Breaking News

Opini

Manusia Yang Sok

ADA satu anekdot nakal, bahwa semenjak tsunami di Aceh, atau di kawasan lainnya, beberapa jenis binatang juga sudah mulai sombong

Editor: hasyim
Okezone News
Makam Firaun 

Oleh Muhammad Yakub Yahya

ADA satu anekdot nakal, bahwa semenjak tsunami di Aceh, atau di kawasan lainnya, beberapa jenis binatang juga sudah mulai sombong, jika berpapasan dengan manusia. Jadi bukan cuma manusia yang bisa sombong, tapi anjing dan kucing pun misalnya, juga sudah mulai. Penyebabnya, karena (maaf) kotoran orang kaya yang sok, lantas dimakan anjing, maka anjing itu pun belagak sok. Kata orang dulu, si kaya yang angkuh (takabbur, sok, congkak, angkuh, pongah, egois, ananiah, dan keakuan) itu biasa, tapi kalau orang miskin yang sombong, ini luar biasa.

Di antara kita, pertanda congkak, cukup dengan dua gaya, dari hadis Rasulullah saw. Pertama, manakala melirik saudara kita dengan ekor mata, sebelah mata, atau merasa ia lebih rendah. Meremehkan manusia lain, inilah satu dari dua tanda orang egois. Ciri egois yang kedua selain suka menyepelekan tipe orang, ras, suku, kampung, bahasa, atau bangsa lain itu, adalah menampik kebenaran. Meragukan kebenaran, tanda orang pongah.

Jika iblis (moyang setan) sebagai pelopor pertama penyakit takabbur saat meremehkan bapak manusia, Adam as, maka kini sebagian kita yang berpelukan mesra dengan setan, lalu berjalan angkuh, pada hakikatnya kita pun sebagai setan berwajah manusia. “Keangkuhan (al-Mutakabbir) itu selendang Allah, tak layak dirampas oleh hamba,” sebait hadis mengingatkan kita. “Maka tidak akan masuk surga siapa pun yang ada kadar rasa sombong sekecil apa pun dalam hatinya,” sambung hadis yang lain.

Untuk itulah, antara lain Nabi Muhammad saw yang akan kembali kita peringati maulidnya, Rabiul Awal 1440 H nanti didelegasikan ke dunia untuk menyelamatkan umat yang sombong, lupa jati diri, krisis identitas, dari angkernya lembah kegelapan kesyirikan, kekufuran, kesesatan, bid‘ah, dan khurafat, menuju oase nan terang bersinarkan tauhid, keislaman, keluhuran, kelurusan, sunnah, dan keselamatan. Kakek manusia, Adam, sebagai Nabi pertama yang rendah hati berasal dari surga, maka sebagai Nabi penutup, Rasulullah, ingin mengajak dan menyelamatkan manusia untuk kembali ke surga dalam format yang juga tidak sombong.

Sok rasional
Wajah congkak kita: sok rasional, sok kaya, sok pandai, sok suci, sok benar sendiri, sering menggiring manusia ke gurun kesesatan, antara lain hobbi mengklaim kebenaran semu, dan melirik sinis orang lain. Dulu Rasulullah mengingatkan penguasa (mala’), orang kaya, laki-laki, pakar dan ahli (desainer atau sastrawan misalnya), atau orang kuat (pegulat misalnya) yang sok, untuk menyadari dari bahan apa ia diciptakan, hingga berani membagi-bagikan derajat manusia: kelas budak dan tuan, sahaya dan bangsawan, jelata dan aristokrat, atau “darah merah” dan “darah biru”.

Ciri kita yang menolak kebenaran, dan ini indikasi kesombongan, antara lain: kepada orang yang patuh dan jujur kita anggap kampungan dan ketinggalan; tapi buat orang bangsat dan licik kita sebut hebat dan maju. Terhadap orang yang curang dalam berlalu lintas kita kasih jempolan; tapi menilai kolot orang yang taat aturan di jalan raya. Menyindir tidak ada kerjaan untuk warga yang bolak-balik ke masjid dan mushalla; tapi menyebut dia yang sok sibuk itu ulet, kerja keras, dan pandai menghargai waktu. Mengangkangi suara azan secara terang-terangan; tapi diam-diam menyahuti suara setan. Meragukan berita Alquran dan hadis Nabi secara diam-diam; tapi meyakini betul berita koran secara gamblang.

Merasionalkan sunnah Nabi lalu mendebatkan dan membencinya, tapi di saat yang sama melogikakan yang bid‘ah, lantas membangga-banggakan dan menyosialisasikan; dan mengajak menyepakati suatu Sunnatullah dan Rasul-Nya itu aneh; tapi memandang lumrah-lumrah saja gaya sesat ala Barat. Rasulullah diutus untuk kaum jahiliah yang menjungkirbalikkan nilai-nilai: yang luhur dan mulia dinilai hina, dan yang zalim dan keji dipandang hebat.

Kini bagi kita yang awam, masih kabur antara sunnah dengan bid‘ah dan antara aspek ibadah dengan khurafat, pada beberapa contoh. Bagi kalangan yang mengamalkan dengan tulus kadangkala rentan dikritik, bagi yang mengkritik pun hanya pandai menyalahkan orang, yang ia sendiri tanpa bisa menunjukkan teladan mulia yang lain. Orang sombong, sok benar sendiri, biasa lancang menghakimi, misalnya dengan tuduhan telah mengada-adakan hal yang baru (baca: bid‘ah) terhadap apa yang belum ada pada masa Nabi, ke jidat orang lain. Siapa pun kita, yang hobbi memberi nilai, maunya fair dalam menilai, kalau memang kita sudah dibaiat sebagai pemberi stempel atau cap atas wajah, atas ibadah saudara kita.

Misalnya, kita menuduh macam-macam yang tidak nyaman, atas jamaah yang berzikir dan bershalawat ramai-ramai usai shalat; tapi kita tidak memberi nilai apa pun untuk saudara kita yang selesai salam bergegas ke teras masjid dan meunasah, untuk memantikkan rokok kretek atau rokok daun, sambil duduk ketawa dan bergosip ria. Kepada hamba yang menengadahkan tangan dalam berdoa kita sebut kurang nash dan kurang dalil; tapi kepada dia yang tak mau berdoa tak kita bilang apa-apa.

Orang yang berkomentar kayak di atas pun, celakanya, ada yang tak shalat. Kepada masyarakat yang malas shalat, kita memeluk menciumnya, tanpa label haram. Untuk muazin yang suara jelek, kita ejek, atau kita gugat bahwa kenapa sama anak-anak disuruh azan, atau azan kenapa orang tua; sedangkan kita yang muda-muda bersuara emas, lari menjelang shalat. Kalau bertemu masjid dan meunasah yang tidak terurus kita bergumam, kenapa tak ada manusia yang berazan, mana orang-orang; padahal kita juga orang.

Sok menilai
Bagi siswa umum, kita sebut mantap dan masa depan cerah; tapi untuk anak dayah dan sekolah agama kita lihat sebelah mata, dan nyaris tak ada harapan. Untuk mahasiswa yang ke Arab Saudi, Mesir, Morokko, Sudan, atau ke Timur Tengah lainnya, kita sebut berintelegensi kurang sedikit; tapi kalau mereka yang ke AS, Kanada, Jerman, Inggris, atau Australia itu, kita bilang itu baru jenius. Yang berjilbab lebar dan anggun menutup aurat, yang berkain sarung dan jubah kita sebut budaya Arab; tapi untuk yang telanjang, yang ujung rambut meliuk kayak ekor kuda, kita sebut modis.

Contoh lain, untuk kawan yang berkelebihan uang lalu ingin aqiqah kambing namun bukan pada hari ketujuh kelahiran, kita sebut itu tidak sah dan tak ada aturan; tapi kepada rumah tangga yang meniup lilin di hari Minggu, pesta uang tahun, sambil bertepuk tangan, nyanyian Barat, kita sebut itu baru tanda sayang pada anak, ayah mama yang hebat. Buat remaja masjid dan mushalla yang melantunkan Dala-il Khairat, Barzanji, Diba’, Likee Aceh, atau Nazam Aceh saat maulid atau bukan kita bilang mereka bikin ribut saja dan tak ada kerjaan; tapi kepada ABG yang berandalan, dari ruang rumah yang keras volumenya “lagu setan” atau “musik mabuk”, kita dengarkan secara seksama, dan diam membisu.

Ulang tahun kelahiran Nabi, kita nafikan, tak kita ingat, kita bilang bahwa itu hanya makan-makan dan seremonial belaka; tapi untuk ulang tahun anak kita, utang pun boleh besar asal meriah dan para tetangga kagum. Kepada warga yang merayakan maulid Nabi, yang merupakan kesempatan bagi orang malas sekali-kali menuju mushalla atau masjid, yang juga ajang memberi makan desa sebelah, jamuan bersama, yang juga ajang mendengar ceramah, ajang silaturrahim, kita cap keterlaluan dalam ibadah dan berat kita jadikan ia sebagai kawan; tapi bagi kita yang pelit, jarang berkenduri dan kikir bersedekah, jarang ke masjid, sombong dengan tetangga, jarang gotong royong, jarang ta’ziah, asosial, individualis, kita diamkan dan jadikan kawan.

Terkadang kita egois, kadang kita terlalu keakuan. Kita kadang merasa makhluk kelas satu, sedangkan orang lain kelas dua ke bawah. Amalan kita saja yang berpahala, amalan orang lain sesat. Kita boleh hidup, orang lain terserah dia. Kita harus cepat sampai ke tempat, kawan yang di samping entahlah, harus pelan-pelan, dan spot jantung. Kita kadang merasa top, orang lain “barang bekas”. Kita lupa jati diri sering lupa bahwa dalam perut ada najis; mati kita menjadi umpan cacing; sebelum kita hanya bayi merah, cuma mani yang hina, dari tanah (lumpur).

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved