Jurnalisme Warga

Adat bagi Pengantin Baru di Aceh

SEBELUMNYA saya sudah menulis beberapa adat yang berlaku bagi pengantin baru, secara khusus di Aceh Besar dan Banda Aceh

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Adat bagi Pengantin Baru di Aceh
IST
AMIRUDDIN (Abu Teuming), Penyuluh Informasi Publik (PIP) Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, aktivis lembaga Keluarga Sakinah Mawaddah dan Rahmah (K-Samara), dan Sekretaris Jenderal Warung Penulis (WP), melaporkan dari Kota Lhokseumawe

OLEH AMIRUDDIN (Abu Teuming), Penyuluh Informasi Publik (PIP) Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, aktivis lembaga Keluarga Sakinah Mawaddah dan Rahmah (K-Samara), dan Sekretaris Jenderal Warung Penulis (WP), melaporkan dari Kota Lhokseumawe

SEBELUMNYA saya sudah menulis beberapa adat yang berlaku bagi pengantin baru, secara khusus di Aceh Besar dan Banda Aceh. Kali ini, saya ingin mengulas adat yang juga berkaitan dengan pengantin baru.

Jadi, hidup di Aceh itu penuh dengan adat. Mulai dari bayi baru lahir disambut dengan adat hingga manusia mati pun akan diperlakukan secara adat.

Pascanikah atau setelah pesta pernikahan, ada semacam kewajiban adat yang melekat pada diri keluarga dan kerabat masing-masing pengantin.

Lumrahnya, adat ini dilakukan pada saat Lebaran, baik Idulfitri atau pun Iduladha. Tergantung situasi dan kesempatan. Namun, tidak tertutup kemungkinan ditunaikan adat tersebut seminggu setelah pesta perkawinan.

Tueng
Adat yang saya maksud adalah tueng, artinya menerima pengantin baru sebagai bagian dari keluarga mereka. Atau dikenal juga sebagai langkah memperkenalkan pengantin pria pada kerabat pengantin perempuan. Sebaliknya, memperkenalkan pengantin perempuan pada kerabat pengantin pria.

Kerabat dimaksud adalah saudara ibu mertua atau saudara ayah mertua seperti, cek (om), abua/pak wa (paman), nenek/kakek jika masih ada. Termasuk abang ipar dan saudara sepupu pengantin baru. Intinya siapa pun yang punya ikatan keluarga besar.

Perlu diketahui, maksud memperkenalkan pengantin bukan berarti masing-masing kerabat sama sekali tidak mengenalnya. Toh jauh hari sebelum akad nikah juga sudah dikenal terkait tempat asal dan namanya. Hanya saja ini sebutan adat “memperkenal pengantin” atau tueng.

Cara memperkenalkan pengantin adalah dengan mengunjungi tempat kediaman masing-masing kerabat. Baik itu di tempat jauh maupun dekat.

Jadwal mengunjungi kerabat pun tidak terikat. Bisa dilakukan kapan saja, asal jangan terlalu lama sehingga suasana pengantin barunya belum hilang.

Jika kunjungan dilakukan terlalu lama, katakanlah berselang dua tahun dari masa pesta pernikahan, khawatir akan ada adik masing-masing pengantin yang menikah. Kondisi ini tentu akan sedikit bermasalah. Apalagi bila sang pengantin telah melahirkan anak, tentu akan ada adat lain yang berlaku, terutama pada si bayi.

Momen yang tepat mengajak pengantin baru ke rumah kerabat adalah saat hari raya. Akan lebih baik bila dilakukan pada hari raya tahun pertama setelah nikah (pesta nikah). Boleh dilakukan pada selain hari raya, namun terkadang para pengantin tidak sempat. Terlebih pengantin yang cuma numpang nikah di kampung halaman, seminggu kemudian kembali ke tempat perantauan.

Salam tempel
Ketika pengantin baru membawa pasangannya ke rumah kerabat, baik kerabat pihak bapak mau pun ibu, si istri atau suami akan mendapatkan amplop, atau bahasa guraunya “salam tempel”. Nah! Salam tempel inilah yang membuat seru suasana. Sang penerima amplop akan senyum-senyum malu saat berjabat tangan yang berlapiskan amplop.

Kerabat, seperti paman atau cecek, tidak akan membiarkan istri atau suami keponakannya pergi tanpa salam tempel.

Jika pengantin pulang tanpa salam berisi, sang paman atau cecek merasa malu, sebab itu adat yang berlaku secara turun-temurun.

Salam tempel tidak dibatasi. Juga tidak perlu memberi dalam jumlah banyak. Yang penting ada, sebagai wujud melestarikan adat dan cara menyambut pendatang baru dalam keluarga besar mereka. Jadi, para kerabat tidak perlu resah bila pasangan muda bersilaturahmi ke rumah, jamu mereka seadanya, dan berikan sedekah semampunya.

Lazimnya, salam tempel senilai uang yang ada gambar Soekarno (warna merah) atau paling kecil uang warna biru bergambar I Gusti Ngurah Rai (uang versi lama) dan Djuanda Kartawidjaja (versi baru). Tetapi jangan melihat pada Soekarno dan Gusti Ngurah Rainya, justru harus lebih dari itu, yaitu terhubungnya silaturahmi yang dahulunya tidak pernah kenal sama sekali, tiba-tiba telah jadi bagian dari keluarganya. Atau wujud dari kadatangan orang asing dalam keluarga mereka yang diterima dengan rasa gembira dan bangga.

Saat kunjungan, pasangan muda itu harus membawa buah tangan, seperti gula satu kilogram, satu pak roti, satu pak teh, dan sebotol sirop. Itu kebiasaan yang orang bawa. Namun, ada juga yang membawa lebih dari itu. Saya pernah mewawancarai pengantin baru, ia mengatakan sering membawa bolu pada saat kunjungan ke keluarga istri. Artinya, biaya pengadaan gula dan roti lebih tinggi ketimbang anggaran pengadaan bolu.

Dalam bahasa humor disebut meukat saka (jual gula), sebab ketika pengantin bertamu selalu membawa gula. Saat pulang ada salam tempel yang dimaknai sebagai hasil jualan gula. Ini hanya bahasa humor yang jadi bahan gurauan keluarga tertentu yang selera humornya tinggi.

Berkunjung tanpa buah tangan akan membuat pasangan muda itu malu. Demikian pula kerabat yang dikunjungi, akan merasa malu bila tidak ada salam tempel. Jadi, ada timbal balik dalam adat ini. Nilai kebaikannya ada pada saling sedekah dan menghidupkan silaturahmi yang sangat dianjurkan Islam. Inilah bukti adat di Aceh yang selalu selaras dengan tuntunan Islam.

Adat ini berlaku bagi kedua pengantin baru. Setelah berkunjung dan silaturahmi dengan keluarga istri, dilanjut dengan berkunjung ke keluarga suami.

Bila si pengantin baru belum bertamu pada kerabat, biasanya kerabat akan bertanya kenapa belum main-main ke rumah, sebab mereka paham adat ini terus berlaku, sehingga mereka akan tetap menanti sejoli yang baru merintis mahligai rumah tangga.

Dalam pandangan mertua yang terbilang ekstrem, mertua akan bertanya ke mana saja sudah bertamu, dan ke rumah siapa yang belum dikunjungi? Berapa uang yang diberikan? Bila belum didatangi, mertua menganjurkan untuk segera menyambangi kerabat.

Seandainya ada kerabat yang didatangi, tetapi tidak ada salam tempel, maka hal serupa akan berimbas pada anak dari kerabat tersebut jika kelak menikah. Jadi, jangan abaikan adat mulia itu, sebab akan berefek pada anak cucunya suatu saat.

Adat yang saya jelaskan di atas berlaku hampir di seantero Aceh. Seperti di Banda Aceh, Aceh Besar, Bireuen, Pidie, Lhokseumawe hingga Aceh Tamiang. Termasuk di wilayah ALA dan ABAS. Bagi Anda yang ingin menikah dengan putra putri asal Aceh, harus paham tradisi yang berkembang di sana. Agar Anda diterima oleh si buah hati, juga kerabat calon pasangan.

Selamat Hari Raya Idulfitri 1440 H. Mohon maaf lahir dan batin.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved