Opini

Meneladani Nabiyullah Ibrahim A.s.  

Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan bagi yang telah mampu. Semua umat Islam antusias menunaikannya

Editor: hasyim
zoom-inlihat foto Meneladani Nabiyullah Ibrahim A.s.   
IST
Dr. H. Agustin Hanafi, Lc., MA Ketua Prodi Hukum Keluarga Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Anggota IKAT-Aceh

Dr. H. Agustin Hanafi, Lc., MA

Ketua Prodi Hukum Keluarga Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Anggota IKAT-Aceh

Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan bagi yang telah mampu. Semua umat Islam antusias menunaikannya bahkan rela menunggu giliran hingga 20 tahun. Tidak ada sebuah tempat di dunia ini yang didambakan umat Islam melebihi masjidil haram. Rela menabung jauh-jauh sebelumnya agar dapat hadir di tanah suci,  karena tempat itu begitu mulia dan sungguh sakral.

Segala amal ibadah yang dilakukan di dalamnya mendapat pahala yang berlipat, doa akan diijabah Allah, dapat menyaksikan bukti sejarah perjuangan Rasulullah saw, keluarga dan para sahabatnya. Tak sedikit para jamaah menitikkan air mata terharu mengingat akan jati dirinya yang penuh dosa, semakin menyadari betapa kerdilnya di mata Allah, betapa manusia itu begitu lemah dan tak berdaya sehingga perlu tempat bersandar dan bergantung kepada Allah Sang Maha Kuasa.

Maka ibadah haji tergolong unik, nyatanya meskipun biaya yang dikeluarkan tidak sedikit, perjalanannya begitu melelahkan dan perlu kesehatan fisik yang prima, bahkan harus menunggu antrian hingga puluhan tahun lamanya, namun hingga detik ini tak ada seorang pun sepulang dari sana mengeluh merasa keberatan ataupun merasa jenuh dan menganggap sia-sia. Tetapi sebaliknya, mereka penuh semangat sembari berharap dan berdoa agar selalu diberikan kesempatan untuk hadir beribadah di tanah suci hingga anak cucu. Bahkan saat ini jutaan umat Islam berkumpul di tanah suci Mekah, mereka hadir memenuhi panggilan Allah sebagaimana doa yang mereka panjatkan "Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, tidak ada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, kekuasaan adalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu".

Pelaksanaan ibadah haji tidak terlepas dari napak tilas Ibrahim a.s. dan keluarganya. Ibrahim lahir di tengah kondisi masyarakat yang tenggelam dalam kebodohan, yang diperintah seorang raja Namrud yang zalim, kegemarannya membuat dan mengoleksi gambar-gambar patung lalu memerintahkan masyarakatnya memuja dan menyembahnya. Ibrahim seorang anak yang cerdas, dalam diam, duduk atau berjalannya, dia selalu berfikir akan ayat-ayat kauniyah. Ibrahim berfikir siapa yang menciptakan semuanya itu, siapa yang mengaturnya sedemikian rupa, siapakah yang mempergilirkan malam dengan siang? Siapakah yang menjalankan matahari, bulan dan bintang? Siapakah yang menumbuhkan tanaman? Siapakah yang menghidupkan segala yang hidup dan yang mematikan segala yang mati? Ibrahim menemukan Tuhan melalui pencarian dan pengalaman ruhani.

Tauhid, keyakinan akan keesaan Allah swt, merupakan penemuan manusia yang terbesar dan yang tidak dapat diabaikan para ilmuwan. Ia tidak dapat dibandingkan dengan penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom betapa pun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut karena semua itu dikuasai oleh manusia, sedangkan penemuan Ibrahim (yang tauhid) menguasai jiwa dan raga manusia.

                                                                                                                     Keteladanan Ibrahim

Ibrahim tidak pernah mau mengikuti keinginan ayahnya yang membuat dan menyembah patung sehingga ia diusir dan dianggap bukan bagian dari keluarganya. Meskipun demikian Ibrahim selalu bersikap sopan dan santun kepada bapaknya, penuh hormat kepada orang tuanya sendiri. "Salamku dan selamat tinggal kepada ayah! Aku memohon ampunan Allah bagi ayahku dan kaumku atas apa yang kalian sembah selain Allah. Dan aku berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan Allah tidak menjadikan doaku ini pangkal kesengsaraan".

Ini merupakan ungkapan yang sungguh indah dan sangat menyentuh yang harus dijadikan ibrah, meskipun terjadi perbedaan pandangan yang sungguh tajam antara anak dengan ayahnya. Tetapi seorang anak tetap harus bersikap sopan dan lembut kepada orang tuanya, tidak boleh berkata kasar, menyepelekan, melecehkan, walaupun mungkin apa yang dilakukan orang tua keliru. Harus disadari betul bagaimana penderitaan dan kesulitan orang tua ketika membesarkan anak, mulai semenjak kandungan, merawatnya hingga dewasa.

Tidak sedikit fenomena yang terjadi dewasa ini begitu merasa sedikit lebih dari orang tuanya baik dari segi ilmu, gelar, materi, lalu berusaha membanding-bandingkan dengan pencapaian orang tuanya yang tidak sepadan, lalu timbul sifat menggurui, sepele, kurang menghargai padahal orang tuanya sudah tua dan tidak berdaya. Semestinya, di usia senjanya mereka mendapatkan balasan kasih sayang dari anak-anaknya, dan bukan sebaliknya, karena merasa malu dan minder sehingga tega mendeportasinya ke panti jompo.

Ibrahim a.s. tidak berbeda dengan manusia normal lainnya yang mendambakan keturunan dan anak yang shaleh. Namun hingga memasuki usia tuanya, apa yang didambakan itu belum juga terwujud. Tetapi dia tetap sabar, tabah, selalu berdoa, tidak pernah putus asa, dan tidak pernah menyalahkan istrinya. Ia meyakini betul bahwa semua atas kuasa dan kehendak Allah. Berbeda dengan sebagian orang yang terkadang kurang sabar, mencari kambing hitam dengan menyalahkan istri apabila belum mendapatkan momongan, atau kurang senang bila dikaruniai jenis kelamin tertentu. Bahkan ada yang mengancam  menikah lagi atau menceraikan sang isteri sekiranya apa yang diharapkan belum terwujud, sehingga secara psikis pasangannya mengalami tekanan batin dan menderita, sehingga keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah yang diimpikan jauh panggang dari api.

Sarah, istri Nabiyullah Ibrahim, paham dan mengerti akan perasaan suaminya yang menginginkan keturunan walaupun Ibrahim sendiri tidak pernah mengeluhkan kondisi yang mereka hadapi. Sarah dengan penuh ikhlas meminta suaminya agar menikahi Hajar seorang budak hitam yang tidak memiliki kedudukan apa-apa. Dari hasil pernikahan inilah Ibrahim dikaruniai seorang putra yang bernama Ismail a.s, namun tak lama kemudian, satu cobaan yang maha hebat, Allah menguji keteguhan dan keimanan Ibrahim a.s. Allah memerintahkan Ibrahim melalui mimpi untuk menyembelih anak semata wayangnya itu.

Ibrahim mendiskusikan mimpinya dengan Ismail, dengan penuh keteguhan hati anak shaleh itu meyakinkan ayahnya bahwa kalau memang itu perintah Allah, dia siap lahir batin, bahkan ia mengusulkan agar perintah itu segera dijalankan. Ismail meminta agar ayahnya mengasah pedang terlebih dahulu agar lebih tajam, supaya tidak begitu lama merasakan sakit akibat yang timbul karena penyembelihan ini.

Ismail mengusulkan kepada bapaknya agar mengikat kedua tangan dan kedua kakinya dan agar baju yang menutupi badannya dibuka saja, lalu ditutupkan ke wajahnya sendiri. Setelah mengucapkan salam perpisahan kepada ibu dan bapaknya, Ismail mengusulkan pula agar bajunya nanti diserahkan kepada ibunya agar dapat dicium ketika ibunya merindukan dirinya. Baju itulah pula sebagai pusaka untuk ibu yang ditinggalkannya.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved