Jurnalisme Warga

Mengenang Kejayaan Beulangong Keulibeut Pidie

Beulangong adalah perkakas dapur yang dipergunakan untuk keperluan merebus. Dalam bahasa Indonesia, beulangong disebut belanga atau kuali

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Mengenang Kejayaan Beulangong Keulibeut Pidie
IST
NURMAHDI NURDHA, desainer grafis, Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Pidie, melaporkan dari Keulibeut, Pidie

OLEH NURMAHDI NURDHA, desainer grafis, Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Pidie, melaporkan dari Keulibeut, Pidie

Beulangong adalah perkakas dapur yang dipergunakan untuk keperluan merebus. Dalam bahasa Indonesia, beulangong disebut belanga atau kuali. Benda ini merupakan salah satu jenis gerabah yang dihasilkan oleh tangan ulet para perajin di Keulibeut, Kecamatan Pidie, Kabupaten Pidie. Dengan memanfaatkan tanah liat yang sudah terlebih dahulu dilumatkan, perajin ini sangat kreatif membentuk aneka gerabah tersebut.

Di samping beulagong, mereka juga memproduksi beberapa jenis gerabah lain yang memiliki fungsi berbeda satu sama lain. Antara lain kanot (periuk). Benda ini dipergunakan untuk menanak nasi. Menurut para ibu, nasi yang ditanak menggunakan kanot memiliki tekstur dan cita rasa yang lebih unggul dibandingkan dengan menggunakan periuk dari bahan jenis lain. Jenis selanjutnya ialah sangku (dandang), dipakai untuk mengukus, baik mengukus nasi, maupun masakan lain yang dalam proses mamasaknya memerlukan kukusan.

Selain itu ada juga pasu (tempayan). Pasu  biasanya diletakkan di depan pintu masuk ke rumah atau di kaki tangga naik ke rumah. Di dalamnya diisi air untuk membasuh kaki sebelum menaiki tangga atau memasuki rumah. Pasu untuk keperluan membasuh kaki ukurannya lebih besar. Sementara ada juga pasu yang berukuran kecil, tetapi namanya disebut dengan guroe (guci kecil). Benda ini kegunaannya untuk menaruh asam sunti (belimbing wuluh kering). Guroe ini mampu membuat keadaan asam sunti bertahan lebih lama dan tidak rusak.

Sebelum era ‘80-an, produk perajin Keulibeut ini sangat populer dan digandrungi kaum ibu di kampung-kampung. Hampir di setiap rumah ibu menggunakan perkakas dapur dari tanah liat ini. Meskipun gerabah ini mudah pecah dan harus sangat hati-hati menggunakannya, para ibu tak pernah khawatir, karena mereka begitu mudah mendapatkan gantinya dengan harga terjangkau.

Setiap hari hasil produksi kerajinan ini diambil langsung di tempat  perajin oleh penjual yang menjajakan barang dagangannya  ke setiap penjuru. Ada penjaja yang menggunakan sepeda dengan meletakkan aneka produk gerabah di dalam keranjang besar yang dianyam dari bilahan bambu dan ditaruh di belakang sepeda. Tidak sedikit juga penjaja yang menjual dagangannya ini dengan berjalan kaki sambil memikul sebilah bambu yang pada kedua ujungnya digantung keranjang bambu yang berisi hasil kerajinan gerabah tersebut.

Cara meletakkan produk gerabah di dalam keranjang juga memiliki metoda tersendiri. Gerabah disusun berlapis di dalam keranjang bambu. Setiap lapisan dibatasi dengan jerami supaya tidak terjadi gesekan satu sama lain yang mengakibatkan gerabah tersebut retak atau pecah.

Di setiap penjuru yang dijelajahi para penjaja ini selalu saja ada pelanggan yang sedang menunggu untuk mendapatkan hasil kerajinan dari Keulibeut ini. Baik untuk menggantikan perkakas yang telah pecah maupun yang ingin menambah koleksi perkakas baru.

Ditinjau dari segi kesehatan, beulangong dari tanah liat ini jauh lebih ramah dan sehat penggunaannya, lebih-lebih jika digunakan untuk memasak kuah asam keu’eung atau lauk lain yang berbasis asam. Jika kuali yang dipergunakan berbahan alumunium, secara kimiawi, perebusan lauk asam ini akan mengakibatkan terjadinya migrasi unsur aluminium ke dalam masakan. Akumulasi jumlah bahan aluminium ini dalam tubuh dengan kadar tertentu akan berdampak buruk bagi kesehatan. Jadi, kehadiran gerabah sebagai peralatan untuk memasak, sesungguhnya memiliki pengaruh yang sangat positif terhadap kesehatan.

Akan tetapi, sekarang budaya penggunaan hasil kerajinan ini sebagai perkakas untuk memasak sudah mulai hilang ditelan waktu. Ini karena perkembangan teknologi industri peralatan dapur selama ini mengalami peningkatan sangat dahsyat. Sehingga budaya pemanfaatan peralatan yang berbasis tradisional tertinggal sangat signifikan dan tidak mampu mengimbangi produk modern.

Hilangnya budaya pemanfaatan hasil produksi kerajinan gerabah ini semakin menjadi-jadi ketika pemerintah melakukan program konversi bahan bakar minyak tanah ke bahan bakar gas. Kebijakan ini mengakibatkan terhentinya pemanfaatan gerabah sebagai perkakas untuk memasak. Alat memasak dari tanah liat ternyata tak tahan api kompor yang berbahan bakar gas, maka kaum ibu tidak mungkin lagi menggunakan gerabah ini sebagai wadah untuk memasak.

Sampai saat ini nasib para perajin di Keulibeut tak lagi berjaya seperti dulu. Banyak di antara mereka yang telah menghentikan kegiatan kerajinannya. Pasar tak lagi menyambutnya sebagai produk yang diterima konsumen. Beberapa di antaranya memang masih ada yang memanfaatkan keterampilannya untuk memproduksi beberapa jenis gerabah walaupun penerimaan pasar tidak lagi sehebat dulu. Tapi keadaan kesejahteraan mereka tidak lagi menggembirakan.

Seyogianya pemerintah turun tangan dalam mengatasi permasalahan yang menyangkut kesinambungan kreativitas masyarakat perajin gerabah ini. Jika produkssiya tak lagi diterima pasar, perajin bisa diberdayakan untuk menghasilkan jenis produk lain yang masih berbasis tanah liat. Misalnya, produk tembikar.

Tembikar adalah produk dari tanah liat, tetapi biasanya dilapisi dengan bahan lain yang berwarna atau diwarnai. Mengingat tingkat panas yang dibutuhkan dalam proses produksinya hampir setara tingkat panas yang dibutuhkan untuk pembakaran pada gerabah, maka dari sisi proses produksi, peralihan ini tidak menjadi kendala. Produk tembikar biasanya berupa barang yang memiliki nilai estetik. Salah satu di antaranya cendera mata. Bisa juga berupa vas atau jambangan. Segmen ini selama ini diisi oleh produk yang didatangkan dari luar Aceh. Cendera mata yang paling banyak dicari konsumen adalah yang berbentuk kecil, digunakan sebagai ungkapan terima kasih kepada tamu pada acara pesta pernikahan.

Tetapi untuk bisa masuk ke ranah ini, perajin harus terlebih dahulu dibekali dengan peningkatan keterampilan yang memadai. Bahkan dengan memanfaatkan teknologi yang lebih berkembang lagi. Ini tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Karena selama ini perajin tidak pernah melakukan inovasi untuk menciptakan produk jenis lain selain kelengkapan kebutuhan dapur. Maka kehadiran pemerintah untuk mengintervensi potensi yang telah turun-temurun tumbuh di Keulibeut ini, menjadi sesuatu yang niscaya.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved