Luar Negeri
Presiden Iran Hassan Rouhani: Bahas Program Nuklir dengan Amerika Serikat Tidak Ada Gunanya
Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan, pembicaraan dengan Amerika Serikat membahas program nuklir Teheran tidak akan ada gunanya.
SERAMBINEWS.COM - Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan, pembicaraan dengan Amerika Serikat membahas program nuklir Teheran tidak akan ada gunanya.
Hal tersebut tak lepas dari Washington yang telah menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran 2015, yang menyebabkan perjanjian dengan negara-negara kekuatan dunia itu hancur.
"Sekarang musuh kita sudah tidak lagi menerima logika sehingga kita tidak bisa menanggapi dengan logika," kata Rouhani, dikutip The New Arab.
Rouhani berbicara saat peluncuran sistem rudal pertahanan udara Bavar-373 di Teheran, Kamis (22/8/2019), yang bertepatan dengan Hari Industri Pertahanan Nasional Iran.
Presiden berusia 70 tahun itu menyebut sistem peluncur rudal jarak jauh darat-ke-udara yang diproduksi di dalam negeri tersebut lebih baik daripada S-300 buatan Rusia.
"Ketika musuh meluncurkan rudal ke arah kita, kita tidak bisa hanya bicara dan mengatakan, 'Tuan roket, tolong jangan menyerang negara kami dan rakyat kami yang tak bersalah'."
"Atau berkata, 'Tuan peluncur roket, bisakah Anda menekan tombol dan menghancurkan rudal itu di udara'," kata Rouhani.
Iran telah mulai mengembangkan industri pertahanan dalam negeri sejak 1992.
Iran telah memproduksi drone bersenjata juga roket.
Arab Saudi telah menuding Teheran mengekspor senjata-senjata itu ke pemberontak Houthi di Yaman.
Terlepas dari keraguan Rouhani, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif yang berada di Norwegia mengatakan ada peluang menyelamatkan kesepakatan nuklir 2015 setelah adanya proposal yang diajukan Perancis.
"Ada proposal yang diajukan oleh Perancis dan kami akan segera membahasnya," kata Zarif.
Proposal yang diajukan oleh Presiden Perancis Emmanuel Macron pada Rabu (21/8/2019) tersebut di antaranya mengusulkan adanya pelunakan sanksi terhadap Iran atau memberikan mekanisme kompensasi untuk memungkinkan rakyat Iran dapat hidup lebih baik.
Sebagai timbal baliknya, Iran, yang kini telah meninggalkan sebagian isi kesepakatan, diminta untuk kembali mematuhi secara penuh kesepakatan nuklir 2015 tersebut.
"Saya menantikan untuk dapat bertemu dan membahas secara serius dengan Presiden Macron tentang kemungkinan untuk melangkah maju," kata Zarif, dikutip Reuters.
Namun, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, Selasa (20/8/2019), memperingatkan dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB bahwa di bawah kesepakatan nuklir Iran, embargo persenjataan PBB terhadap Iran akan berakhir pada Oktober 2020.
Washington pun mendesak PBB untuk memperpanjang embargo senjata terhadap Teheran yang akan berakhir tahun depan sebagai bagian dari kesepakatan nuklir Iran yang diperangi.
Pompeo memperingatkan bahwa berakhirnya ketentuan dalam Resolusi Dewan Keamanan 2231 juga akan mencabut larangan bepergian terhadap komandan penting Iran.
"Waktu semakin singkat untuk melanjutkan pembatasan kemampuan Iran untuk membangkitkan rezim terornya," kata Pompeo.
"Komunitas internasional akan memiliki banyak waktu untuk melihat berapa lama sampai Iran tidak lagi terbelenggu untuk menciptakan kekacauan baru dan mencari tahu apa yang harus dilakukan untuk mencegah hal itu terjadi," kata Pompeo.
AS telah menyerukan sanksi yang lebih keras terhadap Iran.
Presiden Iran: AS Menderita Keterbelakangan Mental
Presiden Iran Hassan Rouhani mengejek Amerika Serikat ( AS) setelah mengumumkan sanksi yang menyasar sejumlah pejabat dan komandan militer.
Dalam siaran televisi, Rouhani mengomentari sanksi yang diberikan kepada Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamanei dan Menteri Luar Negeri Mohammed Javad Zarif.
Dilansir The Independent Selasa (25/6/2019), Rouhani menyebut sanksi itu sebagai perbuatan "idiot dan keterlaluan", dan menyindir AS "menderita keterbelakagan mental".
"Kalian (AS) menjatuhkan sanksi kepada menteri luar negeri secara simultan dan kemudian menawarkan sebuah perundingan?" tanya Rouhani dengan gusar.
Iran sudah memperingatkan bahwa sanksi yang diteken oleh Presiden Donald Trump pada Senin (24/6/2019) itu bakal menutup pintu diplomasi dua negara.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Abbas Mousavi berkata Washington sudah menghancurkan mekanisme internasional untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia.
Dalam konferensi pers, Trump menyatakan sanksi "keras" merupakan respon yang kuat dan proporsional terhadap tindakan provokatif yang dilakukan Iran.
Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton yang dikenal mempunyai pendekatan agresif sudah mengatakan Gedung Putih masih membuka pintu bagi negosiasi.
Bolton berujar, mereka membuka pintu dengan syarat Iran bersedia menghapus program senjata nuklir, rudal balistik, dukungan terhadap terorisme, dan perilaku negatif lainnya.
"Yang cukup dilakukan Iran adalah berjalan melewati pintu itu," terang Bolton.
Hubungan dua negara memanas sejak Trump menarik diri dari perjanjian nuklir 2015 tahun lalu.
Tensi semakin meningkat dalam tiga pekan terakhir.
Antara lain serangan terhadap kapal tanker di perairan Teluk Oman dan membuat harga minyak dunia meroket.
Kemudian baru-baru ini adalah klaim Garda Revolusi Iran bahwa mereka menembak jatuh drone pengintai RQ-4A Global Hawk karena melanggar wilayah mereka.
Perancis, Jerman, dan Inggris langsung merilis pernyataa resmi menyerukan adanya deeeskalasi karena tensi yang semakin meningkat di kawsan Teluk.
Mereka juga menjamin komitmen terhadap perjanjian nuklir 2015 dan meminta pihak lain untuk "bertindak seperti yang mereka lakukan".
Baca: Cuaca belum Kondusif, Antrean Truk Masih Mengular di Pelabuhan Kuta Batu Simeulue Timur
Baca: Kebakaran Ilalang di Kuta Alam Panikkan Warga, Api Sampah Diduga Pemicunya
Baca: Dramatis! Napi Ini Hunus Pedang Perak ke Polisi Saat Ditangkap, Akhirnya Rubuh Diterjang Peluru
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Presiden Iran: Bicara dengan AS Tidak Ada Gunanya"