Para Perempuan dan Anak-anak Kelompok ISIS yang Telah Kalah di Kamp Al-Hol
Di dalamnya hidup para perempuan dan anak-anak kelompok ISIS yang telah kalah, dicampakkan para suami, diabaikan khalifah dan pemerintah mereka.
Mereka yang selamat dari ISIS dibawa dalam truk-truk ternak terbuka, melintasi gurun dalam jumlah puluhan ribu ke kamp al-Hol. Desa di dekat kamp tersebut adalah desa di mana dulunya ISIS menjual perempuan Yazidi sebagai budak. Tak jauh dari sini, ratusan pasukan Kurdi terbunuh dalam satu serangan ISIS.
Sekolah dua lantai di desa itu masih dilapisi cat bergambar bendera ISIS. Basahnya hujan musim semi dan teriknya matahari musim panas tak memudarkan gambar itu.
Lokasi kamp itu berada di tepi desa: negara mini, sebuah kekhalifahan yang terlunta-lunta, suatu bahaya yang terus berkembang dan kini lebih besar dari desa itu sendiri.
Baca: Nicanor Quinteros, Bocah 12 Tahun yang Mendirikan Sekolah Untuk Anak-anak yang Membutuhkan
Yang tersisa di dalamnya, tak diinginkan siapa pun. Hanya sedikit negara yang menerima mereka kembali: Rusia, Arab Saudi, dan Maroko.
Amerika Serikat telah menerima kembali seorang perempuan. Inggris tak berencana merepatriasi prajurit maupun keluarga mereka.
Al-Hol adalah kamp di mana Shamima Begum, remaja asal London, pertama kali ditahan dan di mana ia mengetahui bahwa kewarganegaraan Inggrisnya dicabut. Perancis telah menerima banyak anak yatim piatu yang orangtuanya tewas dalam pertempuran demi ISIS.
Ada sejumlah tingkat radikalisasi, dan akibat langsung dari suatu perang adalah tak adanya tempat untuk menentukan siapa yang bisa diperbaiki, siapa yang bisa diselamatkan.
Baca: Lagi, Kapal Pesiar Mewah MS EUROPA Merapat ke Sabang
Ideologi Beracun
Para perempuan dari negara asing ditempatkan secara terpisah, di bawah pengawasan pasukan bersenjata. Di sini ideologi yang ada bersifat paling beracun. Di sinilah tempat para penganut ISIS sejati ditempatkan. Seorang penjaga di luar menunjuk ke arah kepalanya yang terluka. "Mereka melempari kami dengan batu kemarin," ungkapnya.
Di dekat pintu masuk, sekantong potongan ayam mentah tergeletak di tanah. Para perempuan berdesakan di pagar berantai, menuntut dibebaskan. Mereka berasal dari banyak negara: Brazil, Jerman, Prancis, Maroko, Somalia, dan masih banyak lagi.
Baca: Suasana Pelaksanaan Pemilu 2019 di KBRI Singapura, Antusiasme WNI Mencoblos Tinggi
Para perempuan yang berasal dari negara Barat khawatir berbicara di dalam. Mereka takut diserang oleh perempuan lain yang lebih radikal di dalam kamp, jika ketahuan berbicara kepada lelaki.
Jika mereka melepaskan kerudung, mereka diserang oleh sebagian perempuan lainnya. Sejumlah tenda pernah dibakar habis sebagai balasannya.
"Perempuan Tunisia dan Rusia yang paling parah," ungkap Leonora Messing, gadis berusia 19 tahun asal Jerman. Ia menunjuk ke dua tenda besar. "Mereka paling terakhir keluar dari Baghouz."
Messing bergabung dengan ISIS saat berusia 15 tahun, sebulan setelah gadis berusia 15 tahun lainnya, Shamima Begum, dan teman-temannya meninggalkan Inggris ke Suriah.
Meesing menjadi istri ketiga seorang ekstrimis asal Jerman yang kini menjadi tawanan pasukan Kurdi.