Opini
Tes Narkoba Catin Siapa Takut?
PERISTIWA yang terjadi pada sekitar 2013 silam, kini masih terekam dalam ingatan saya. Ketika seorang anggota polisi menemui saya secara khusus
Oleh Abd. Halim Mubary
PERISTIWA yang terjadi pada sekitar 2013 silam, kini masih terekam dalam ingatan saya. Ketika seorang anggota polisi menemui saya secara khusus di ruang kerja. Sebab, selama saya bertugas di Kantor Urusan Agama (KUA), baru kali ini saya didatangi petugas berseragam hukum. Ketika itu, saya baru saja selesai melaksanakan sebuah prosesi akad nikah.
Lazimnya setelah akad nikah, pasangan suami-istri wajahnya akan berseri-seri pertanda hati yang berbunga-bunga lantaran baru saja menapaki kehidupan yang serba baru. Lalu ada kilatan blizt baik dari kamera, video, dan ponsel keluarga mempelai yang mengabadikan momen istimewa tersebut. Sunggingan senyum pun merona di mana-mana.
Namun, hari itu, yang terjadi justru sebaliknya. Begitu usai akad nikah, ada kejanggalan yang terjadi. Wajah dari kedua mempelai dan keluarga, tampak layu. Di luar sana, di halaman KUA ada dua atau tiga orang petugas kepolisian yang saat akad nikah berlangsung, nampak siaga berjaga-jaga. Kejanggalan itu baru terjawab, setelah salah seorang anggota polisi menemui saya seraya meminta maaf, jika harus mengganggu kenyamanan kantor.
Petugas itu memberitahukan saya, kalau mereka ditugaskan untuk mengamankan seorang tersangka yang terjerat narkoba, yang kebetulan tersangkanya mempelai laki-laki yang baru saja saya laksanakan akad nikahnya. Menurut sang petugas itu lagi, mereka sengaja menunggu waktu yang tepat, karena tidak ingin jalannya pernikahan terganggu.
Tulisan ini juga bukan sebagai justifikasi sebuah kasus, atau menyalahkan pihak lainnya dalam kasus tadi. Namun lebih kepada diskursus tentang akan terbitnya sebuah regulasi tentang Rancangan Qanun (Raqan) Hukum Keluarga, usulan Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh yang saat ini telah masuk dalam Program Legislasi Aceh (Prolega) DPRA. Bahkan, raqan tersebut disebut-sebut menjadi prioritas untuk dibahas oleh anggota dewan (Serambi, 28/2/2019).
Sementara peristiwa di atas tadi, biarlah menjadi titik pijak kita bersama, dalam merumuskan kembali arti sebuah jalinan ikatan perkawinan nan sakral dan khidmat, tanpa diwarnai oleh hal-hal lainnya di luar ketentuan yang ada.
Bahaya narkoba
Jamaknya pasangan pengantin baru, tentu semuanya punya cita-cita yang mulia yaitu terbinanya rumahnya tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah (samara). Satu prasyarat untuk itu, pasangan calon pengantin (catin) harus memersiapkan diri secara matang; baik mental, spiritual, fisik, dan ilmu. Itulah bekal untuk menuju bahtera rumah tangga idaman.
Selama ini, memang pihak Kemeterian Agama (Kemenag) RI, malalui KUA, telah berupaya melaksanakan sejumlah terobosan dalam tata pelaksanaan menjelang pernikahan; dengan memberikan bimbingan dan pembinaan. Salah satunya adalah dengan menggelar bimbingan perkawinan (bimwin) atau sering juga disebut kursus calon pengantin (suscatin) pada setiap KUA Kecamatan.
Program ini berlaku secara nasional dan menjadi program rutin saban tahunnya yang anggaran biayanya diplot dari Penerimaan Negara Bukan Pajak, Nikah dan Rujuk (PNBP NR). Dasar pelaksanaan kegiatan berdasarkan Keputusan Dirjen Bimas Islam No.373/2017 tentang Petunjuk Teknis Bimbingan Perkawinan bagi Calon Pengantin.
Secara umum, baik dari segi materi, maupun persyaratan pernikahan bagi catin sudah cukup bagus. Misalnya di sana ada tes urine bagi catin perempuan untuk mengetahi kehamilan atau tidak, dan pernyataan belum menikah dari catin pria yang ditandantangi di atas meterai. Adapun tujuan bimwin pranikah bagi catin ini merupakan langkah antisipatif guna menekan angka perceraian yang trend-nya terus meningkat setiap tahunnya.
Aceh sendiri yang notabene-nya bersyariat Islam, juga tidak serta-merta mampu meminimalisir angka perceraian tersebut. Sehingga faktanya, dari sekian banyak masalah yang muncul dalam rumah-rumah tangga, terutama rumah tangga muda, banyak ditemukan keretakan di mana satu faktornya diakibatkan karena ada diantara anggota keluarga yang terlibat narkoba. Kendatipun bukan hanya masalah obat terlarang itu saja, yang membuat banyak rumah tangga limbung, namun fakta yang ada di lapangan selama ini menunjukkan, resistensi sebuah keluarga akan mudah goyah, jika tidak ada pembinaan secara insten.
Sebab, sesuai dengan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, para pemakai, kurir, pengedar, dan bandar, akan bisa dijerat dengan UU tersebut. Hukumannya berfariasi mulai dari hukuman kurungan, seumur hidup, hingga hukuman mati, sesuai dengan tingkat dan jenis kesalahan yang dilakukan. Sehingga, baik pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, akan terus melakukan terobosan dan perbaikan, baik dari segi regulasi, pencegahan, hingga rehabilitasi pecandu narkoba di Indonesia secara masif.
Misalnya pemerintah saat ini sedang melakukan revisi terhadap draf UU No.35/2009 yang dianggap sudah tak cukup lagi dalam menangkal semakin maraknya peredaran dan penyalahggunaan narkoba. Sehingga setiap hari kita menemukan di media massa, terjadinya penyalahgunaan narkoba tersebut di semua lapisan usia dan profesi. Dan Provinsi Aceh merupakan satu pintu masuk narkoba di Indonesia.
Langkah strategis
Merujuk temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dari sekitar 87 juta anak di Indonesia, sekitar 5,9 juta di antaranya menjadi pecandu narkoba. Selain itu, ada ada sekitar 72 jaringan narkoba internasional yang masuk ke Indonesia hingga akhir 2018 (Kumparannews, 6/3/2018). Bahkan Kepala BNN, Komjen Heru Winarko mengklaim, pada 2018 pengguna narkoba mayoritas adalah generasi muda atau pelajar (Tribunnews.com, 20/12/2018).