Konflik Papua

Melahirkan di Tengah Konflik Senjata dan Harus Mengungsi, Ibu di Papua Beri Nama Anaknya Pengungsi

Jubiana merupakan salah satu dari ribuan warga Nduga yang kini terpaksa harus mengungsi dari konflik yang berkecamuk di Nduga.

Editor: Faisal Zamzami
dok BBC Indonesia
Para perempuan di Nduga dan anak-anak mereka terpaksa bertahan di belantara di pegunungan tengah Papua, untuk menghindari konflik bersenjata antara TNI/Polri dan kelompok bersenjata pro-kemerdekaan Papua yang berlangsung selama delapan bulan terakhir. Bahkan, beberapa dari mereka terpaksa melahirkan di hutan. (dok BBC Indonesia) 

SERAMBINEWS.COM - Bayi laki-laki itu menangis di pangkuan ibunya.

Nafasnya berat, sementara badannya yang demam tanpa ditutupi sehelai kain pun.

Sang ibu, Jubiana Kogeya, tampak kebingungan.

Beberapa kali dia mencoba menenangkan anaknya dengan menyusuinya, namun tak setitik pun ASI keluar.

Oleh sang ibu, bayi itu dinamai Pengungsi.

"Karena melahirkan dalam hutan, dalam pengungsian, jadi saya kasih nama Pengungsi," jawab Jubiana ketika ditanya alasan anak keempatnya itu dinamai Pengungsi.

Pengungsi lahir sekitar empat bulan lalu, ketika ibunya dalam pelarian dari rumahnya di distrik Mugi, untuk menghindari kontak bersenjata antara TNI/Polri dengan kelompok bersenjata pro-kemerdekaan Papua.

Awalnya, Jubiana yang saat itu hamil besar, enggan untuk mengungsi.

Sementara, suami dan ketiga anaknya lain kala itu sudah bersiap mengungsi.

"Pada saat penyerangan dan pembakaran di distrik Yigi dan Yal itu saya masih bertahan. Begitu terjadi di Mugi, itu baru mulai bergerak ke luar rumah," tutur Jubiana kepada BBC News Indonesia, Jumat (02/08) silam.

"Saya melihat suami saya pegang anak-anak di kedua tangannya, akhirnya saya terpaksa ikut mengungsi. Saya dengar di Mugi sudah ada tentara, ada penembakan, pembakaran, akhirnya ke luar rumah, masuk ke hutan," ujarnya.

S
Jubiana dan ketiga anaknya yang masih kecil harus berjibaku dengan cuaca dingin pegunungan (dok BBC Indonesia)

Selama berhari-hari, Jubiana dan ketiga anaknya yang masih kecil harus menghadapi cuaca dingin pegunungan dan makan semacam tumbuhan paku yang tumbuh di hutan untuk asupan sehari-hari.

Hingga akhirnya sekitar April lalu, dirinya terpaksa melahirkan di hutan.

"Saya sendirian, tidak ada yang temani, [saya melahirkan] di bawah pohon." ujar Jubiana, sambil berupaya menenangkan Pengungsi yang terus menangis.

" Anak ini posisinya melintang [di perut], prosesnya hampir taruhan nyawa. Saya pikir anaknya sudah meninggal, karena ketika mau melahirkan saya tekan, saya atur sendiri, dia melintang, jadi saya atur. Saya pikir anak ini sudah meninggal," ungkapnya.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved