Opini

Menulis Menyebarkan Ilmu Mencerdaskan Bangsa

MEWUJUDKAN suatu masyarakat yang smart yang siap menghadapi segala tantangan global tidak mudah

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Menulis Menyebarkan Ilmu Mencerdaskan Bangsa
Murid MTsN Model Banda Aceh memanfaatkan membaca buku di ruang pustaka pada jam istrahat. SERAMBI/BEDU SAINI

Oleh Azwardi

MEWUJUDKAN suatu masyarakat yang smart yang siap menghadapi segala tantangan global tidak mudah. Untuk itu diperlukan kepedulian dan semangat yang tinggi dari segenap elemen bangsa, mulai dari presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara, pejabat publik, akademisi, sastrawan, jurnalis sampai dengan rakyat jelata sebagai anggota masyarakat pada tataran paling bawah.

Tidak dapat dipungkiri bahwa barometer kemajuan suatu bangsa dan negara diukur berdaasarkan indeks kecerdasan anak bangsanya. Semakin baik indeks kecerdasan anak bangsa semakin baik pula derajat dan martabat bangsanya. Pada level nasional, Indonesia Pintar merupakan program unggulan presiden dalam rangka pemartabatan bangsa dalam ranah percaturan global.

Berbagai agenda yang berhubungan dengan pencapain program unggulan tersebut terus digulirkan melalui satuan-satuan kerja terkait, misalnya Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang berkolaborasi dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa beserta Pusat Kurikulum dan Perbukuan.

Pada level daerah, Aceh Caröng misalnya, merupakan satu program primadona Gubernur Aceh dalam rangka pemartabatan bangsa dalam ranah percaturan nasional. Berbagai agenda yang berhubungan dengan pencapain program unggulan yang telah digulirkan Pemerintah terus disingkronisasikan dan diadaptasikan dengan berbagai potensi keunggulan daerah sesuai dengan kearifan lokal.

Program strategis
Idealnya, untuk membumikan minat baca tulis dan sebarkan, perlu dipetakan program-progran strategis kegiatan sebagai berikut: (1) penguatan literasi keluarga, (2) penguatan literasi masyarakat, (3) penguatan literasi sekolah, (4) penguatan literasi dayah/pesantren, dan (5) penguatan literasi kampus. Ketika tradisi literasi berhasil bangkit, akan banyak inbas positif yang menyertainya, apalagi Aceh yang dikenal dengan daerah istimewa, khususnya di bidang agama, pendidikan, dan adat istiadat.

Karakteristik utama ulil albab (orang yang berpikir) adalah gemar membaca dan menulis. Melalui membaca kita memperoleh ilmu dan pengalaman, melalui menulis kita mengembangkan dan meyebarkan ilmu dan pengalaman. Semua input pengetahuan yang telah diserap idealnya dapat direkonstruksi; ditransformasikan; disampaikan ulang kepada khalayak. Dengan demikian, proses pengembangan dan penyebaranilmu terus berlanjut.

Manifestasi literasi, yaitu memberi tahu, mengajak, dan mempengaruhi orang lain tentang sesuatu yang positif dengan cara yang baik, pada dasarnya merupakan dakwah yang mungkin dilakukan oleh sertiap muslim (QS. An-Nahl: 125). Dakwah tersebut dapat dilakukan secara lisan (dakwah bil lisan) dan tulisan (dakwah bil kalam). Jika kita menyampaikan dakwah cecara lisan, tentu audiensnya terbatas. Akan sangat berbeda jika kita menyampaikannya melalui tulisan, misanya artikel dalam surat kabar, jangkauan pembancanya sangat luas, baik yang membaca melalui versi cetak maupun yang mengakses via versi online.

Berkaitan dengan itu, yang menjadi persoalan selama ini adalah sedikit sekali orang yang menulis. Hal ini barangkali karena dalam Alquran tidak ada perintah tulis secara eksplisit, yang ada perintah baca; ikra. Logikanya adalah tidak mungkin disuruh baca jika tidak ada apa yang dibaca.

Nah, apa yang dibaca itu merupakan tulisan, misalnya membaca tulisan yang berupa tanda-tanda kekuasaan Allah. Seandainya banyak ilmuan (guru, dosen, teungku, siswa, santri, mahasiswa, dan elemen masyarakat lainnya) memiliki keterampilan berliterasi atau menulis dan mau terus menulis, banyak masyarakat awam terbantu olehnya memahami prinsip-prinsip ilmu, baik ilmu-ilmu keduniaan maupun ilmu-ilmu keakhiratan.

Guru atau dosen yang banyak membaca, mengkristal ilmu-ilmu keduniaan (kependidikan, kedokteran, pertanian, dll.) dapat meramu berbagai ilmu yang dimilikinya untuk disajikan kepada masyarakat luas dengan bahasa sederhana yang mudah dicerna orang banyak. Begitu pula dengan teungku yang di dalam memorinya padat dengan berbagai prinsip ilmu keakhiratan yang diserapnya dari Alquran, Hadis, dan berbagai kitab kuning (syariat, tarikat, hakikat; fikah, tasauf, tauhid, dll.) dapat dielaborasi dan disajikan ulang dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat awam.

Di kalangan akademisi misalnya, satu buku ajar setara dengan membimbimbing skripsi 20 orang mahasiswa. Satu buku referensi setara dengan mengikuti 4 kali seminar internasional atau membimbimbing skripsi 40 atau tesis 12 atau 6 disertasi mahasiswa. Itulah sebabnya kegiatan menerbitkan buku merupakan point penting bagi dosen di perguruan tinggi, di samping publikasi ilmiah berupa artikel teknis atau jurnal ilmiah dan artikel populer atau opini media massa. Tanpa dua hal utama tersebut, mustahil seorang dosen dapat meningkatkan jenjang karier atau reputasi akademiknya.

Mulai pelaporan Sistem Informasi Pengembangan Karier Dosen (SIPKD) misalnya, dosen yang berjabatan lektor kepala, kini wajib menggunggah publikasi ilmiahnya yang berupa buku atau artikel jurnal ke slot khusus yang tersedia di sistem. Celakanya, pada pelaporan SIPKD dua periode terakhir ini (2018) banyak dosen yang gagal mengisi slot tersebut tersebab ketiadaan karya akademik yang telah diterbitkan atau dipublikasikan. Konsekuensinya adalah kemungkinan besar akan berpengaruh terhadap penerimaan tunjangan sertifikasi dosennya pada 2019.

Relatif mudah
Dalam pada itu, kata orang, menulis itu sangat susah, sehingga sampai pada membelakangi dunia pun seseorang tidak ada karya yang bermanfaat bagi orang banyak yang ditinggalkannya, padahal jauh-jauh hari Nabi saw sudah berpesan tentang hal itu. Kalau tidak ada anak, apalagi yang saleh, dan harta berlimpah yang dijariahkan, tinggalkan sebentuk karya yang bermanfaat bagi orang banyak sebagai amal yang tak putus hingga kiamat kelak. Bagi saya pribadi, hal itu terasa relatif mudah.

Betapa tidak, setiap hari minimal saya menulis satu paragraf, dalam seminggu menghasilkan satu artikel, sebulan sekali merampungkan satu proposal, di akhir tahun menerbitkan minimal dua sebuah buku walau kegiatan tersebut saya lakoni di sela-sela pekerjaan utama sebagai pengajar dan peneliti. Hal itu tidak berlebihan, satu halaman (rata-rata empat paragraf) per hari saja setahun dapat 360 halaman, dan itu sudah melampaui satu buku standar.

Meskipun relatif mudah, ada beberapa syarat yang harus kita dahului untuk itu. Apa saja itu? Pertama, adanya minat baca dan semangat menulis. Untuk adanya minat baca dan semangat menulis musti ada pembiasaan membaca dan berlatih menulis setiap hari. Untuk menulis sedikit diperlukan membaca yang banyak. Dari membaca yang banyak tercipta skemata yang kaya, dan itu merupakan modal potensial untuk terampil menulis.

Strategi jitunya adalah jadilah penulis yang dibayar (diapresiasi) karena menulis, bukan penulis yang menulis karena dibayar. Seorang penulis yang dibayar karena menulis bermakna bahwa ia penulis yang eksis, yang selalu butuh menulis, yang kualitas tulisannya maksimal, dan selalu memiliki stok tulisan yang cukup dan berkualitas. Berbeda dengan yang menulis karena dibayar, dia pasti bukan penulis yang eksis, kualitas tulisannya pun biasa-biasa saja, dan yang jelas tidak memiliki stok tulisan yang cukup, apalagi berkualitas.

Penulis yang dibayar karena menulis, menulisnya pasti pakai cinta, sedangkan yang menulis karena dibayar menulisnya cenderung pakai nafsu. Penulis yang pakai cinta pasti ada hati, sedangkan yang pakai nafsu hanya sekadar unjuk diri. Seperti makna ungkapan Aceh, nyang pakek ate sabe na lada watee trok kapai, nyang meururu nafsu tan na sapeue ‘oh jibungka. Bek ‘oh watee trok kapai baro jak pula lada!

Terkait dengan hal di atas, penyediaan bahan ajar; yang materinya diserap dari berbagai sumber yang representatif dan mutakhir; oleh seorang akademisi dalam wujud buku ajar, buku referensi, buku bacaan, kamus, artikel jurnal ilmiah, dan artikel pupuler merupakan tugas utama seorang akademisi di samping mengajar, meneliti, dan mengabdi.

Permasalahan selama ini, antara lain, adalah mahasiswa mengeluh karena tidak tersedia buku ajar yang representatif sebagai bahan rujukan utama dalam belajar mata kuliah-mata kuliah tertentu. Kepada mahasiswa dianjurkan mencari, meminjam, membeli, dan membaca buku-buku referensi yang ditunjuk oleh staf pengajar sesuai dengan sebaran materi yang tercantum dalam Rencana Pembelajaran Semester (RPS). Mungkin karena hal itu hanya berupa anjuran, mahasiswa sering tidak mengindahkannya. Dengan perkataan lain, mahasiswa tetap tidak sungguh-sungguh mempelajari buku-buku yang ditunjuk tersebut.

Di samping itu, umumnya mahasiswa tidak memiliki alokasi dana yang memadai untuk membeli sejumlah buku referensi yang mereka butuhkan. Hal ini barangkali dapat dimaklumi. Oleh karena itu, penyediaan bahan ajar; yang materinya diserap dari berbagai sumber yang representatif dan mutakhir; oleh staf pengajar dalam wujud buku ajar merupakan solusi alternatif yang dapat diberikan. Dengan demikian, mahasiswa tidak merasa keberatan memiliki dan mempelajari bahan tersebut. Salam literasi!

* Azwardi, S.Pd., M.Hum., peneliti/pegiat literasi, Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Darussalam, Banda Aceh. email: azwardani@yahoo.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved