JURNALISME WARGA

Tionghoa dan Toleransi di Negeri Syariah

NAMANYA Jhony. Dalam bahasa Mandarin dipanggil Tien Yhuk Phin. Lahir tahun 1956. Kini usianya 61 tahun

Editor: hasyim
zoom-inlihat foto Tionghoa dan Toleransi di Negeri Syariah
IST
ANDI FIRDHAUS LANCOK, Staf Institut Perdamaian Indonesia (IPI) dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Pidie

Ie Leubeu masih tetap memiliki pelanggan para penikmat biji kopi lokal Tangse yang diracik sendiri oleh Jhony secara tradisional.

Dalam "perang bisnis kopi" zaman kekinian, keberadaan Jhony menjadi catatan terhadap makna toleransi bahwa perbedaan itu sesuatu yang patut dihargai.

Pada saat Aceh dirundung perang politik pun, Jhony dan etnis Tionghoa lainnya masih merasa aman dan sama sekali tidak terusik. Meski di berbagai pelosok Aceh, letusan senjata kerap terjadi.

"Hanya menghargai orang lain yang berbeda," katanya singkat.

Ucapan itu sepertinya menegaskan tentang sikap penghargaan dan kepedulian sosial. Misalkan, tradisi di Kedai Ie Leubeu yang menyediakan air putih gratis dalam cerek besar.

Cerek itu diletakkan di atas meja, lengkap dengan beberapa gelas. Tukang parkir, pedagang kecil, pengemis, dan siapa pun boleh melepaskan dahaganya secara gratis di Kedai Kopi Ie Leubeu.

                                                            ***

Tradisi yang diperlihatkan Johny merupakan jawaban kecil, bagaimana sesungguhnya toleransi menjadi sketsa sosial sebagai bentuk human interest di antara sesama anggota masyarakat di Pidie.

Memang dalam berbagai literatur sejarah, toleransi masyarakat Pidie terbentuk oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah pergaulan di antara pluralisme kebudayaan dan perdagangan internasional. Ini terjadi jauh sebelum Indonesia dijajah oleh kolonialis. Transaksi perdagangan internasional mengalami kemajuan pesat. Ekspor impor terjadi dalam globalisasi hukum ekonomi dunia.

Penulis Inggris, Prof  DGE Hall, bahkan melukiskan dalam bukunya, "History of South East Asia" berdasarkan catatan pelaut Portugal, Ludovico di Varthema bahwa  Pedir (Pidie) merupakan wilayah yang maju pada abad ke-15. 

Pada saat itu, tak kurang 18 hingga 20 kapal asing sandar ke Pelabuhan Pidie setiap tahunnya. Peningkatan ekonomi di pelabuhan meningkat.

Berbagai komoditas diekspor oleh pengusaha dan masyarakat Pidie. Lada, kemenyan, dan sutra menjadi andalan Kerajaan Pidie untuk dikirim ke Tiongkok. Hubungan inilah yang membuat masyarakat Pidie kemudian kerap dilabelkan sebagai "Cina Hitam".

Korelasi pergaulan dagang internasional inilah salah satu penyebab sehingga masyarakat Pidie terbentuk karakter yang menemukan cara menghargai perbedaan, termasuk pada keyakinan.

Pengaruh lain hingga memperkuat toleransi juga dibentuk oleh lingkungan dan akses pasar akibat banyaknya pendatang asing. Pergulatan bisnis dan transaksi ini menjadi Pidie gemilang.

Bahkan Hall juga menulis dalam bukunya tentang mata uang asing yang sangat banyak beredar di Pidie, dan 500 orang mengambil peran dengan profesi sebagai penukar mata uang (money changer).

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved