Kupi Beungoh

Pendekatan Militer sebagai Resolusi Konflik di Papua, Tidakkah Pemerintah Belajar dari DOM Aceh?

Dua konten dalam satu konteks yang sama dituturkan oleh dua orang yang turut melewati konflik dan resolusi konflik di Aceh.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Hand Over
Peneliti Centre of Terrorism and Radicalism Studies (CTRS), Ulta Levenia, bersama anak-anak di Papua. 

Hal ini terbukti dengan kasus proses perdamaian antara GAM dan Indonesia, MNLF/MILF dan Filipina, LTTE dan Srilanka, dan contoh lainnya.

Baca: Dipimpin Abunawas, Delegasi Moro Islamic Liberation Front (MILF) Belajar Implementasi Damai ke Aceh

Namun pemerintah selalu berdalih bahwa organisasi yang akan menjadi lawan diskusi mereka adalah organisasi kriminal, sipil bersenjata, hingga teroris, untuk menghindari label insurgents atau intermittent insurgents.

Label terhadap organisasi ini sangatlah dinamis.

Pada awal tahun 2000, merebaknya organisasi radikal di dunia, menempatkan GAM, MILF, MNLF, Taliban, dan lainnya sebagai organisasi teroris.

Pelabelan ini berdampak pada pendekatan koersif bersifat militeristik pemerintah terhadap organisasi yang dianggap sebagai teroris.

Lalu, pada tahun 2010 ditemukan 18% dari organisasi yang dikategorikan sebagai teroris melakukan diskusi perdamaian dengan pemerintah.

Karenanya, pendekatan ini terbukti tidak efektif untuk menuntaskan dan menghilangkan resistensi kelompok tersebut.

Peneliti Centre of Terrorism and Radicalism Studies (CTRS), Ulta Levenia, di Papua.
Peneliti Centre of Terrorism and Radicalism Studies (CTRS), Ulta Levenia, di Papua. (SERAMBINEWS.COM/Hand Over)

Misalnya, kebijakan keras mantan Presiden Filipina Joseph Estrada yang mengumumkan all out war melawan MILF, tidak terbukti berhasil menghapuskan organisasi tersebut dari tanah Filipina Selatan.

Kemudian akhirnya pemerintah dan organisasi separatis tersebut berunding dan melakukan proses gencatan senjata (ceasefire).

Proses ini tidak serta merta selesai dalam waktu singkat, hingga saat ini MILF masih menjalani proses ceasefire dengan pemerintah Filipina.

Berbeda dengan kasus Aceh yang proses gencatan senjata cepat dilakukan pascapenandatanganan MoU Helsinki.

Menurut amatan penulis, kondisi istimewa ini karena faktor bencana alam yang mendesak elit-elit GAM untuk “menyerahkan senjata” demi rakyat Aceh.

Kembali ke kasus Papua, penulis melihat respons Wiranto yang mengumumkan penanganan OPM tanpa diskusi, diikuti pengerahan lebih kurang 500 pasukan gabungan TNI-Polri untuk membasmi OPM, merupakan contoh bahwa Wiranto tidak belajar dari kasus Aceh.

PENULIS (baju putih jilbab hitam) bersama tentara Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Main Camp MILF, Darapanan, Mindanao, Filipina Selatan pada 24 Maret 2018.
Peneliti Centre of Terrorism and Radicalism Studies (CTRS), Ulta Levenia  (baju putih jilbab hitam) bersama tentara Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Main Camp MILF, Darapanan, Mindanao, Filipina Selatan pada 24 Maret 2018. (Hand Over)

Baca: BangsaMoro dan Pattani Belajar Damai ke Aceh

Baca: Myanmar Belajar Damai ke Aceh

Hal ini juga menunjukkan Wiranto telah menurunkan level OPM di bawah GAM, sehingga tidak pantas untuk dibuka ruang diskusi.

Namun apa indikator pantas dan tidak pantasnya suatu organisasi dibukakan ruang diskusi?

Yang paling utama adalah dukungan internasional atau atensi internasional terhadap organisasi tersebut.

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved