JURNALISME WARGA

Berwisata ke Kota Santri, Ada Sumur Tak Pernah Kering

SIAPA yang tidak pernah mendengar kata pesan­tren, lembaga pendidikan tra­disional legendaris. Di Aceh

Editor: hasyim
IST
IDA FITRI HANDAYANI, Guru SMA 4 Banda Aceh dan Anggota Warung Penulis, melaporkan dari Sigli, Pidie 

SIAPA yang tidak pernah mendengar kata pesan­tren, lembaga pendidikan tra­disional legendaris. Di Aceh sangat banyak kita temukan pesantren. Di hampir setiap kampung ada lembaga pendi­dikan nonformal ini.

Pesantren dipahami sebagai sebuah instansi pendidikan tradisional yang murid (santri)-nya menetap, tinggal di asrama. Khusus di Aceh, istilah pesan­tren jarang digunakan, karena masyarakat menyebutnya da­yah. Istilah dayah telah menjadi kearifan lokal negeri syariat ini.

Jika dirunut lebih jauh, dayah merupakan peralihan dari istilah zawiyah, seperti sejarah Zawiyah Tanoh Abe di Seulimuem, Aceh Besar. Kini, hanya IAIN Cot Kala Langsa yang setia menabalkan kata zawiyah pada nama pergu­ruan tinggi Islam ini.

Seiring perkembangan za­man, pesantren mulai bermeta­morfosis menjadi pesantren mo­dern. Ada sistem penggabungan antara siswa sekolah dan santri mengaji. Jika ke Aceh dan ingin melihat pesantren, ada baiknya Anda ke Samalanga, sebuah ke­camatan di Kabupaten Bireuen. Kecamatan Samalanga dijuluki Kota Santri.

Santri, sebutan bagi penun­tut ilmu agama. Mereka meng­habiskan seluruh waktu untuk mengaji, mengaji, dan mengaji. Ya, itulah tujuan hidup mere­ka, mengaji dan mengajar. Sejujurnya, Aceh punya isti­lah tersendiri untuk sebutan santri, yaitu aneuk meudagang . Namun, istilah ini tidak lagi sering digunakan oleh masyara­kat Aceh. Beda dengan sebutan kiai atau kiyai yang tak diadopsi oleh masyarakat Aceh, sebab di Aceh ada istilah tersendiri un­tuk itu, yaitu teungku.

Samalanga merupakan sa­lah satu kecamatan di Kabu­paten Bireuen, daerah peng­hasil aneka keuripèt (keripik) yang saat ini dipimpin oleh H Saifannur SSos.

Di Samalanga banyak sekali pesantren, salah satunya Lem­baga Pendidikan Islam Ma'hadal Ulum Diniyyah Islamiyyah Mas­jid Raya atau yang sering dising­kat MUDI Mesra.

Menurut sebuah riwayat, MUDI adalah salah satu pe­santren tertua di Aceh. Pele­takan batu pertama pesantren ini dilakukan oleh Sultan Is­kandar Muda yang berkuasa antara tahun 1607-1636 M.

Pesantren tersebut kini di­pimpin oleh salah seorang ulama karismatik Aceh, yaitu Tgk H Hasanoel Basry bin H Gadeng yang lebih populer de­ngan sapaan Abu MUDI.

Jika Anda mengunjungi Da­yah MUDI Mesra, jangan lupa menziarahi makam Tgk H Ha­nafiah bin Abbas, letaknya di belakang Mesjid Raya Samal­anga. Salah satu hal yang mem­buat nama Teungku Abi (Tgk H Hanafiah bin Abbas) selalu ter­dengar hingga sekarang adalah keberadaan sumur yang didoa­kan oleh Teungku Abi.

Sumur itu menjadi sumber air minum bagi santri-santri yang belajar di dayah MUDI Mesra hingga sekarang. Tak pernah ke­ring, walau kemarau panjang.

Santri Dayah MUDI pun ti­dak harus memasak air atau membeli air minum isi ulang, karena air sumur yang didoa­kan oleh Teungku Abi cukup untuk kebutuhan seluruh san­tri MUDI yang kini mencapai sekitar 7.000 orang.

Dahulunya sumur ini dapat dilihat dengan jelas, tapi se­telah perluasan Masjid Raya Samalanga pada awal 2010, sumur ini sedikit tertutup ka­rena sudah masuk dalam ba­gian masjid. Walau demikian, sumur ini tidak diganggu dan masih difungsikan hingga kini.

Jika beruntung, kita juga bisa bertemu dengan Abu MUDI, sekaligus minta dido­akan, apalagi Anda yang ikut CPNS tahun ini, saingannya berat, mungkin berkat doa ulama menjadi sebab kita ber­hasil. Ya, namanya saja usaha.

Beberapa meter dari Dayah MUDI berdiri megah Dayah Um­mul Ayman, di bawah pimpinan Teungku Nuruzzahry (Waled Nu). Di depannya juga ada Da­yah Muslimat dan banyak lagi. Jika ingin membahasnya tidak cukup waktu sehari, saking ba­nyaknya dayah di kawasan ini. Sangat pantas jika mendapat julukan Kota Santri.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved