Ogah Ikuti Jejak 3 Rekannya Mundur, Basaria Panjaitan: Meneruskan Tanggung Jawab sampai Desember

Mantan perwira tinggi Polri itu, menegaskan akan terus bekerja sebagai pimpinan KPK sampai Desember 2019 mendatang, sesuai masa kepengurusannya.

Editor: Faisal Zamzami
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan. (TRIBUNNEWS/HERUDIN) 

Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid mempertanyakan sikap Ketua KPK Agus Rahardjo, serta dua Komisioner KPK Laode Muhammad Syarif dan Saut Situmorang.

Menurut dia, upaya menyerahkan mandat KPK kepada presiden melanggar sistem hukum tata negara dan konstitusi.

Dia menilai apa yang dipertontonkan pimpinan KPK kepada publik itu merupakan lelucon yang tidak lucu.

"Tidak ada nomenklatur penyerahan mandat KPK kepada presiden berdasarkan hukum tata negara. Ini adalah suatu ironi yang terjadi di sebuah negara demokrasi konstitusional," kata dia saat dihubungi.

Dia menjelaskan sikap pimpinan KPK menyerahkan mandat kepada presiden ini harus dipandang sebagai tindakan yang inkonstitusional, serampangan dan melanggar undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Dari segi hukum tata negara maupun hukum administrasi negara, kata dia, tak ada nomenklatur menyerahkan mandat kepada presiden, selain karena tidak sejalan dengan rezim ketentuan pasal 32 ayat (1) poin e UU KPK.

Pasal 32 UU KPK menyebutkan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena meninggal dunia, berakhir masa jabatannya, menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan, berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari 3 (tiga) bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya, mengundurkan diri atau dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang ini.

Pada ayat kedua, jika pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, maka orang tersebut akan diberhentikan sementara dari jabatannya.

Pemberhentian yang dimaksudkan pada ayat pertama dan kedua ditetapkan oleh presiden.

Melihat aturan UU KPK, dia menegaskan, pengunduruan diri dari pimpinan KPK dan penyerahan mandat pengelolaan KPK kepada presiden sangat tidak negarawan dan potensial menjadi preseden buruk dalam praktek ketatanegaraan.

"Ini adalah suatu praktik yang tidak lazim dan cenderung deviasi dari prinsip hukum," kata dia.

Fahri Bachmid mengatakan Presiden Joko Widodo dapat mengambil kebijakan strategis menyikapi penyerahan mandat pengelolaan KPK.

Menurut dia presiden dapat menggunakan kewenangan konstitusional berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Jika merujuk pada Pasal 33A UU 10 tahun 2015 disebutkan, "Dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan pimpinan KPK yang menyebabkan pimpinan KPK berjumlah kurang dari tiga orang, presiden mengangkat anggota sementara pimpinan KPK sejumlah jabatan yang kosong. Anggota sementara tersebut mempunyai tugas, wewenang, kewajiban dan hak yang sama dengan pimpinan KPK."

Pada Pasal 33 B masa jabatan anggota sementara pimpinan KPK berakhir saat anggota pimpinan KPK yang digantikan karena diberhentikan sementara diaktifkan kembali atau pengucapan sumpah/janji anggota pimpinan KPK yang baru setelah dipilih melalui proses.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved