Mengapa Aceh Tetap Miskin?

Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri RI, Dr Ir Muhammad Hudori MSi mengaku heran

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Mengapa Aceh Tetap Miskin?
IST
MUHAMMAD HUDORI, Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri

Ragukan data BPS
Sementara itu, Bupati Aceh Besar, Ir Mawardi Ali mengatakan saat ini angka kemiskinan di Aceh Besar sebesar 14 persen lebih, satu digit lebih rendah dari provinsi. Pihaknya bertekad terus menekan angka kemiskinan minimal satu persen setahun. Tapi, hal itu tidak mudah lantaran banyak masyarakat yang merasa nyaman dengan kemiskinannya.

“Saya kemarin membuat program bantuan kemiskinan untuk melihat kevalidan data dengan metode by name by address, tapi kita tidak dapat masyarakat miskin. Ketika kita turun ke lapangan dengan melakukan metode by name by adress, ternyata banyak orang tidak miskin,” kata Mawardi kepada Serambi, (10/4).

Menurut Mawardi, pemerintah dan BPS perlu memvalidasi terlebih dahulu data kemiskinan. “Kita berharap data kemiskinan harus valid dululah. Siapa yang miskin, di mana rumahnya? Sehingga program pengentasan kemiskinan bisa tepat sasaran. Selama ini validitas data masih menjadi persoalan di Aceh,” ujar Mawardi.

Selain data kemiskinan tidak valid, selama ini penggunaan anggaran oleh pemeirntah juga tidak fokus. Menurut mantan anggota DPRA ini, anggaran digunakan hanya untuk dihabiskan, tidak terintegrasi pada sektor-sektor penting, seperti pemberdayaan ekonomi, pengentasan kemiskinan, atau menciptakan lapangan pekerjaan.

Pemerintah Aceh Besar, kata Mawardi, terus berusaha menurunkan angka kemiskinan dengan menghadirkan berbagai program prorakyat seperti Program Aceh Besar Sejahtera (Pro Abes), pemberdayaan ekonomi, penguatan pasar, dan pengentasan kemiskinan dengan memperbaiki infrastruktur seperti jalan tembus ke sentra produksi.

Hal yang sama juga disampaikan Bupati Gayo Lues (Galus), Muhammad Amru. Menurutnya, masih banyak masyarakat yang tidak jujur dalam memberikan data. “Banyak orang kaya memakan hak-hak orang miskin karena mereka tidak jujur. Sementara orang miskin tetap menjadi orang miskin, karena haknya sudah terbagi,” kata mantan wartawan Harian Serambi Indonesia ini.

Amru mengaku tidak sepakat dengan data BPS yang menempatkan Galus sebagai kabupaten termiskin kedua di Aceh setelah Aceh Singkil. Pada tahun 2018, angka kemiskinan di daerah itu mencapai 20,07 persen, turun 1,8 persen dari tahun 2017 sebesar 21,97 persen. Sedangkan kabupaten termiskin di Aceh adalah Kabupaten Aceh Singkil, 22,11 persen.

Menurut Amru yang juga mantan anggota DPRA, ada beberapa indikator yang diambil pihak BPS, sehingga menyimpulkan Galus sebagai daerah termiskin di Aceh. Di antaranya indikator kepemilikan tanah sesuai dengan sertifikat dan makanan yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari.

Amru mengatakan, memang masyarakat di sana tidak menguasai tanah sesuai dengan setifikat karena menggarap perhutanan sosial yang bekerjasama dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan pemangku hutan lainnya. Kedanti demikian, Amru menegaskan petani di sana banyak yang sukses.

Sementara dari segi makanan, Amru mengakui ada persoalan di sana. Sebab, masyarakat setempat tidak terlalu sering makan daging dan minum susu yang menjadi salah satu indikator penilaian tingkat kemiskinan. “Makan daging itu sudah menjadi tradisi pada hari meugang dan hari raya,” ungkap Amru.

Sebenarnya, kata Amru, masyarakatnya tidak miskin dari segi harta, tapi miskin dari segi prilaku. “Dia punya kerbau sampai 30, tapi dia tidak peduli dengan rumahnya. Rumahnya berlantai tanah, tapi dia punya kerbau atau hewan peliharaan yang jika dihitung dengan uang mereka tidak lagi dikatagorikan orang miskin,” katanya.

Meski demikian, Bupati Galus Amru tidak akan melawan data-data itu, tapi menjadikannya sebagai pemicu untuk terus bekerja mensejahterakan rakyat melalui program pemberdayaan ekonomi. “Berbagai program lain yang mengarah kepada penanggulangan kemiskinan kita luncurkan,” pungkas Amru.

Lain lagi di Kabupaten Simeulue. Bupati Simeulue Erli Hasim mengakui tingkat kemiskinan di daerah kepulauan tersebut berada pada posisi 19 persen lebih pada tahun 2018 dan kini telah turun satu digit menjadi 18 persen lebih. Faktor mendasar tingginya angka kemiskinan, menurut Erli karena tidak kreatifnya masyarakat.

“Jika dilihat secara jujur, masyarakat kita masih terbiasa dengan pola kehidupan masa lalu, sehingga tidak adanya kreatifitas dalam melihat sumber daya alam yang dimiliki. Sadar atau tidak, sumber daya alam yang dimiliki Simeulue tidak bisa dikelola tapi kita lebih pada konsep menerima apa yang sudah ada, ini yang terjadi,” katanya.

Padahal, sumber daya alam Simeulue luar biasa banyak, mulai dari perkebunan, pertanian, perikanan, dan pariwisata. Karenanya, Erli ingin mengubah paradigma masyarakat agar pundi-pundi uang bisa mengalir ke Simeulue. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan keindahan alam.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved