Rusuh di Papua
Aspirasi Papua Menjelang Berakhirnya Otonomi Khusus
Kerusuhan di Papua meledak pada pertengahan Agustus, sebagai reaksi atas umpatan rasial terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya.
Gebze menyerahkan keberlanjutan otonomi khusus Papua kepada Pemerintah Pusat. Namun dia berharap kebijakan itu tetap berlanjut, dengan program pembangunan yang lebih baik.
“Untuk menepis kesenjangan dan ketidakadilan. Akumulasi ketidakadilan itulah yang memicu demonstrasi besar-besaran di Papua dan Manokwari,” kata Gebze.
Pembangunan belum sampai ke bawah
Sementara Kepala Suku La Pago Jayawijaya, Yesaya Kenelang, mengkritisi bahwa dana otonomi khusus di Papua amat besar namun hanya mengalir ke kantong segelintir elite.
“Tidak sampai ke masyarakat di pelosok, mereka mengeluh, makanya terlontar untuk merdeka,” kata Yesaya.
Bantuan yang terasa hingga masyarakat di belahan pegunungan Papua, ujar Yesaya, justru dari program Dana Desa.
Bersumber dari bantuan itu, warga membangun jalan kampung, membangun rumah sehat, dan komunitas usaha seperti ternak babi, ayam, atau perkebunan.
Aktivis Gerakan Mahasiswa Papua Indonesia Habelino Sawaki mengatakan kesenjangan struktur ekonomi, sosial dan politik menjadi pemicu konflik di Papua, termasuk dengan adanya gerakan separatisme.
Protes besar-besar terhadap umpatan rasisme yang muncul di Surabaya, hanya sebagai pemicu dari masalah kesenjangan dan marjinalisasi itu.
Habelino menilai banyak persoalan belum juga tuntas menjelang berakhirnya kebijakan Otsus.
Habelino mengatakan, orang Papua jauh tertinggal ketimbang suku lain di Indonesia di bidang pendidikan, kesehatan dan perekonomian. Tak heran bila sektor perekonomian di Papua, lanjut Habelino, banyak dikuasai oleh pendatang dari Jawa, Sulawesi, dan Sumatera.
“Kalau tidak ada afirmasi, orang Papua tidak akan berkembang dan maju dari non-Papua yang sudah maju sejak lama,” kata dia.
Selain itu, lanjut Habelino, ada sederet poin dalam UU Otonomi Khusus Papua yang perlu dibenahi. Salah satunya soal tak adanya instrumen penggunaan dana.
Kekosongan aturan ini membuat dana Otsus rawan dikorupsi dan akhirnya pembangunan Papua lewat kebijakan afirmasi gagal.
“Ini orang Jakarta kasih Otsus tapi menjebak kita, karena tak ada instrumen penggunaan dana, ini menjadi rawan,” kata dia.
Habelino juga menekankan perlunya merumuskan bagaimana menciptakan konektivitas antara UU Otonomi khusus dengan UU yang ada di Papua, yaitu Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi).
Jika mengikuti logika hukum, ketika UU otonomi khusus disahkan, artinya seluruh aturan lain yang berlaku terkait Papua menjadi lex general atau tidak mengikat, kecuali soal keuangan, keagamaan dan militer.
“Begitu disahkan, UU ini adalah al-Quran dan al-Kitab bagi Papua, aturan lain harus dikesampingkan,” kata dia.
Membangun Papua memang membutuhkan upaya yang besar. Apalah artinya jika pemerintah pusat memberikan Otonomi khusus, namun kebijakan itu sekadar untuk menyenangkan sebagian elit Papua.
Tantangannya, bagaimana Otsus benar-benar dirasakan dampaknya oleh masyarakat Papua di tingkat paling bawah, seperti dikatakan Kepala Suku La Pago, Jayawijaya.(AnadoluAgency)
Baca: Indonesia Prihatin dengan Munculnya Konflik Baru di Timur Tengah dalam Sidang Umum PBB
Baca: KKB Pimpinan Penni Murib dan Telaga Telenggen Kontak Tembak Dengan TNI di Puncak Papua
Baca: Ampuh Kendalikan Unjuk Rasa, Gas Air Mata Ternyata Sudah Digunakan Sejak 1914
Baca: Menjelajahi Sundarbans, Hutan Mangrove Terbesar yang Ada di Dunia