Sosok Jurnalis
Acha, Wartawan Investigasi Aceh Pertama yang Menghentak Dunia Lewat Laporan Tragedi Cot Pulot Jeumpa
Nama Acha akan selalu abadi tercatat dalam sejarah pers Aceh sebagai sosok wartawan sejati atas jasanya mengungkap sebuah fakta dan kebenaran.
Penulis: Ansari Hasyim | Editor: Ansari Hasyim
Beberapa surat kabar terbitan Medan Sumatera Utara seperti Lembaga, Tangkas, dan Warta Berita menulis kasus yang dilapor oleh Hasan Tiro tertera dalam agenda PBB.
“Bila kemudian tak dibicarakan di PBB itu lain soal. Kejadian di Aceh itu sudah jadi perhatian internasional,” tulis Zakaria M Passe di Majalah Tempo edisi 24 Oktober 1987.
Menurut Murizal, kekerasan oleh negara pada tahun 1955 terulang lagi di Aceh pada era reformasi seperti pembantaian di Beutong Ateueh, Simpang KKA, Bumi Flora dan lain-lain.
Sosok Acha
Dalam sebuah tulisan tentang "Kutaraja Sampai Tahun 1960"
jurnalis Harian Bijaksana yang terbit di Kutaraja pada masa itu M Joenoes Joesoef menulis Harian Peristiwa yang pertama kali menyiarkan daftar nama-nama korban tragedi Cot Pulot Jeumpa. Maka koran itu pun meledak.
Dimana-mana orang mencarinya. Maka orang-orang percetakan pun ambil kesempatan. Koran yang baru setengah jadi, artinya koran yang baru dicetak halaman satu dan empatnya, langsung dilego. Daftar korban memang ada di halaman satu dan empat.
Walau tidak kenal secara pribadi, tetapi Joenoes Joesoef mengetahui Acha.
"Hampir setiap saat kami bisa saja berpapasan di jalan, di atas sepeda masing-masing. Acha berbadan kecil, pakai kacamata. Yang jadi ciri khasnya, selalu ada sepotong kertas di tangan kirinya, yang menutupi sebagian tangan itu. Mengapa? Rupanya ada bagian berwarna putih di tangan itu, semacam supak, bekas luka akibat terbakar, yang tidak ingin diperlihatkan kepada orang lain," tulisnya.
Harian “Bijaksana” satu dari dua harian yang ada di Kutaraja waktu itu. Yang lainnya adalah “Peristiwa”, dengan pemimpin redaksi Acha, alias Ahmad Chatib Ali.
Pemimpin umum dan pemimpin redaksi harian “Bijaksana” adalah Hadjisjamaun.
Menurut Joesoef “Bijaksana”, seperti juga “Peristiwa”, dicetak di Percetakan Negara, satu-satunya percetakan yang tergolong bonafit di Kutaraja.
Walau mesin cetaknya sendiri sudah tergolong tua, tetapi di situ ada dua unit mesin “Intertype” baru, juga sebuah mesin “Linotype”.
Maka huruf-huruf cetakan pun tidak lagi disusun dengan tangan (seperti di jaman harian “Semangat Merdeka” dulu), tetapi melalui cara yang sangat praktis, layaknya seperti mengetik dengan mesin tik biasa saja. Untuk isi berita, mesin “Intertype” yang melakukannya.
"Kalau untuk kepala berita, dengan ukuran huruf yang lebih besar, dipakailah mesin “Linotype”, tulis Joesoef.
Dia juga menceritakan huruf-huruf yang disusun melalui mesin-mesin itu dicor dari timah cair, yang bisa dibayangkan panasnya.
Panas itu kemudian menular ke sekitarnya. Para operator biasa bekerja dengan hanya bersinglet saja.
Di samping itu, uap timah panas itu berbahaya juga untuk para operator. Bisa mengancam paru-paru mereka. Maka mereka mendapatkan jatah makanan ekstra, “extra fooding”, seperti susu dan telur.
Seiring perjalanan waktu nama Acha atau Achmad Chatib Ali, yang telah membuat dunia heboh karena laporan investigasinya dalam tragedi Cot Pulot Jeumpa semakin tak terdengar.
Sang jurnalis kawakan itu seperti hilang dari dunia kewartawanan, dan kisah hidupnya pun minim terekspose media hingga akhir hayatnya.
Namun nama Acha akan selalu abadi tercatat dalam sejarah pers Aceh sebagai sosok wartawan sejati atas jasanya mengungkap sebuah fakta dan kebenaran.(*)