Perempuan Penjual Jamblang di Pante Pirak
"Piyoh...piyoh..." suara seorang gadis kecil menyeruak di sela-sela deru kendaraan. Ia menyapa pengendara kendaraan sepeda motor dan mobil,
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Yusmadi
Laporan Fikar W Eda | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH -- Malam baru saja menggenapkan pekatnya, tatkala kumandang azan Isya menggema dari menara Masjid Raya Baiturrahman.
Lalu Kota Banda Aceh bermandi cahaya.
Kilau cahaya juga memancar dari Pante Pirak, jembatan yang melintasi Krueng Aceh. Jembatan sepanjang 102, 5 meter itu, merekatkan bagian utara dan selatan Banda Aceh.
Jembatan ini ramai dilintasi. Kendaraan lalu lalang silih berganti.
"Piyoh...piyoh..." suara seorang gadis kecil menyeruak di sela-sela deru kendaraan. Ia menyapa pengendara kendaraan sepeda motor dan mobil, untuk singgah.
Ada beberapa yang berhenti, lalu menyodorkan lembaran sepuluh ribu. Gadis kecil itu, memberikan bungkusan plastik kecil.
Tak lama, pengandara motor atau mobil itu berlalu, hilang di ujung jembatan.
Baca: Kisah Para Nelayan Muslim Pakistan Memberi Makan Anjing-anjing Terlantar
Perempuan kecil itu, Balqis Syahputri namanya. Siswa kelas IV Sekolah Dasar Neuheun, Kecamatan Masjid Raya Aceh Besar.
Balqis tinggal bersama kedua orangtuanya, menghuni Perumnas Ujung Batee, Desa Neuheun tadi.
"Tiap malam saya di sini menjajakan dagangan ini," katanya memulai percakapan.
Balqis memilih tempat pangkal jembatan sebelah kiri, dari arah Masjid Raya Baiturrahman. Ia duduk di sebuah bangku kecil.
Di depannya dijejerkan beberapa bungkus kecil plastik. Tempat daganganya bukan meja, melainkan kotak kecil, sekaligus dijadikan menyimpan dagangan.
"Ini namanya buah jamblang. Rasanya kelat, dan juga manis. Harganya, lima ribu rupiah, bungkusan kecil, dan yang besar sepuluh ribu," katanya tentang harga buah jamblang yang dijajakannya.
Buah jamblang atau ada juga yang menamakannya "anggur Aceh" atau "jambe kleng" adalah dagangan yang khas di atas jembatan Pante Pirak itu.
Tanaman dengan nama latin Syzygium cumini dari suku jambu-jambuan atau Myrtazeae itu, adalah tanaman musiman.
Setahun berbuah sekali dengan masa berbuah sampai tiga bulan. Desa Neuheun Aceh Besar dan beberapa desa di kawasan Ujung Batee adalah tempat tumbuh tanaman tersebut.
Balqis tak sendiri.
Ia berdagang jemblang di atas jembatan itu bersama-sama dengan 10-15 orang lainnya.
Baca: Fakta Mengejutkan dari Jamblang
Yang berdagang semuanya perempuan. Salah seorang lagi namanya Meli Agustina. Ibu lima anak, menggelar dagangan jamblang di jembatan itu.
Mereka bertetangga, berasal dari pemukiman yang sama, Parumnas Ujung Batee tadi.
Merekalah, "perempuan-perempuan jamblang" yang menghiasai pemandangan di atas jembatan Pante Pirak tersebut tiap malam.
Mereka duduk menghadap jalan. Mereka mudah dikenali, karena cahaya terang jembatan membantu sebagai penerang.
"Piyoh...piyoh..." sapa Balqis lagi.
"Piyoh...piyoh..." ajak Meli Agustina juga, mengundang pembeli singgah.
Seorang perempuan berkendara sepeda motor bebek, berhenti dan membeli sebungkus.
"Alhamdulillah, di tempat ini kita jualan banyak yang beli," kata Balqis lancar.
"Kami semua saudara dan tetangga, yang jualan di sini," cerita Meli Agustina pula. Meli pula yang menegaskan bahwa jamblang adalah "anggur aceh," karena memang mirip anggur, alasnya.
Balqis datang bersama ibu dan ayahnya. Ibunya, Yusnidar Novianti atau Yuyun, dan ayahnya Mulia Syahputra.
Ibunya, duduk bersama penjual jamblang yang lain, Meli Agustina, tadi di bagian tengah jembatan. Yusnidar atau Yuyun menggendong seorang bayi yang tampak terlelap di pangkuan.
Yuyun berusia 32 tahun. Suami Yuyun, Mulia Syahputra juga di sana, menemani. Pekerjaan sehari-hari buruh bangunan.
Usia Mulia Syahputra 36 tahun.
Balqis lalu kembali ke tempat jualannya semula. Yuyun banyak bercerita kenapa mereka harus berjualan di atas jembatan itu.
Sesekali menimpali cerita Meli Agustina, yang mengaku berasal dari Simeulue dan sudah tahunan hijrah ke Ujung Batee.
"Kami pernah jualan di Lampineung, Neusu dan banyak tempat lain. Tapi tak laku. Justru yang laku jualan di jembatan ini," kata Yuyun yang disambut anggukan sang suami.
Mereka mulai aktivitas berjualan selepas asyar dan berakhir sampai dini hari. "Ya sesanggupnya mata menahan kantuk," kata Yuyun.
Yuyun pernah menjadi anggota teater dan bermain drama di Banda Aceh. Ia mengenal beberapa nama tokoh teater Banda Aceh; Junaidi Bantasyam dan Junaidi Yacob almarhum.
"Saya dulu pernah di Teater Bola," kata Yuyun. Teater Bola dipimpin almarhum Junaidi Yacob.
Sesekali Yuyun juga menulis puisi. Salah satu artikelnya dimuat dalam majalah POTRET yang diasuh Tabrani Yunis.
Hobinya menulis dan baca puisi tak seintensif dulu.
"Keadaan membuat kami sekeluarga harus berjuang mempertahankan hidup. Membesarkan anak dan menyekolahkannya dengan baik," kata Yuyun lagi.
Yuyun sekeluarga, berjualan jamblang setahun sekali. Mengikut musim jamblang.
Perkawinan dengan Mulia memberinya lima anak, yaitu Radja Muazir Dharma,
Ilham Syaputra, Balqis Syahputri, Restu Akbar Syahputra, dan si bungsu Aisyah Azzahra yang masih bayi.
Yuyun dan Mulia adalah pasangan suami istri korban tsunami. Mereka menikah setelah tsunami.
"Suami saya, dan istri Bang Mulia meninggal dunia dalam tsunami. Lalu kami berjodoh dan sepakat menempuh hidup bersama," kebang Yuyun.
Berjualan di atas jembatan Pante Pirak bukannya tanpa risiko.
Mereka harus berhadapan dengan Polisi Pamong Praja yang bertugas menertibakan kota dari pedagang kaki lima berjualan sembarang tempat.
"Ya biasalah. Kami kan dikejar-lejar, kadang tertangkap," cerita Yuyun.
Mereka tahu, berjualan di jembatan, adalah sebuah kesalahan.
"Masalahnya kami jualan di tempat lain tak laku. Semetara kami harus menyambung hidup," kata Yuyun lagi.
Kegiatan berjualan jamblang mereka lakoni sejak 2007. Waktu itu, jamblang masih dianggap tanaman tidak komersial.
"Tapi kami kemudian mengolahnya, sebab kami butuh hidup," kisah Yuyun tentang awal mula berjualan jamblang. Musim jamblang, mereka dagang jamblang.
Musim rambutan jualan rambutan, begitu seterusnya. "Kami tidak ingin menjadi peminta-minta. Biarlah kami lakukan apa yang kami bisa, asal halal," tukasnya pula.
Peristiwa tsunami telah membuat mereka harus hidup di barak. Sampai sekarang rumah yang mereka tempati masih berstatus barak.
Padahal Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi atau BRR telah menyelesaikan pekerjaannya beberapa tahun silam.
"Silakan datang ke kompleks kami, lihat keadaannya," undang Yuyun menjenguk Perumnas Ujung Batee di Desa Neuhen tersebut.
Baca: Menikmati Gegap Gempita Kehidupan Penduduk di Pulau Balai
Hasil berjualan jamblang tidak seberapa. Sehari semalam memang bisa mengumpulkan 200 sampai 300 ribu rupiah.
Tapi mereka harus mengeluarkan ongkos transportasi, makan, dan modal membeli jamblang dari para pemasok jamblang.
"Alhamdulillah, walau sedikit, ada sedikit yang kita bawa pulang," timpal Mulia Syahputra.
Ia datang hanya menenami. Ia bertugas mengumpulkan buah jamblang di kampung.
Keluarga ini, seperti juga keluarga penjual jamblang lainnya langsung pulang ke Neuheun apabila telah tutup jualan.
Beberapa pembeli kembali singgah membeli jamblang. Kali ini keluarga yang mengendarai mobil sedan.
"Piyoh...piyoh..." terdengar sapaan perempuan-perempuan penjual jamblang di malam yang makin pekat.
Arloji hampir menunjukkan angka dini hari. (*)