JURNALISME WARGA
Community Service, Bentuk Pembelajaran Penting bagi Siswa
SALAH satu keunikan yang dimiliki oleh sekolah Sukma Bangsa Pidie dibandingkan dengan sekolah lainnya--khususnya yang ada di Aceh

MUHAMMAD SYAWAL DJAMIL, Guru Sekolah Sukma Bangsa Pidie dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Pidie Raya, melaporkan dari Sigli
SALAH satu keunikan yang dimiliki oleh sekolah Sukma Bangsa Pidie dibandingkan dengan sekolah lainnya--khususnya yang ada di Aceh dan di Pidie--ialah adanya program community service. Community service merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok dalam bentuk pemberian jasa, pelayanan, dan atau pekerjaan untuk kepentingan masyarakat atau sebuah lembaga. Sederhananya, community service dapat dimaknai sebagai kegiatan pengabdian atau pelayanan kepada masyarakat.
Community service –selanjutnya disingkat CS--dilakukan secara sukarela tanpa mengharap ada imbalan (reward) apa pun dari masyarakat yang juga lazimnya dilakukan dalam durasi waktu yang singkat. Jika dilihat secara detail, CS berbeda dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang dijalani oleh mahasiswa tingkat akhir di suatu perguruan tinggi yang juga menjadi salah satu syarat kelulusannya. Namun, antarkeduanya memiliki persamaan, yakni sama-sama berupa kegiatan sosial dan memberi pelayanan kepada masyarakat.
Melayani
Bahwa mahasiswa yang dilabelkan dengan slogan agent of change harus diberikan tantangan sekaligus menjadi pembelajaran baginya untuk siap terjun menjadi bagian dari masyarakat, yakni melakukan pengabdian. Segala jenis keilmuan yang ia dapatkan di perguruan tinggi akan dapat diaplikasikan oleh seorang mahasiswa ketika ia berada dalam masyarakat di lokasi pengabdiannya. Begitu juga dengan siswa, sejatinya ia juga merupakan agent of change, maka oleh karena demikian layak dan pantas bila pada siswa juga diberikan tantangan serupa, yaitu kegiatan pengabdian.
Dalam kegiatan pengabdian ini, dengan serangkaian aktivitas yang muaranya melayani masyarakat, baik itu dengan cara mengajar anak-anak membaca, menjadi relawan, dan lainnya, siswa dapat belajar dan sekaligus menjadi media pengasah mental mereka untuk siap menjadi insan yang nantinya, di masa akan datang, menjalani profesi tersebut.
Realitas ini jarang disadari oleh pemangku kepentingan yang berkonsentrasi di bidang pendidikan. Lazimnya mereka menganggap bahwa terlalu dini jika para siswa diberikan tantangan berupa kegiatan pengabdian. Padahal, baik siswa maupun mahasiswa, kegiatan pengabdian merupakan sebuah kemestian untuk mereka lakukan. Apalagi mengingat fakta bahwa semua kita adalah bagian dari masyarakat. Lahir, besar atau berkembang hingga menua dalam masyarakat. Sejauh mana pun kita pergi, tetap kembalinya ke masyarakat. Dengan demikian, pengabdian kepada masyarakat merupakan salah satu cara menghormati jasa-jasa masyarakat itu sendiri.
CS sangat selaras dengan ide pembelajaran yang juga menjadi tantangan untuk dijalankan di abad 21 ini. Yakni, pembelajaran yang menuntun para siswa pada terciptanya sikap-sikap yang menjadi etos kerja kerja pribadi seorang muslim yang ciri-cirinya antara lain: 1) memiliki jiwa kepemimpinan (leadership), 2) senantiasa mengintrospeksi diri, 3) menghargai waktu, 4) tidak pernah merasa puas dalam berbuat kebaikan, 5) mengembangkan hidup hemat dan efisien, 6) memiliki jiwa kewirausahaan (entrepreneurship), (7 )memiliki jiwa bersaing secara sehat, 8) keinginan untuk mandiri, 9) haus pada ilmu pengetahuan dan pengalaman, 10) berwawasan makro (universal), 11) memperhatikan kesehatan dan gizi, 12) ulet, pantang menyerah, 13) berorientasi pada produktivitas, dan 14) memperkaya jaringan silaturahmi. (Lihat Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, cet. II, hlm. 29-62)
Nah, di Sekolah Sukma Bangsa Pidie, CS menjadi program unggulan, tapi hanya diperuntukkan bagi siswa yang berada di level Sekolah Menengah Atas (SMA). Tingkat partisipasi seorang siswa dalam kegiatan CS juga menjadi salah satu acuan para guru menilai layak atau tidak seorang siswa tersebut lulus. Singkatnya, CS menjadi salah satu syarat yang mesti mereka penuhi untuk dianggap “layak lulus” dari sekolah.
Menariknya lagi, meskipun mereka masih berada di level SMA, para guru tidak akan terlalu ikut campur atau mengintervensi setiap bentuk kegiatan CS yang hendak dilakukan siswa. Mereka merancang sendiri setiap program untuk kegiatan CS-nya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporan kepada guru (instansi sekolah). Di samping itu, siswa juga menentukan sendiri di daerah mana dan di instansi mana mereka akan menunaikan tugas pengabdiannya.
Strategi semacam ini, diakui atau tidak, berkontribusi pada terciptanya sikap atau etos pada mereka (siswa) sebagaimana tersebut di atas. Di samping itu, kita guru dapat melihat sejauh mana tingkat kreativitas seorang anak sehingga memudahkan pula dalam membimbing dan seterusnya mengarahkan mereka menentukan pilihan untuk digeluti sebagai “masa depannya”.
Baru-baru ini, siswa Sukma Bangsa Pidie menuntaskan program CS dengan lancar di sebuah gampong yang juga disebut masuk dalam wilayah kota santrinya Aceh, yaitu gampong Ulee Gle, Kecamatan Bandar Dua, Kabupaten Pidie Jaya. Di gampong ini siswa Sukma melakukan kegiatan CS selama tujuh hari, yang dimulai dari tanggal 11 Januari dan berakhir pada tanggal 18 Januari 2020, berpusat di sebuah lembaga agama nonformal, yakni Baleu Beut Rumoh Nek Yah.
Menarik juga bila kita membaca kisah Nek Yah–panggilan populer semasa hidupnya--yang di usia tuanya memiliki banyak waktu luang lalu mendedikasikannya untuk sebuah pekerjaan yang mulia, yakni seumeubeut (mengajar mengaji). Bahkan beliau mendirikan satu balai khusus untuk menampung anak para tetangganya untuk diajarkan tata cara membaca huruf Hijaiyah hingga membaca Alquran dengan lancar.
Bentuk pengabdian (baca; seumeubeut) ini beliau lakukan dengan istikamah hingga ajal menjemputnya. Kini rumahnya sudah dijadikan sebagai basecamp bagi anak-anak di gampong Ulee Glee, khususnya yang berlokasi di lingkup Meunasah Baroh–tempat tinggah Nek Yah--untuk belajar membaca dan belajar ilmu agama.
Di Gampong Ulee Gle (tepatnya di Balai Nek Yah) siswa benar-benar belajar bagaimana mereka beradaptasi dengan lingkungan masyarakat dan menerapkan segala bentuk ilmu yang ia dapatkan selama di bangku sekolah.