Konflik Papua
Melahirkan di Tengah Konflik Senjata dan Harus Mengungsi, Ibu di Papua Beri Nama Anaknya Pengungsi
Jubiana merupakan salah satu dari ribuan warga Nduga yang kini terpaksa harus mengungsi dari konflik yang berkecamuk di Nduga.
Kesulitan yang dihadapi, karena banyak dari kelompok pro-kelompok Papua ini membaur dengan warga.
"Ketika mereka melakukan penyerangan, mereka selalu berbaur dengan masyarakat. Wajar kalau masyarakat daripada menjadi korban, mereka mengungsi," jelas Eko.
Namun, dia menegaskan, tidak semua warga Nduga pengungsi.
Eko mengklaim ada warga Nduga yang "merasa aman dengan kedatangan pasukan kita.
" "Tetapi di satu sisi mereka merasa ketakukan karena OPM membaur, ada sisi intimidasi juga. Kita kesulitan membedakan OPM ketika sudah tidak bersenjata," tutur Eko.
Terhimpit di tengah konflik

Theo Hesegem menjelaskan beberapa pengungsi mengalami banyak penolakan, ketika tinggal di pengungsian. Dia mencontohkan, anak-anak yang mengungsi di Walesi disuruh membayar oleh orang yang memiliki lahan ketika kedapatan menangkap ikan.
Pengungsi lain, ketika sedang mencari kayu bakar, ditegur oleh warga setempat.
"Ini menunjukkan bahwa mereka tidak aman, di sana operasi [militer] kemudian di sini mereka tinggal, tapi tidak aman."
Belum lagi, banyak yang pengungsi yang merasa trauma dengan kehadiran militer.
Itu sebabnya, beberapa dari mereka menolak pemberian bantuan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia, karena dianggap penyaluran bantuan itu melibatkan militer.
Hal ini, menurut Theo, tak lepas dari trauma pengungsi atas keberadaan militer yang melakukan pengejaran terhadap kelompok bersenjata pimpinan Egianus Kogoya.
Selain itu, kepercayaan adat mereka bahwa mereka tidak bisa menerima bantuan dari 'pihak musuh'.
"Budaya orang di sini kalau baku perang dengan musuh itu kita tidak bisa ambil, secara adat itu susah. Nanti mereka akan sakit dan mati semua."
Namun, keterlibatan militer dalam pendistibusian bantuan, ditepis oleh Komandan Kodim 1702/Jayawijaya Letkol Inf Chandra Dianto.