejarah sebagai pemimpin yang membawa kemajuan dan kemakmuran.

Dan, ketiga, dinamika politik yang terbuka untuk peran perempuan, sehingga banyak perempuan yang berkiprah luas dalam pembangunan. Sejarah kepemimpinan enam ratu, tidak muncul serta-merta dalam kehidupan masyarakat Aceh, melainkan telah lama eksis. Pada masa Sultan Iskandar Muda memerintah Kerajaan Aceh Darussalam (1608-1637), dikenal kiprah Putroe Phang sebagai penasihat. Satu sarannya adalah pembentukan Balai Majelis Mahkamah Rakyat, beranggotakan 73 orang, mewakili penduduk kerajaan. Maka semua produk lembaga ini disebut produk Putroe Phang. Menurut Hamka, ada 15 perempuan yang menjadi anggota Balai ini, yang berasal dari berbagai wilayah di Aceh. Hal ini diabadikan dalam Hadih Maja, Adat bak Poteu Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana.

Pasukan perempuan
Selain itu, terdapat juga tokoh militer, Laksamana Malahayati yang memimpin armada kerajaan masa Sultan Alaidin Riayat Syah Al-Mukammil (1589-1604) dengan 2.000 pasukan perempuan. A Hasjmy menyebutkan, “untuk ukuran masa itu Armada Inong Balee dipandang sangat kuat di Selat Malaka, bahkan di Asia Tenggara. Selain menjadi panglima yang sangat disegani, Malahayati juga negosiator yang handal. Ia menjadi andalan Sultan untuk bernegosiasi dengan banyak pihak. Kekuatan armadanya membuat lawan, lebih memilih diplomasi dari pada mencoba memasuki Aceh dengan pertempuran. Ketika Belanda mengirim ekspedisi permohonan maaf dan hadiah yang dibawa dengan empat buah kapal dari Belanda, guna memulihkan kembali hubungan Aceh-Belanda yang lama terputus, Sultan meminta Malahayati untuk menanganinya.”

Tidak hanya Malahayati, tetapi 2.000 pasukan Inong Balee yang dipimpinnya, bukan jumlah yang sedikit. Di mana ada 2.000 perempuan tangkas yang berkiprah dalam bidang militer kelautan Aceh pada abad ke-16 Masehi. Bukan sebagai pelengkap atau tugas tambahan, melainkan pelaku utama, yang telah membuat Kerajaan Aceh semakin disegani.

Selain itu pada masa Sultan Ali Mughayat Syah (1604-1607) telah dibentuk Sukey Inong Kaway Istana (Resimen Perempuan Pengawal Istana) yang dipimpin oleh Laksamana Muda Cut Meurah Inseun. Pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), angkatan perang Aceh diperluas dengan membentuk Divisi Kemala Cahaya yang dijadikan Bataliyon Kawal Kehormatan. Pasukan ini dipimpin oleh Jenderal Keumala Cahaya yang bertugas menjaga keamanan istana dan mengatur tata tertib dan protokol. Selain itu, banyak juga perempuan yang bertugas di istana untuk bagian konsumsi dan protokoler, seperti menyiapkan makanan dan menari pada acara seremonial penyambutan tamu-tamu kerajaan.

Gambaran di atas menunjukkan kiprah publik perempuan Aceh telah eksis sejak lama. Hal ini juga terus berlanjut pada peran patriotik perempuan Aceh pada masa penjajahan Belanda. Cut Nyak Dhien, seorang pahlawan perempuan yang berjuang di wilayah barat Aceh. Cut Nyak Dhien berjuang bersama suaminya Teuku Umar. Pada 1899 Teuku Umar gugur. Setelah itu, selama enam tahun Cut Nyak Dhien memimpin pasukan untuk bergerilya melawan Belanda di Meulaboh. Pada 1905 ia tertangkap, dibuang ke Sumedang, Jawa Barat dan meninggal pada 1908. Presiden Soekarno melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada 2 Mei 1964, menetapkan Cut Nyak Dhien sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Kartini Aceh lainnya adalah Pocut Baren, sahabat Cut Nyak Dhien. Ketika suaminya (Uleebalang Daerah Gume) gugur dalam pertempuran melawan Belanda, Pocut Baren menggantikannya sebagai Uleebalang. Ia mempunyai banyak pengikut setia yang senantiasa membantunya dalam pertempuran melawan Belanda. Pocut Baren berjuang sejak 1903-1910, termasuk bersama-sama dengan Cut Nyak Dhien. Ketika kakinya harus diamputasi karena luka tembak yang membusuk, Pocut Baren masih terus berjuang, meski tidak lagi dengan pertempuran fisik. Pocut Baren menyemangati anak buahnya melalui syair dan pantun.

Kiprah publik
Akan tetapi konstruksi peran perempuan Aceh mengalami pergeseran seiring dengan perubahan paradigma yang bertujuan membatasi kiprah publik perempuan, dengan mendorong perempuan di rumah saja. Sering pula disebutkan bahwa peran publik perempuan adalah budaya luar. Meski ini terlihat sangat bertolak belakang dengan tradisi yang mensejarah, namun internalisasinya terus berlanjut. Padahal, pada sejarah tradisi Aceh, perempuan diposisikan sama-sama memiliki tanggung jawab sosial keumatan.

Pandangan ini bergeser secara perlahan, berganti dengan pandangan yang menganggap perempuan ideal adalah di rumah saja. Sehingga muncul pembagian peran laki-laki dan perempuan, bahwa peran perempuan sebatas urusan rumah tangga (domestik) dan peran laki-laki, urusan publik. Hal ini kemudian memengaruhi konstruksi di masyarakat, dan pada akhirnya menimbulkan “kegamangan identitas” perempuan Aceh. Karena pengetahuan sejarah tentang luasnya kiprah publik perempuan dan tradisi patriotis yang terwarisi dalam dirinya, bertentangan dengan gelombang keinginan merumahkan perempuan.

Pandangan “perumahan perempuan” secara nasional seide dengan semangat “ideologi ibuisme” yang dikembangkan pada masa Orde Baru. Pengembangan “ideologi ibuisme” ini berangkat dari niat membangun identitas perempuan Indonesia yang berangkat dari filosofi budaya Jawa. Meski “ideologi ibuisme” jauh berbeda dengan identitas perempuan Aceh, namun faktanya hal ini turut mempengaruhi pembentukan karakter perempuan saat ini.

Pembelokan sejarah ini, sebenarnya melahirkan ambigu terkait kegamangan kiprah publik perempuan. Di mana sejarah dan darah nenek moyang yang mengalir dalam semangat mereka adalah menjadi perempuan patriotis yang berkiprah luas membangun umat, tetapi internalisasi nilai yang ditransfer adalah “ideologi ibuisme” yang terkadang dibungkus dengan penafsiran Islam. Sehingga tidak jarang kritik sebagian perempuan dianggap menentang Islam. Situasi inilah yang kemudian menggiring perubahan arah gerak sosial budaya Aceh, terkait kiprah perempuan menuju pola yang tidak lagi sama. Padahal sejarah Islam sendiri mencatat banyak tokoh perempuan dengan beragam kiprah publiknya.

Menjadi aneh jika disebutkan warisan budaya Aceh adalah menempatkan perempuan di rumah, sementara terdapat begitu banyak perempuan dengan kualitas kiprah publik yang luar biasa sepanjang sejarahnya, serasa ada sejarah yang terpatahkan. Rupanya sejarah pemimpin negeri meutuah ini belum mampu membuka mata. Kita cenderung melupakan jasa endatu perempuan, para Kartini Aceh yang turut mewariskan tanah negeri ini. Apakah endatu berarti pria? Jika perempuan di negeri ini ingin berkiprah bersama membangun umat, mengapa negeriku takut berdiri setara?
Selamat Hari Kartini!

Dr. Rasyidah, M.Ag., Presedium Balaisyura Ureung Inong Aceh, Ketua Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Ar-Raniry, dan Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. E-mail: rasyidah_safii@yahoo.co.id

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved