Perawat Polisikan Wabup Aceh Timur, Terkait Dugaan Kekerasaan Fisik

Wakil Bupati Aceh Timur, Syahrul Bin Syama’un dilaporkan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Aceh oleh Perawat

Editor: bakri
SERAMBI/ SUBUR DANI
Ns. Fani Adi Rizka S.Kep, perawat RSUD Sultan Abdul Azizsyah Peureulak (tengah) didampingi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPW PPNI) Aceh, Abdurrahman SKP MPd memberikan keterangan kepada awak media di Mapolda Aceh, Senin (16/12/2019). 

BANDA ACEH - Wakil Bupati Aceh Timur, Syahrul Bin Syama’un dilaporkan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Aceh oleh Perawat (Ns) Fani Adi Riska SKep, yang bekerja di RSUD Sultan Abdul Azizsyah Peureulak, Aceh Timur, Senin (16/12/2019).

Orang nomor dua di Aceh Timur ini dipolisikan karena diduga telah melakukan kekerasan fisik terhadap perawat laki-laki tersebut, saat dirinya akan dirawat di rumah sakit pada Minggu (1/12/2019) malam.

Laporan polisi itu dibuat Fani dan diterima oleh personel di bagian SPKT Polda Aceh dengan nomor LP/271/XII/YAN.2.5/2019/SPKT. Pantauan Serambi, pelapor datang ke Polda Aceh didampingi kuasa hukumnya, Chandra Septi Maulidar SH.

Belasan orang dari organisasi profesi, yakni Dewan Pimpinan Wilayah Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPW PPNI) Aceh dan sejumlah LSM juga turut mendampinginya. Fani Adi Rizka juga memboyong dua saksi untuk menguatkan laporannya.

Ns Fani Adi Riska SKep mengaku mengalami kekerasan fisik yang diduga dilakukan oleh Wakil Bupati Aceh Timur, Syahrul Bin Syama’un. Malam kejadian itu, Fani sedang berusahan memasang oksigen terhadap Syahrul yang baru saja tiba di rumah sakit untuk mendapat perawatan medis atas penyakit yang dideritanya.

Kuasa hukum pelapor, Chandra Septi Maulidar SH kepada awak media menjelaskan, kliennya diduga mengalami kekerasan fisik dari pelaku. Saat itu, terlapor dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan perawatan medis atas penyakitnya. Bahkan menurut kuasa hukum, terlapor langsung masuk ke ruangan tanpa melalui Instalasi Gawat Darurat (IGD).

"Diduga penganiayaan, kalau ditendang apa? Perutnya (ditendang). Dia (terlapor) berobat ke rumah sakit, langsung masuk ke ruangan tanpa melalui IGD," kata Chandra.

Saat itu jelasnya, korban sebagai perawat, membawa oksigen karena terlapor memerlukan oksigen untuk penanganan penyakit yang di derita. "Oksigen diambil dan lagi mau dipasang, saat itu korban ditendang, nggak tahu kenapa. Padahal korban sedang melakukan tindakan, oksigen baru mau diikat," pungkasnya.

Inisiatif sendiri

Ns Fani Adi Riska SKep, dalam kesempatan itu juga ikut menjelaskan kronologi kejadian tersebut kepada awak media. Ia menceritakanb, malam itu dirinya sedang tidak bertugas, namun dia tetap datang untuk memfasilitasi perawat di ruangan karena kebetulan Fani Adi Riska ketua tim.

Saat itu, tiba-tiba, seorang pasien dibawa masuk ke ruangan yang belakangan diketahui adalah Wakil Bupati Aceh Timur. Perawat yang seharusnya melayani sang pasien mencari oksigen. Fani yang berada di lokasi kemudian berinisiatif sendiri untuk ikut juga mencari oksigen ke ruangan lain karena Wakil Bupati Aceh Timur yang sudah berada di ruangan membutuhkan oksigen.

“Kebetulan saya mendapat oksigen di salah satu kamar pasien yang lain, lalu saya seret oksigen itu dengan bantuan perawat lain, oksigennya kebetulan tidak ada lagi trolinya, jadi harus saya seret pelan-pelan,” katanya.

Fani kemudian tiba di ruangan tempat Wakil Bupati Aceh Timur dirawat. Tak menunggu lama, sambil tertatih menyeret oksigen yang lumayan berat, dia langsung memasang pengaman oksigen agar bisa dipasang ke pasien. “Ketika saya pasang langsung terjadi tendangan ke arah saya. Tendangan yang kena saya sekali, dicoba lagi tapi dihalau oleh pasien di sebelahnya,” katanya.

Bahkan dalam laporan yang dibuat oleh Fani Adi Riska ke polisi, tendangan itu mengenai perutnya hingga dia jatuh terduduk bersama tabung oksigen di atas tempat tidur pasien yang lain. “Beliau juga sempat memaki, cuma jelasnya saya tidak ingat lagi. Mendapat perlakukan itu saya lumayan tertekan,” ucap Fani.

Pelaporan Wakil Bupati Aceh Timur oleh Fani Adi Riska dan kuasa hukumnya kemarin turut didampingi oleh Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPW PPNI) Aceh, Abdurrahman SKP MPd. Kepada awak media, dia menegaskan bahwa PPNI akan mengawal dan mendampingi kasus tersebut.

“Kami berkewajiban mendampingi korban, supaya bisa diproses seadil adilnya. Ini sudah komitmen kami, ini juga didukung oleh organisasi profesi se-Indonesia,” pungkasnya.

Wakil Bupati Aceh Timur, Syahrul bin Syama'un, menyikapi bijak pelaporan dirinya ke polisi. Menurut dia, itu merupakan hak setiap warga negara yang merasa dirugikan. "Tidak masalah mereka membuat laporan. Itu hak mereka jika merasa dirugikan," ungkap Wabup Syahrul saat dikonfirmasi Serambi, Senin (16/12/2019).

Ia melanjutkan, setiap warga negara yang merasa dirugikan berhak untuk melaporkan kemana saja dan hal itu dibenarkan secara peraturan perundang-undangan. "Jadi biarkan kepolisian yang menyikapi dan menyelesaikannya secara bijak dan profesional," ucapnya.

Sebelumnya, Wakil Bupati Aceh Timur Syahrul Bin Syama’un telah memberikan tanggapan terkait berita yang beredar, baik di media sosial maupun media online, tentang dirinya yang telah melakukan kekerasan fisik kepada perawat yang bertugas di rumah sakit Shultah Abdul Aziz Syah Peureulak, Aceh Timur. Sanggahan berupa klarifikasi itu disampaikannya kepada Serambi, Jumat (13/12/2019).

“Saya sampaikan kepada seluruh lapisan masyarakat bahwa tidak ada kejadian seperti yang dituduhkan sepihak tanpa tahu persis kronologis kejadian yang sebenarnya, dan tanpa konfirmasi langsung kepada saya atau direktur rumah sakit,” ungkap Wabup Syahrul bin Syama’un.

Dia membantah telah melakukan kekerasan fisik terhadap perawat RSUD Sulthan Abdul Aziz Syah. Namun Wabup mengakui bahwa ada memberikan teguran.

Malam kejadian itu, ia mengaku ada menanyakan kepada perawat siapa dokter dan perawat piket di ruangan itu? “Tapi tidak ada yang menjawab pertanyaan saya. Sementara saya sebagai pasien sudah menunggu lebih 30 menit dalam keadaan sesak dan hanya butuh oksigen, tapi tidak ada satu oksigen pun di situ,” ujarnya.

“Padahal setengah jam sebelum saya ke rumah sakit, saya sudah menghubungi pihak rumah sakit untuk menyiapkan oksigen saja. Nah jika saya sebagai pimpinan saja seperti ini pelayanan (tidak maksimal) yang saya dapat, lalu bagaimana nasib masyarakat umum,” tambah Wabup.

Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pasien rumah sakit adalah konsumen. Sehingga secara umum, pasien dilindungi dengan undang-undang, dan berdasar pasal 4 huruf g, UU No. 8/1999, konsumen berhak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

Wabup merasa bahwa pelayanan di Rumah Sakit Sulthan Peureulak tidak maksimal, dikarenakan para petugas medis seperti lupa akan tugas pokok dan fungsinya (tupoksinya) masing-masing. Karena itu, ia mengingatkan kepada kepala kesatuan perawat, baik di Aceh Timur maupun di Banda Aceh, agar tidak latah dalam menerima laporan dari bawah, sebab tidak tahu persis kronologis kejadian yang sebenarnya.

“Begitu juga kepada media, tolong jaga kode etik jurnalistik dan dalam mengekpos berita sesuai dengan UU pers. Benar atau tidak seperti yang diisukan saya lakukan kekerasan fisik, kenapa media langsung menaikkan berita tanpa konfirmasi dulu ke saya. Bukannya harus ada konfirmasi kedua belah pihak?” ujarnya.

“Jika benar seperti yang diberitakan saya lakukan kekerasan fisik. Maka saya mempertanyakan kembali, apakah ada korban yang menjadi kekerasan fisik, kalau ada kenapa tidak divisum dan melapor? Lalu apakah ada saksi, benar atau tidak? Tapi ini tanpa konfirmasi dulu ke saya, berita telah dinaikkan,” tambah Wabup Syahrul. (dan/c49)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved