Opini
Mahathir, Rizal Ramli, dan Pulau Malaria
SEJATINYA, ucapan itu bukan barang baru. Rizal Ramli (RR) sudah sering mengulang-ulang pernyataan tersebut di banyak tempat dan kesempatan
Kemiskinan yeng membelit sebagian besar rakyat negeri ini memang tidak semata-mata karena mereka malas. Justru pada umumnya rakyat Indonesia adalah pekerja keras, ulet, dan tahan banting. Dalam praktiknya, kemiskinan dipicu oleh kebijakan negara yang memiskinkan. Mengimpor beras dan garam saat panen raya jelas kian memiskinkan petani dan petambak garam. Membarter kuota impor berbagai komoditas pangan dengan uang sogokan jelas merugikan negara dan menyusahkan rakyat. Publik harus membayar jauh lebih tinggi ketimbang yang seharusnya.
Mengobral sumber daya alam dan aset-aset BUMN, jelas merugikan bangsa ini. Terus-menerus berkiblat pada neolib sebagai model pembangunan ala Bank Dunia dan IMF, jelas mematikan potensi negeri ini untuk terbang lebih tinggi. Menimbun utang beribu-ribu triliun, jelas sangat membebani APBN, yang pada akhirnya merampas hak-hak rakyat dari postur anggaran. Utang telah membuat kedaulatan Indonesia sebagai sebuah bangsa besar raib entah ke mana.
Nah, untuk semua penderitaan dan kesengsaraan ini, harus ada pelaku yang bertanggung jawab. Untuk semua potensi kemajuan dan kejayaan di masa depan yang lenyap ini, harus ada pelaku yang dihukum. Hukuman keras dan tegas akan menjadi pelajaran bagi siapa saja agar tidak mengulangi kesalahan serupa. Mengirim 100 orang Indonesia paling brengsek ke pulau terpencil bernyamuk malaria adalah satu solusinya. Dan, itulah solusi yang ditawarkan Rizal Ramli.
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS). Email: edymulyadilagi@gmail.com