Iuran BPJS Kesehatan

Pengamat Ekonomi: Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Bisa Memukul Daya Beli Masyarakat

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini terjadi bersamaan dengan naiknya tarif layanan publik lain, antara lain listrik, tarif tol, dan tarif ojek online.

Editor: Taufik Hidayat
ANTARA/RISKY ANDRIANTO/FOC
Petugas menata sejumlah kartu peserta BPJS Kesehatan, di kantor pelayanan BPJS Kesehatan Cabang Bekasi, Jawa Barat, Rabu (30/10/2019). 

“Sehingga yang kaya harus membayar tinggi dan masuk ke skema komersial sehingga mengurangi beban pemerintah karena setidaknya sepertiga penduduk masuk ke skema komersial ini,” jelas Didik.

Pemerintah harus mengalokasikan kepada BPJS Kesehatan anggaran yang lebih besar lagi karena program ini merupakan amanat langsung dari undang-undang dasar.

Banyak pos dari ratusan jenis anggaran yang bisa dikurangi karena tidak relevan dengan kesejahteraan rakyat seperti mengurangi subsidi kepada BUMN.

Pos anggaran lain yang bisa direalokasikan ialah subsidi pajak penghasilan (PPh) untuk para pembeli obligasi global yang diterbitkan pemerintah, seperti pernah disampaikan oleh lembaga riset kebijakan SigmaPhi beberapa waktu lalu kepada Anadolu Agency.

Temuan SigmaPhi, pada 2017 dan 2018, dana subsidi PPh tersebut yang dialokasikan Kementerian Keuangan masing-masing sebesar Rp8,93 triliun dan Rp10,11 triliun.

Pemerintah secara rutin mensubsidi para pemegang global bond sejak 2009. Hingga 2019, catatan SigmaPhi, dana subsidi yang telah diberikan pemerintah kepada orang-orang kaya ini mencapai Rp70 triliun.

Muhammad Islam, Direktur SigmaPhi, meminta pemerintah serius merealokasi anggaran negara, salah satunya menghentikan subsidi PPh global bond, untuk membantu menutup defisit BPJS Kesehatan. Paling tidak akan mengurangi besaran kenaikan iuran sehingga mengurangi beban peserta BPJS Kesehatan.

Menuai pro kontra

Kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.

Seorang karyawati swasta bernama Anandapia mengatakan sistem jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan perlu ada di suatu negara, meskipun pelaksanaannya di Indonesia belum semulus di negara maju.

“Adanya keluhan karena pelaksanaannya masih tumpang tindih. Tapi bagi yang sudah merasakan manfaat BPJS seperti saya, pasti setuju dengan kenaikan iuran ini,” kata Anandapia.

Dia mengatakan penjual sayur keliling langganannya bahkan menjadi peserta BPJS Kesehatan iuran mandiri kelas I dan telah merasakan manfaat BPJS Kesehatan sehingga tidak mempermasalahkan kenaikan iuran ini karena dianggap lebih terjangkau daripada harus membayar iuran asuransi swasta.

Sementara itu, karyawati swasta lainnya bernama Ineldha Putri mengatakan penolakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan di masyarakat disebabkan oleh informasi yang simpang siur tentang penyebab kenaikan iuran ini.

“Keterbukaan dan kejujuran informasi dari pemerintah diharapkan bisa mengedukasi dan mengajak masyarakat agar mau berfikir ke arah solusi,” kata dia.

Selain itu, Putri mengatakan masih ada masyarakat peserta BPJS Kesehatan yang tidak merasakan manfaat maksimal dalam perawatan kesehatan sehingga keberatan dengan kenaikan tersebut.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved