Cerita Reformasi Birokrasi Ala Sekdes Pondok Gajah, Jamin Surat Selesai dalam Dua Menit
"Di Jakarta, berapa lama dibutuhkan waktu mengurus selembar surat desa? Di Pondok Gajah ini cukup dua menit,"
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Yusmadi
Laporan Fikar W Eda | Jakarta
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA -- Namanya Ucok Syahbubuddin. Ia pernah menjadi kiper Berlian, klub bola Kecamatan Bandar, Bener Meriah.
Saat ini, ia menjabat Sekretaris Desa Pondok Gajah di Kabupaten Bener Meriah. Ia sukses menata administrasi desa tersebut, dan meraih beberapa penghargaan di tingkat kabupaten dan provinsi.
"Di Jakarta, berapa lama dibutuhkan waktu mengurus selembar surat desa? Di Pondok Gajah ini cukup dua menit," ujarnya penuh semangat.
Ia menjamin tak satu rupiah pun dipungut dari warga atau siapa saja yang membutuhkan surat desa.
"Saya digaji pemerintah. Saya tak terima pemberian apapun," tukasnya.
Baca: Menuju Birokrasi Berkualitas
Tapi kalau mau menyumbang, ia mempersilakan mengisi kotak amal untuk masjid desa. Hasil kotak amal diserahkan ke empat masjid kecil kampung itu.
"Ini artinya, urusan dunia beres, urusan akhirat juga teraih," katanya lagi.
Setiap tamu yang datang ke kantor desa, langsung dipersilakan duduk bersila. Tak ada kursi atau meja kantoran.
"Kami menggunakan filosofi Gayo, tamu disambut dengan 'alas bedenang," ujarnya.
Alas atau tikar dibentangkan sebagai pemulia tamu yang datang. Tapi tentu tikar sudah ia ganti dengan karpet tebal dan bersih.
Baca: Mengamputasi Hegemoni Birokrasi
Pak Ucok, demikian ia akrab disapa, lalu memperlihatkan buku tebal berisi profil desa, lengkap dengan potensi alam dan jumlah penduduk.
Seluruh data dientri dalam komputer.
"Kalau butuh surat, saya tinggal print, jadi 'barang tu," katanya dalam logat "sedikit" Medan. Itulah sebabnya, proses pengurusan surat sangat cepat di desa itu.
"Jangan liat luarnya ya. Soalnya, gigi saya ompong dan kurang gaya," katanya berkelakar. Ia pandai berbicara dan senang bercanda.
Baca: Menanti Birokrasi Syariah
Desa Pondok Gajah Bener Meriah dihuni 395 kepala keluarga (KK) atau 1.435 jiwa.
Sebagai Sekdes yang rapi dan teliti, Pak Ucok tahu betul kondisi warga. Termasuk anak yang baru lahir atau ada yang meninggal dunia. Ia selalu memperbaharui datanya.
"Penduduk di sini 86 persen etnis Jawa. Selebihnya Gayo, Aceh, Batak dan lain-lain," kata Pak Ucok.
Usianya 58 tahun.
Pertama sekali menjejakkan kaki di Tanah Gayo pada usia 20 tahun. Ia datang ke Gayo karena "patah hati" di Medan.
Ia memulai kehidupan baru, sebagai petani dan bekerja apa saja. Setelah empat tahun di Gayo, Pak Ucok pernah balik ke Medan, tapi tak lama.
Bayangan Gayo kembali muncul di benaknya dan membuatnya kembali ke Bener Meriah. Sejak itu, ia memutuskan tinggal dan menjadikan Gayo sebagai tanah kelahiran kedua.
Menikah dengan perempuan Gayo, dikaruniai empat anak. Tertua sudah sarjana ekonomi dan bekerja.
Ia diangkat sebagai Sekdes pada 2007, berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS).
"Saya dulu pernah tukang nyinso dan petani tomat," kataya tentang masa lalu.
Baca: Puasa, Momentum Reformasi Birokrasi
Ia bangga menetap dan tinggal di Gayo. Kehidupan masyatakat aman dan tenteram. Tak ada pengemis dan peminta-minta. "Ini tanda warga makmur," ujarnya.
Meraih berbagai penghargaan sebagai desa dengan administrasi paling tertib di Bener Meriah. Gubernur Aceh Zaini Abdullah pernah memintanya datang ke Banda Aceh, menceritakan pengalamannya mengurus desa.
"Saya hanya berbagi pengalaman saja. Apa yang kami lakukan, adalah sesuatu yang seharusnya dilakukan desa," katanya merendah.
Desa Pondok Gajah termasuk desa yang pertama sekali mampu menyelesaikan program rencana pembangunan desa. Pernah suatu ketika, sejumlah kepala desa di Bener Meriah "menumpang" di Kantor Desa Pondok Baru untuk menyelesaikan tugas menyusun rencana pembangunan desa.
"Mereka tidur di ruangan ini," katanya seraya menunjuk beberapa ruangan kantor desa tersebut.
Des Pondok Gajah berada "terdepan" dalam administrasi desa, karena pernah menjadi desa binaan sejumlah lembaga swadaya masyarakat.
Salah satunya LSM GeRAk atau Gerakan Anti Korupsi.
"Alhamdulillah kami mendapat banyak bimbingan dari sejumlah pihak, termasuk LSM," ujarnya.
Perihal nama Pondok Gajah, diceritakan bahwa, kawasan itu tempat perlintasan gajah dulunya. Di sana juga terdapat perkebunan teh pada masa Belanda.
Para pekerja perebunan membangun pondok-pondok tinggal di sana.
"Karena ada pondok-pondok dan sering dilintasi gajah, kemudian mesyarakat menyebutnya sebagai Pondok Gajah," kisah Pak Ucok tentang muasal nama desa itu.
Baca: Aceh dan Politik Birokrasi
Kepada tamu yang berkunjung ke rumahnya, Pak Ucok menyuguhkan minuman teh dan kopi yang dipetik di kebun sendiri.
"Ini tehnya. Tumbuh di halaman rumah. Tinggal petik dan kerinhkan sendiri. Lalu sajikan. Nah selamat dinikmati," katanya seraya menyodorkan cangkir berisi teh Pondok Gajah. (*)