Breaking News

Opini

Pancasila dalam Badai Demokrasi

SEPENGGAL pernyataan di atas disampaikan oleh Presiden Soekarno dalam Sidang Majelis Umum PBB pada 30 September 1960

Editor: bakri
WAKIL Gubernur Aceh, Nova Iriansyah saat memimpin upacara Hari Lahir Pancasila di Kantor Gubernur Aceh, Banda Aceh,Jumat (1/6). 

Terlepas dari motif yang melatarbelakangi pembubaran BP7 di atas, tentunya pada masa itu ada upaya yang tidak sehat dalam tubuh pemerintah, sehingga BP7 harus dibubarkan dan direvitalisasi. Singkat cerita, di era kepemimpinan presiden Joko Widodo yang telah menandatangani Perpres No.7 Tahun 2018 tentang Bandan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang berada di bawah dan bertanggung jawab terhadap presiden. Upaya ini harus didukung penuh oleh seluruh elemen negara. Selain rakyat, partai-partai oposisi hingga WNA pun patut mengindahkan dan menjaga amanah BPIP secara bijak dan profesional.

Pancasila seyogianya dijadikan sebagai etos kebangsaan. Tak satu nilai-nilai Pancasila pun yang bertentangan dengan agama, suku dan entis di dunia. Klaim inilah yang dimainkan oleh Presiden Soekarno ketika memperkenalkan ideologi Pancasila di panggung Internasional pada masanya. Dalam situasi demokrasi saat ini, Pancasila harus diposisikan sebagai ruh dan pedoman dalam menentukan arah demokrasi yang stabil dan berkelanjutan. Demokrasi tidak dapat dikelola dengan sistem manajemen wait and see seperti memasang jebakan harimau di tengah hutan.

Layak atau tidaknya sistem demokrasi sangat tergantung oleh sejauhmana pengamalan Pancasila oleh rakyat dan peyelenggara negaranya. Virus-virus demokrasi seperti praktik koruspi secara berjamaah dan santun, hoaks, ujaran kebencian(hate speech), terorisme dan intoleransi harus dibersihkan melalui keteladanan ber-Pancasila. Sungguh sulit jika mengatakan Indonesia sedang mengalami proses pematangan demokrasi. Pantasnya, Indonesia sedang mengalami serangan penyakit demokrasi secara kompleks, dan butuh obat serta strategi ampuh untuk menyembuhkan penyakit demokrasi Indonesia saat ini.

Diakui atau tidak, penerapan demokrasi Indonesia dewasa ini sedang terjebak ke dalam tiga narasi seperti keagamaan, pemilu dan kebebasan berpendapat. Tiga hal ini sewaktu-waktu berubah seperti pisau bermata dua. Alasannya bahwa, terjebak narasi keagamaan karena tolak ukur perilaku radikalisme dan terorisme cenderung dilihat dari perspektif keagamaan semata. Padahal tidak satu agama pun di dunia yang merestui praktik radikalisme dan terorisme.

Akhirnya, jika tiga hal tersebut di atas dapat dikelola sesuai dengan prinsip Pancasila, maka tiga hal itu akan mendatangkan nikmat demokrasi. Sebaliknya, jika tiga hal tersebut terlepas dari prinsip Pancasila, tentunya akan mendatangkan bencana demokrasi. Untuk itu, Negara akan liar dan memangsa rakyatnya secara pelan-pelan jika negara terlepas dari semangat Pancasila.

* Zulfata, S.Ud, M.Ag., alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, penulis buku Agama dan Politik di Aceh, serta pencetus Mazhab Berfikir Agapolisme. Email: fatazul@gmail.com

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved