Breaking News

Kisah Pengungsi Rohingya Ditipu Penyelundup, Bayar Rp 7,5 Juta Malah Terdampar di Pulau Terpencil

Selama tiga hari dan dua malam, mereka percaya berada di kapal menuju Malaysia, di mana mereka akan mendapatkan pekerjaan dan kehidupan baru.

Penulis: Zainal Arifin M Nur | Editor: Zaenal
AFP/Googlemaps
Ilustrasi pengungsi Rohingya dan peta jarak dari Cox,s Bazar ke Saint Martins Island. 

Pihak berwenang di Myanmar mengatakan Rohingya adalah orang Bengali ilegal dan merampas hak kewarganegaraan mereka di bawah undang-undang kewarganegaraan 1982 yang kontroversial.

Tetapi sebuah komisi yang dipimpin oleh almarhum mantan kepala AS Kofi Annan yang dibentuk pada 2016 oleh pemimpin sipil Myanmar Aung San Suu Kyi, mengkritik undang-undang itu.

"Beberapa aspek Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 tidak sesuai dengan standar dan norma internasional," katanya.

Anak-anak pengungsi Rohingya menanti jatah makanan di kamp pengungsi Ukhia, Bangladesh.
Anak-anak pengungsi Rohingya menanti jatah makanan di kamp pengungsi Ukhia, Bangladesh. (Munir UZ ZAMAN/AFP)

Baca: Hidup Penuh dengan Himpitan, Wanita Rohingya Harus Menghadapi Hal Mengerikan Ini Saat Melahirkan

Baca: Untuk Ketiga Kalinya, Facebook Tutup Ratusan Akun Kebencian terhadap Rohingya

Takut untuk Kembali

Nur Zahan tinggal di ruang padat di kamp Kutupalong bersama lima putrinya.

Suaminya ditembak mati oleh tentara Myanmar dalam penumpasan tahun 2017 di Negara Bagian Rakhine dan dia takut untuk kembali.

"Kita mungkin terbunuh jika kita kembali ke negara asal, kita juga tidak baik di sini," kata Zahan.

Satu-satunya penghiburan di kamp adalah bahwa "kita selamat dan tidak ada yang berdiri di depan pintu saya dengan senjata untuk membunuh kita," katanya.

“Saya tidak punya mimpi untuk saya sekarang, tetapi saya khawatir tentang masa depan anak perempuan saya. Jika saya memiliki kesempatan untuk pindah ke negara lain, saya harus pergi,” kata Zahan, janda berusia 45 tahun itu.

Bagi Zahan, itu adalah ketakutan akan masa depan putrinya.

Untuk Begum Bar, anak-anaknya mendapatkan pekerjaan yang membuatnya khawatir.

Bar melarikan diri dari Rakhine dengan suaminya, ketiga putri mereka dan dua putra mereka.

Hanya beberapa hari setelah mereka tiba di kamp pengungsi yang penuh sesak di 2017 suaminya meninggal setelah perjalanan panjang dan mengerikan ke Cox's Bazar.

“Jika ada anak saya yang pergi ke Malaysia, ia dapat memperoleh lebih banyak uang dan nantinya kami akan memiliki kesempatan untuk pindah ke sana,” katanya.

KETUA Solidaritas Aceh untuk Rohingya (SAUR) Tgk H Faisal Ali, melihat anak-anak Muslim Rohingnya belajar Alquran di mushalla yang dibangun dengan bantuan masyarakat Aceh,  di Cox's Bazar, Bangladesh, Minggu (4/2/2018).
KETUA Solidaritas Aceh untuk Rohingya (SAUR) Tgk H Faisal Ali, melihat anak-anak Muslim Rohingnya belajar Alquran di mushalla yang dibangun dengan bantuan masyarakat Aceh, di Cox's Bazar, Bangladesh, Minggu (4/2/2018). (IST)

Frustrasi juga meningkat di kalangan pengungsi karena buta huruf generasi baru.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved