Opini
Paradoks Pengusahaan Sumur Tua Migas
PERISTIWA blow out (semburan) yang diikuti terbakarnya sumur minyak yang dikelola warga, di Gampong Pasir Putih
Masyarakat juga berada diposisi yang turut serta berkontribusi terhadap kondisi yang terjadi. Rasa tidak percaya kepada pengambil kebijakan, telah menyebabkan disorientasi yang berujung kepada pembangkangan terhadap aturan yang ada. Tentu, hal ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Masyarakat adalah unsur penting dalam sistem hukum yang mesti diajak turut serta dan bertanggung jawab.
Penanganan ‘blow out’
Menyalahkan serta mencari kambing hitam atas apa yang telah terjadi adalah bukan solusi. Apalagi bermuara kepada masyarakat biasa yang harus menanggung semua akibatnya. Karena, saat ini prioritas penanganan blow out, sehingga tidak meluas merupakan hal yang lebih penting.
Selain itu, pemulihan kondisi kesehatan korban, pemulihan harta benda dan lingkungan patut juga dicarikan jalan keluarnya. Bersyukur, Pemerintah Aceh telah menyatakan akan menanggung biaya pemulihan kesehatan bagi para korban. Tinggal kita tunggu, kebijakan apa yang akan diambil dalam rangka ganti kerugian harta benda dan lingkungan hidup.
Mencari siapa yang paling bertanggung jawab atas peristiwa ini, juga tidak serta-merta menyelesaikan masalah tata kelola pengusahaan migas di Aceh. Penegakan hukum an-sich tidaklah cukup, bahkan mengesankan kita semua “gagap” dalam menerapkan hukum. Begitu ada situasi tidak normal, baru hukum ditegakkan. Padahal, esensi hukum adalah menciptakan kebahagian bagi masyarakat. Hukum bukan berakhir dengan penghukuman saja. Tetapi lebih dari itu, hukum diciptakan untuk menciptakan masyarakat yang tertib.
Tata kelola migas Aceh harus mesti dilaksanakan sebagai sebuah sistem. Sistem tersebut memerlukan aturan hukum yang memadai, yang dilaksanakan oleh aparat yang profesional dan bertanggungjawab, serta pelibatan masyarakat untuk mendukung pelaksanaannya.
Negara lewat aparatur yang diberi tugas dan tanggungjawab dalam pengelolaan, pembinaan dan pengawasan mesti bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Tentu, sesuai porsinya masing-masing. Karena pembiaran yang dilakukan selama ini, telah berubah menjadi “kejahatan” terhadap tujuan untuk melindungi warga negara dari bahaya yang mengancam.
Tanggap terhadap apa yang telah terjadi menjadi kebutuhan terkini. PT Pertamina EP Asset 1, selaku Kontraktor Kontrak Kerja Sama mesti lebih disiplin dan bertanggungjawab dalam mengelola wilayah kerjanya.
Aparat penegak hukum agar serius melaksanakan ketentuan hukum.
Tidak kalah penting adalah, menjadikan masyarakat yang ingin berpartisipasi mengelola minyak untuk mengikuti aturan, difasilitasi dan diperkuat dalam hal keselamatan, kesehatan kerja, serta pengelolaan lingkungan hidup. Semoga!
* Bambang Antariksa, SH, MH., mahasiswa program Doktoral (S3) Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara (USU) dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien, Langsa. E-mail: bambangantariksa.sh.mh@gmail.com