Isi Surat Terakhir dari Pria Amerika yang Dibunuh Suku Kuno di Pulau Sentinel
Chau mengemban misi ke sebuah komunitas yang paling tak bisa ditembus di dunia, yang dikenal karena permusuhan intens mereka terhadap orang luar.
Chau yang berusia 26 tahun dari Washington State, adalah seorang petualang yang ambisius.
Dia suka mendaki gunung, berkemah di tempat-tempat terpencil, hiking, berkano, dan tentu saja melihat keindahan dunia.
Baca: Listrik di Seluruh Abdya Akan Padam Selama Tiga Jam
Dia pria lulusan Oral Roberts University yang tergugah hatinya untuk menyebarkan agama Kristen ke Pulau Sentinel Utara.
Dia mengatakan kepada teman-teman bahwa dia telah bekerja selama bertahun-tahun untuk membuat kontak yang tepat.
Yang mengejutkan adalah sepertinya dia memang bekerja sendiri dan tidak ada organisasi besar yang mengirimnya.
Untuk misi ini, dia memastikan untuk membawa Alkitab tahan airnya.
Namun para nelayan menolak untuk mengantarkan dia di Pulau Sentinel Utara.
Para nelayan terakhir rupanya secara tidak sengaja hanyut ke pantai, pada tahun 2006, ya dia terbunuh.
Baca: Sebelum Dimutilasi, Darah Jamal Khashoggi Dikuras Habis dari Tubuhnya
Jadi Chau mengatur agar perahu dapat membawanya mendekat dan kemudian melompat dengan kayak dan mendayung masuk sendiri ke pulau terlarang itu.
Saat-saat pertamanya, itu tidak berjalan dengan baik.
"Dua orang suku Sentinel yang bersenjata berteriak," tulisnya dalam surat itu.
"Mereka memiliki dua anak panah masing-masing, mereka mendekat."
"Saya berteriak, 'Namaku John, saya mencintaimu dan Yesus mencintaimu'."
Dia memberi mereka beberapa ikan, tetapi penduduk pulau terus datang ke arahnya.
Baca: Dalam 65 Hari ke Depan, Kota Utqiaġvik Tidak Melihat Matahari Sampai 23 Januari 2019
Dia akhirnya berbalik arah dan mendayung.