Mengapa Aceh Tetap Miskin?
Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri RI, Dr Ir Muhammad Hudori MSi mengaku heran
Dia mengatakan, ada beberapa bibir pantai yang akan dikelola untuk mendatangkan turis dalam jumlah banyak. Sehingga secara otomatis roda ekonomi akan berputar di tengah masyarakat. Apalagi, saat ini Pemerintah Aceh telah menjadikan Pulau Simeulue sebagai salah satu daerah tujuan wisata yang ada di Aceh.
“Daerah kita termasuk yang masih sangat tinggi angka kemiskinannya. Kondisi ini sudah berlangsung lama. Tapi kita sedang berusaha secara komprehensif dengan harapan sampai akhir masa jabatan kita nanti ada sebuah konsep yang kita tawarkan untuk menurunkan kemiskinan minimal pada angka 17 persen,” harap Erli Hasyim.
Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Ir Nova Iriansyah mengatakan, ada hal-hal yang anomali terjadi di Aceh dan perlu dicatat. Angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi dan pertumbuhan ekonomi daerah rendah di bawah rata-rata nasional.
“Tapi, ada beberapa hal yang disebutkan sejumlah narasumber dari pusat untuk Aceh bahwa meski angka kemiskinan dan pengangguran kita tinggi, tapi angka kebahagiaannya masih baik,” kata Nova Iriansyah menanggapi pertanyaan Serambi tentang angka kemiskinan dan pengangguran, seusai pembukaan acara Musrenbang Aceh 2020 di Hotel Hermes, Rabu (10/4).
Nova mengatakan, pemerintah terus berupaya menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran dengan cara mempercepat penyaluran beras sejahtera kepada penerimanya. Angka kemiskinan memang turun, tapi rendah, hanya 0,24 persen.
Kata Plt Gubernur Aceh, hanya dengan investasi yang besar dan berkelanjutan angka kemiskinan dan pengangguran Aceh bisa menurun. Investasi yang dimaksud, jelas Nova, yang membuka lapangan kerja besar dan kegiatan usaha berlanjut dalam jangka waktu lama. Misalnya, investasi dalam bidang usaha pertambangan pengeboran minyak lepas pantai, seperti yang sedang dilakukan Repsol di wilayah lepas pantai antar Bireuen-Pijay-Pidie dan pembangunan berbagai jenis pabrik.
Hasil kegiatan migas Refsol itu, kata Nova Iriansyah, baru bisa diikmati masyarakat Aceh untuk penurunan angka kemiskinan dan pengangguran setelah perusahaan itu berhasil mengebor sumber minyaknya di lepas pantai. Ini strategi jangka menengah dan panjang.
Strategi jangka pendek yang dilakukan Pemerintah Aceh, lanjut Nova, menjalankan program dan kegiatan pemberdayaan ekonomi pro-rakyat. Misalnya menyerukan semua kantor pemerintah, BUMD, BUMN, dan swasta menggunakan produk lokal dalam pemenuhan kebutuhan makanan dan minum saat rapat dan pelatihan di kantor maupun di hotel.
“Untuk mendukung program itu, kita sudah mengeluarkan surat edaran dua bulan lalu. Yang tidak boleh, melarang produk luar masuk ke Aceh. Ini kita akan kena sanksi WTO.
Untuk kebutuhan makan minum pemerintah dan kegiatan pelatihan, sebut Nova Iriansyah, anggarannya sekitar Rp 150 miliar. Anggaran sebesar itu, kalau 90 persen saja digunakan untuk pembelian produk lokal, bisa membangkitkan industri kecil dan menengah di Aceh.
“Industri makanan dan minuman serta lainnya yang ada di Saree, Bireuen, dan lainnya, satu per satu akan kita tarik ke Kawasan Industri Ladong, setelah kita membangun rumah kemasan di kawasan itu,” tandasnya.
Di sisi lain, Nova meminta pengusaha lokal di Aceh untuk tidak terus memfokuskan usahanya pada kegiatan jasa konstruksi dan pengadaan barang. Pengusaha harus fokus ke sektor usaha produktif, antara lain, dalam bidang pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, wisata, transportasi, dan komunikasi.
Dua pengusaha Aceh yang turut hadir dalam Musrenbang Aceh 2020, Makmur dan Jamaluddin, mengatakan, angka kemiskinan dan pengangguran di Aceh masih tinggi, karena persentase dana otsus yang digunakan untuk program pengentasan kemiskinan dan pembukaan lapangan kerja baru tidak dilakukan secara berkelanjutan dan terpadu, tapi masih cilet-cilet.
Begitu juga untuk alokasi dana pendidikan. Setiap tahun, sebut Makmur Putra Inti, pemerintah Aceh mengalokasikan dana beasiswa mahasiswa S1, S2, dan S3 dalam dan luar negeri sebesar Rp 100 miliar. “Tapi, anggaran studi banding petani, nelayan, pekebun bersama pengusaha ke luar negeri, seperti ke Thailand, Malaysia, Vietnam, Australia dan lainnya untuk membuka usaha baru, belum dilakukan secara berkelanjutan dan terpadu,” kata dia.
Dia berharap Pemerintah Aceh membuka program studi banding kemitraan ke luar negeri antara pengusaha dan petani. Rektor Unsyiah, Prof Dr Samsul Rizal MEng yang menjadi moderator dalam acara Musrenbang itu mengatakan, apa yang telah dipaparkan narasumber dalam acara Musrenbang ini perlu dijadikan catatan penting Pemerintah Aceh, terutama Bappeda Aceh, perbankan, dan dunia usaha.