Demo Tolak RUU KPK

Bahayakah Gas Air Mata Kedaluwarsa? Aktivis HAM Sebut Ada Zat Kimia Mematikan Seperti Perang Dunia I

"Kami menemukan bukti polisi menggunakan expired tear gas (gas air mata kadaluwarsa) ketika menembakan ke arah kerumunan massa."

KOMPAS.COM/GARRY LOTULUNG
Polisi melontarkan gas air mata saat kericuhan dalam unjuk rasa di Depan Gedung DPR/MPR, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (24/9/2019). 

Bahayakah Gas Air Mata Kedaluwarsa? Aktivis HAM Sebut Ada Zat Kimia Mematikan Seperti Perang Dunia I

SERAMBINEWS.COM – Aksi pengamanan oleh pihak kepolisian dalam demonstrasi di gedung DPR/MPRI RI diniali tidak sesuai prosedur karena menembakkan gas air mata yang diguga kedaluwarsa.

Penembakan gas air mata kedaluwarsa tersebut dilakukan saat meredam aksi massa di Gedung DPR/MPR RI, Selasa (24/9/2019).

Temuan bahwa aparat kepolisian menembakkan gas air mata kedaluwarsa tersebut diasmpaikan aktivis HAM dari Serikat Sindikasi.

Aktivis HAM dari Serikat Sindikasi menemukan selongsong gas air mata kadaluwarsa dalam kerusuhan di sekitar Gedung DPR/ MPR RI, Jakarta, Selasa (24/9/2019).

"Kami menemukan bukti polisi menggunakan expired tear gas (gas air mata kadaluwarsa) ketika menembakan ke arah kerumunan massa."

Demikian antara lain disampaikan perwakilan Serikat Sindikasi, Irene Wardani, dalam jumpa pers di Kantor LBH, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (25/9/2019) seperti dikutip dari Kompas.com.

Baca: Update Kondisi Papua, Korban Tewas Menjadi 30 Orang, Ribuan Warga Padati Pangkalan TNI AU di Wamena

Baca: Polisi Pukul Mundur Massa Dengan Tembakan Gas Air Mata, Mahasiswa: Salah Kami Apa Sampai Ditembaki?

Baca: Mahasiwa Kena Gas Air Mata, Sesak Nafas dan Luka di Rawat di Masjid Al Falaah Jakarta Pusat

Baca: Polisi Tembakkan Gas Air Mata Untuk Bubarkan Kerumunan Mahasiswa di Simpang Susun Semanggi

Lalu bagaimana nasib seseorang jika terpapar gas air mata yang sudah kedaluwarsa tersebut? Berbahayakah atau tidak?

Menurut Serikat Sindikasi, gas air mata yang sudah melewati masa waktu penggunaan itu mengandung zat yang berbahaya bagi manusia.

Zat berbahaya yang dimaksud, yakni sianida dan fosgena.

Berdasarkan catatan Sindikasi, zat bernama fosgena adalah salah satu senjata kimia yang digunakan pada Perang Dunia I oleh Jerman.

"Itu (terasa dalam) 48 jam. Dampak kematiannya bukan karena shock atau luka-luka, tapi karena menghirup," terang Irene.

Pihaknya memiliki bukti tersebut. Bukti itu berupa foto selongsong yang diambil dari mahasiswa yang ikut di dalam demonstran.

Foto-foto tersebut pun akan dijadikan alat bukti untuk menindak aparat keamanan yang melakukan pelanggaran SOP.

"Karena sifatnya sangat beracun buat massa dan bisa menyebabkan kematian," kata dia.

Diketahui, pada Rabu (24/9/2019), aksi demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPR berakhir ricuh karena mereka dipukul mundur oleh kepolisian.

Polisi sempat beberapa kali gas air mata kepada para mahasiswa serta water canon untuk memukul mundur mereka.

Selain itu, aksi kekerasan juga dilakukan aparat kepolisian kepada para mahasiswa hingga menuai kecaman.

Jawaban Polisi

Polisi membantah penggunaan selongsong gas air mata kedaluarsa saat kerusuhan di sekitar Gedung DPR/ MPR RI, Jakarta, Selasa (24/9/2019).

"Itu tidak benar (menggunakan gas air mata kadaluarsa)," ujar Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono saat dikonfirmasi, Rabu (25/9/2019), seperti ditulis Kompas.com.

Menurut Argo, polisi telah menggunakan gas air mata sesuai standar operasional prosedur (SOP).

"Polisi gunakan gas air mata yang masih standar, bukan kedalwuarsa," ungkap Argo.

Efek gas air mata

Kerusuhan kembali pecah di sekitar Gedung DPR pada Rabu (25/9/2019). Untuk mengendalikan massa, polisi pun menembakkan gas air mata ke arah kerumunan pelajar yang berdemo.

Akibat kejadian ini, salah seorang siswa SMK Sumpah Pemuda harus dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat RS Pelni, Petamburan.

Kepala pejar tersebut terkena (tembakan) gas air mata dan robek. Namun tidak hanya luka robek saja, gas air mata bisa menyebabkan sesak napas, lemas hingga pingsan, seperti yang dialami para mahasiswa dalam demo kemarin.

Gas air mata yang terbawa angin juga bisa sampai ke pemukiman warga di sekitar area kericuhan dan menganggu kenyamanan.

Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai efek dari gas air mata, terutama efek jangka panjangnya.

Dilansir dari Gizmodo, 14 Agustus 2014, gas air mata sebetulnya dirancang hanya untuk bekerja sementara waktu dan menghilang tanpa efek permanen.

Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Toxicological Reviews pada 2013 mencapai konklusi bahwa "tidak ada bukti kalau individu yang sehat akan mengalami efek kesehatan jangka panjang dari paparan CS (senyawa 2-chlorobenzalmalononitrile dalam gas air mata) di ruang terbuka".

Namun, memang ada beberapa kasus di mana paparan gas air mata dapat meninggalkan efek permanen.

Dalam demonstrasi di Mesir pada 2013, misalnya, 37 orang meninggal karena sesak napas setelah gas air mata dilepaskan di dalam kendaraan mereka.

Laporan untuk demonstrasi yang sama juga mengungkapkan adanya korban-korban yang menjadi buta, luka parah atau meninggal karena terkena tembakan gas air mata dari jarak dekat.

Paparan gas air mata yang berlebihan juga dapat menyebabkan luka bakar pada kulit, dan bila terkena mata bisa menyebabkan kebutaan.

Lalu, pada orang-orang dengan penyakit asma, gas air mata bisa memicu gangguan pernapasan yang membutuhkan perawatan panjang.

Sven-Eric Jordt, seorang profesor farmakologi dari Yale University School of Medicine yang mempelajari cara kerja gas air mata secara neurologis, berkata bahwa ada cukup banyak contoh di mana orang-orang mengalami luka bakar parah (akibat gas air mata), terutama di ruang tertutup atau di jalanan yang kanan kirinya gedung-gedung tinggi.

"Warga yang hidup di sekitar Tahir Square di Kairo yang mendapat banyak gas air mata telah mengalami paparan jangka panjang, yang menyebabkan masalah pernapasan. Paparan jangka panjang sangat bermasalah," ujarnya.

Studi di Turki Dalam wawancara dengan The Cut, 21 Agustus 2014, Jordt berkata bahwa tidak banyak studi yang mempelajari efek jangka panjang gas air mata terhadap individu atau sekelompok manusia.

Pasalnya, hanya ada sedikit orang yang terpapar dan terpengaruh oleh gas air mata untuk jangka waktu lama. Namun, sekelompok dokter dari Turki telah berhasil melakukan studi efek jangka panjang terhadap 93 orang yang lebih sering terpapar gas air mata daripada orang normal.

Dipublikasikan dalam The Scientific World Journal pada 2014, tim peneliti mengikuti 93 subyek dari latar belakang yang beragam, mulai dari karyawan, guru, siswa, jurnalis dan aktivis poltik, yang lebih sering terpapar gas air mata daripada orang normal.

Mereka lantas membandingkannya dengan 55 orang yang memiliki riwayat kesehatan serupa dan latar belakang beragam, tetapi tidak pernah terpapar gas air mata.

Para partisipan diminta untuk mengisi kuesioner tentang jumlah paparan yang mereka alami selama dua tahun terakhir, tipe gas air mata, jarak dari sumber gas air mata dan riwayat penanganan usai terpapar gas air mata.

Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok yang lebih banyak terpapar gas air mata lebih sering mengalami batuk berdahak selama lebih dari tiga bulan. Mereka juga 2-2,5 kali lipat lebih sering mengalami sesak di dada, dispnea atau sesak napas, batuk pagi hari saat musim dingin dan dahak.

Partisipan yang lebih sering terpapar gas air mata daripada orang normal juga melaporkan kejadian yang lebih sering untuk hidung berair, mata berair dan dermatitis daripada kelompok yang tidak terpapar, meskipun perbedaan kedua kelompok tidak terlalu signifikan.

Para peneliti pun mengonklusikan paparan gas air mata berulang yang berlebihan atau lebih sering daripada umumnya dapat meningkatkan keluhan pernapasan dan meningkatkan risiko terkena bronkitis kronis.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Aktivis HAM Sebut Polisi Gunakan Gas Air Mata Kadaluwarsa" dan "Terpapar Gas Air Mata Saat Demo, Adakah Efek Jangka Panjangnya?"

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved