Jurnalisme Warga
Pesona Jalur Geumpang dan Sejarah Kubu Aneuk Manyak
BERSAMA kolega sesama pegawai akademik dari Sekolah Tinggi Agama Islam Tengku di Rundeng Meulaboh dan Universitas Teuku Umar (UTU)

OLEH BAHAGIA, M. Si., Dosen STAIN Meulaboh, warga Bubon, Aceh Barat, dan Pegiat Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Meulaboh, melaporkan dari Gampong Bangkeh, Pidie
BERSAMA kolega sesama pegawai akademik dari Sekolah Tinggi Agama Islam Tengku di Rundeng Meulaboh dan Universitas Teuku Umar (UTU) Aceh Barat saya melakukan kunjungan Sabtu lalu naik mobil ke Kecamatan Kembang Tanjong, Kabupaten Pidie, dalam rangka menghadiri peringatan maulid Nabi Muhammad saw atau dalam bahasa Aceh disebut kawuri molod (maulod). Momentum ini di Aceh juga disebut memperingati kelahiran Pang Ulee Alam (Penghulu Alam).
Dalam kalender Aceh, molod itu tiga bulan lamanya, yaitu pada bulan Rabiul Awal atau disebut juga Molod Awal yang dimulai dari tanggal 12 Rabiul Awal hingga akhir Rabiul Awal yang dilaksanakan di gampong-gampong seluruh Aceh.
Kami pun menuju Kembang Tanjong untuk menghadiri maulid pada hari Minggu, 26 Januari 2020. Dalam penjalanan saya beserta rombongan yang berjumlah tujuh orang dalam satu mobil menempuh jalur Meulaboh-Pidie. Pilihan ini kami lakukan karena jarak tempuhnya yang lebih dekat daripada melalui jalur Calang-Banda Aceh dan Aceh Besar, karena harus melewati beberapa kabupaten di Aceh sebelum sampai ke Kabupaten Pidie.
Saat menuju Kecamatan Kembang Tanjong kami harus melewati jalan yang masih banyak berlubang, di mana sebagian jalan berlubang itu berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Aceh Barat, khususnya Kecamatan Sungai Mas, Tutut, Kabupaten Aceh Barat. Cuma, kondisi jalan yang demikian tidak terlalu kami keluhkan atau menyita perhatian kami, karena di dalam perjalanan--di sisi kanan dan kiri jalan--terlihat pegunungan asri yang sangat indah. Kami pun menikmati alam pegunungan dan hutan di kawasan Tutut-Geumpang yang memang alami dan memesona.
Setelah dua jam lebih perjalanan, kami pun singgah sejenak untuk mengisi perut yang mulai keroncongan. Tempat yang kami singgahi adalah kawasan Kubu Aneuk Manyak yang merupakan perbatasan antara Kabupaten Pidie dan Aceh Barat. Namun, mayoritas warga di sini ber-KTP Pidie.
Di lokasi singgahan ini kami mendengar cerita pemilik warung dan warga di sekitar Kubu Aneuk Manyak tentang sejarah kubu atau kubur tersebut. Alkisah, ada dua mayat laki-laki: satu orang dewasa, satu lagi anak-anak yang masih berumur empat tahun. Konon, kedua orang tersebut adalah korban pembunuhan yang dilakukan orang yang merampoknya. Kejadian itu berlangsung 1935, tahun yang sudah sangat tua dan bisa dikatakan tahun itu Kolonial Belanda masih berada di Aceh.
Lokasi Kubu Aneuk Manyak ini berjarak 32 kilometer dalam wilayah atau administrasi Kecamatan Sungai Mas, berbatasan dengan Geumpang, Kabupaten Pidie, tepatnya di Gampong Bangkeh. Ruas jalan ini, saya lihat, sudah sangat wajar untuk segera diperbaiki sebagai jalur utama yang sangat penting bagi wilayah barat-selatan Aceh (Barsela) dengan pesisir utara dan timur Aceh dalam melakukan hubungan ekonomi, pendidikan, dan sebagainya.
Dalam kisah singkat yang dituturkan warga di lokasi Kubu Aneuk Manyak kepada kami bahwa salah satu kuburan itu adalah kuburan Teungku Murhaban yang berasal dari Meulaboh, Aceh Barat. Sekitar tahun 1932 beliau menikahi seorang dara Pidie bernama Maisarah, asal Geumpang Keumala. Dari hasil perkawinannya, pasangan ini dikaruniai seorang bayi laki-laki. Saat anak ini berumur empat tahun, ibunya, Maisarah, meninggal dunia karena sakit.
Lalu, pada pertengahan tahun 1935 Teungku Murhaban memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Meulaboh. Sebelum pulang, ia terlebih dahulu menjual semua hartanya yang ada di Pidie. Kabar kepulangannya ke Meulaboh dia beri tahukan kepada seluruh kerabatnya. Tanpa menaruh curiga Teungku Marhaban menceritakan hari dan tanggal pulang ke Meulaboh. Dalam perjalanan pulang itu mereka bertiga (Teungku Marhaban, anaknya, dan satu lagi sahabatnya). Namun, di pertengahan jalan sahabat itu tak kuat lagi melanjutkan perjalanan karena sakit, lalu berbalik arah, sehingga hanya Teungku Marhaban bersama putranya yang melanjutkan perjalanan menuju Meulaboh.
Namun, sebelum sampai ke pedesaan di Kecamatan Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat, Teungku Marhaban dan anaknya meninggal dalam keadaan sangat mengenaskan. Berita kematiannya didapatkan warga sekitar dari serdadu Belanda yang kebetulan melewati Meulaboh-Pidie, sehingga masyarakat pun menguburkan dua mayat tersebut di Gampong Bangkeh yang saat itu dipimpin oleh Keuchik M Daud.
Nah, masyarakat pun akhirnya mengabadikan kisah pemakaman korban pembunuhan itu sebagai nama Dusun Kubu Aneuk Manyak yang bermakna “kubur anak kecil”, di Gampong Tungkop, Kecamatan Sungai Mas, Aceh Barat.
Di Kubu Aneuk Manyak ini sudah dibangun musala yang diberi nama Muhajirin. Saya melihat banyak pelintas yang melakukan perjalanan memberikan sumbangan dan menunaikan shalat wajib maupun sunat di sekitar Kubu Aneuk Manyak.
Perjalanan Sabtu lalu itu sungguh sangat berarti bagi saya sebagai warga Aceh Barat, Kecamatan Bubon, di mana Aceh bukan hanya dikenal dengan daerah syariat Islamnya, tapi juga menyimpang seribu sejarah masa lalu yang pantas diketahui oleh generasi yang akan datang. Bagi masyarakat Aceh jika melakukan perjalanan Meulaboh-Pidie sangatlah rugi jika tidak singgah di Kubu Aneuk Manyak atau tidak khidmat menikmati panorama alam pegunungan dan ruas jalan yang mengubungan Meulaboh-Pidie.
Berhubungan waktu semakin gelap kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan meninggakan Kubu Aneuk Manyak untuk menghadiri maulid di Kembang Tanjong, Pidie. Masih terlihat beberapa ruas jalan yang sangat rusak maupun yang rusak ringan. Lubang di jalanan juga banyak. Jadi, saya sangat mengharapkan Pemerintah Aceh untuk segera memperbaiki jalan yang sudah sangat rusak itu. Tidak layak lagi rasanya berkendara di jalan separah itu karena memang sukar melintasinya.