Gempa Palu Sulawesi Tengah
BNPB: Korban Meninggal Bencana Gempa dan Tsunami di Sulteng Menjadi 1.948 Orang
BNPB mencatat, dari total jumlah korban, sebagian korban dimakamkan secara massal.
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Jumlah korban meninggal dunia akibat bencana gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah, per 8 Oktober 2018 pukul 13.00 WIB, meningkat menjadi 1.948 korban.
Jumlah tersebut terdiri dari 1.539 korban dari Palu, 171 korban dari Donggala, 15 dari Parigi Moutong, dan 1 korban dari Pasangkayu, Sulawesi Barat.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, dari total jumlah korban, sebagian korban dimakamkan secara massal.
Sementara sebagian yang lain dibawa oleh keluarga untuk dimakamkan secara pribadi.
"Dimakamkan di TPU Paboya 810 korban, TPU Pantoloan 35, oleh keluarga 1.059, di Donggala 35, Biromaru Kabupaten Sigi 8, dan Pasangkayu 1 orang," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat Sutopo Purwo Nugroho di kantor BNPB, Utan Kayu, Jakarta Timur, Senin (8/10/2018).
Selain korban meninggal, BNPB mencatat terdapat 10.679 orang luka berat.
Tercatat pula 835 orang hilang yang diperkirakan masih tertimbun di bawah reruntuhan bangunan akibat gempa dan tsunami.
Selain itu, gempa bermagnitudo 7,4 SR yang terjadi Jumat (28/9/2018) tersebut mengakibatkan 74.444 mengungsi di 147 titik.
Dilaporkan pula, 65.733 rumah dan 2.736 sekolah rusak.
Ditambah lagi, terdapat 7 fasilitas kesehatan rusak berat, terdiri dari 1 rumah sakit dan 6 puskesmas.
Baca: Pertahankan Jilbab, Atlet Judo Indonesia asal Aceh Didiskualifikasi dari Asian Para Games 2018
Baca: Khabib Nurmagomedev, Atlet MMA Muslim yang Menolak Bertanding Pada Bulan Ramadhan
Diperkirakan, 5.000 Orang Masih Tertimbun di Balaroa dan Petobo
Tim gabungan masih terus melakukan pencarian dan evakuasi korban akibat gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah.
Fokus pencarian korban kini tertuju pada dua wilayah yang terdampak cukup parah, yakni Balaroa dan Petobo, di Palu.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, hingga saat ini diperkirakan masih ada 5.000 orang yang tertimbun tanah di wilayah Balaroa dan Petobo.
"Jumlah itu menurut informasi yang disampaikan kepala desa. Tapi masih belum terverifikasi," ujar Sutopo dalam konferensi pers di Gedung BNPB Jakarta, Minggu (7/10/2018).
Menurut Sutopo, ada 1.445 unit rumah di Balaroa.
Sementara, jumlah rumah yang rusak di Petobo diperkirakan ada 2.050 unit.
Luas wilayah Petobo 180 hektar.
Menurut Sutopo, sebagian besar wilayah Balaroa dan Petobo tertimbun lumpur.
Kondisi bangunan di permukaan telah rata dengan tanah.
Menurut Sutopo, Balaroa dan Petobo adalah dua wilayah yang terdampak Likuefaksi, di mana kondisi tanah berubah menjadi lumpur.
Proses pencarian terus dilakukan dengan bantuan 7 unit alat berat dan eskavator.
"Upaya terus dilakukan. Ditargertkan 11 Oktober sudah selesai. Kalau tidak ditemukan, nanti akan dibahas bersama. Apalagi tanggal 11 itu sudah dua pekan, sehingga sudah dinyatakan hilang," kata Sutopo.
Baca: Selain Cristiano Ronaldo, Ini Skandal Percintaan 7 Pesepakbola, Ada yang Berakhir Bunuh Diri
Baca: Partai Gerindra Laporkan Ratna Sarumpaet ke Polisi, Ini Alasannya
Penjelasan BNPB soal Likuefaksi yang Melenyapkan Permukiman di Petobo
Gempa bermagnitudo 7,4 yang terjadi di Sulawesi Tengah menyebabkan permukiman di tiga wilayah yakni, Balaroa, Petobo dan Jono Oge, menjadi lenyap tertimbun tanah. Diperkirakan masih ada ribuan orang yang tertimbun tanah akibat terjadinya gempa.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, lenyapnya bangunan di permukaan tanah di tiga wilayah tersebut diakibatkan terjadinya fenomena likuefaksi.
Menurut Sutopo, likuefaksi adalah tanah yang tak jenuh, yang kehilangan kekuatan akibat perubahan tekanan.
Ketika terjadi gempa bumi, tanah tersebut berubah menjadi lumpur.
"Perubahan itu akibat rongga di antara tanah, pasir dan kerikil menjadi lebih longgar dan dominan air. Tanah, kerikil dan pasir yang bercampur kemudian keluar ke permukaan, sehingga otomatis rumah di atasnya ambles," kata Sutopo dalam jumpa pers di Gedung BNPB Jakarta, Minggu (7/10/2018).
Meski demikian, likuefaksi tidak dapat terjadi di semua kondisi tanah.
Menurut Sutopo, likuefaksi sangat bergantung pada material tanah.
Likuefaksi sangat berpotensi terjadi pada lapisan tanah yang terdiri dari pasir, kerikil, batuan apung dan tanah yang tidak lengket, bersifat lepas atau gembur.
Kemudian, apabila kedalaman muka air tanah dangkal, kurang dari 10 meter.
Menurut Sutopo, material tanah seperti itu, jika mendapat goncangan lebih dari 6 magnitudo dengan durasi lebih dari 1 menit, maka akan menimbulkan likuefaksi.
Akibatnya, tanah berubah menjadi lumpur.
Pada 2012, menurut Sutopo, pemetaan soal likuefaksi di Kota Palu sudah disusun oleh Badan Geologi.
Namun, perkembangan kota yang pesat membuat kawasan yang berpotensi likuefaksi menjadi penuh dengan permukiman warga.
Baca: Bupati Ahmadi, Ikan Depik, Gutel dan Kopi Gayo dalam Mangan Rohol Morom di Pengadilan Tipikor
Baca: Dugaan Suami Bunuh Istri di Batam, Sempat Rekam Hubungan Intim hingga Sebut Korban Kelainan Seks
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "BNPB: Korban Meninggal Bencana di Sulteng Menjadi 1.948 "