Berita Aceh Jaya
Illegal Minning Kian Marak, Pemerintah Diminta Bersikap, Merambah ke Hutan Lindung Ulu Masen
Perlu untuk segera disikapi, tidak terkecuali hingga pemerintah di tingkat provinisi beserta dinas yang membidangi kewenangan tersebut.
Penulis: Sadul Bahri | Editor: Yusmadi
Laporan Sa’dul Bahri | Aceh Barat
SERAMBINEWS.COM, MEULABOH - Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat meminta pihak terkait, baik pemerintah daerah atau pihak yang berwenang untuk mengambil sikap tentang maraknya aktivitas illegal minning dan aktifitas galian C yang berada dekat dengan area jembatan kawasan Sungai Mas, Aceh Barat.
Perlu untuk segera disikapi, tidak terkecuali hingga pemerintah di tingkat provinisi beserta dinas yang membidangi kewenangan tersebut.
Sehingga ada kebijakan hukum berkeadilan disertai penegakan hukum sebagaimana aturan yang berlaku.
“Aktifitas galian C yang lokasinya tidak jauh berada dengan jembatan rangka baja Tutut, Kecamatan Sungai, Kabupaten Aceh Barat yang juga merupakan jembatan penghubung menuju Geumpang, Kabupaten Pidie-Kabupaten Aceh Barat. Dalam laporan dan observasi lapangan, ditemukan bahwa adanya aktifitas selain Galian C yang jarak dengan jembatan kurang lebih sekitar 1-2 KM. Aktifitas yang dimaksud adalah adalah aktifitas pertambangan emas yang menurut kami duga adalah jelas illegal,” ungkap Edy Syah Putra, Koordinator GeRAK Aceh Barat kepada Serambi, Senin (10/2/2020).
Disebutkan, dari laporan yang dia terima bahwa, aktifitas galian C tersebut terlihat disisi kiri jembatan daerah aliran Sungai Mas.
Sedangkan aktivitas yang diduga galian emas yang menggunakan alat berat beko, berada disisi kiri-kanan Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Mas.
Parahnya lagi kata Edy Syah Putra, dari hasil laporan dan pemantauan lapangan, bahkan ditemukan di sepanjang DAS Sungai Mas tersebut terlihat lebih dari 6 unit alat berat baiko yang melakukan aktifitas pengambilan material di dalam sungai dan kemudian material tersebut dituangkan ke dalam asbuk yang juga berada didalam DAS Sunga Mas, Kabupaten Aceh Barat.
Terkait hal tersebut, GeRAK Aceh Barat mendorong agar adanya langkah-langkah yang komprehensif akan penyelamatan lingkungan, sebagaimana aturan yang berlaku di republik ini.
Berupa Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2011 Tentang Sungai pada Pasal 21 ayat (1) Perlindungan palung sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a dilakukan dengan menjaga dimensi palung sungai, dan pada ayat (3) Pengambilan komoditas tambang di sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan pada sungai yang mengalami kenaikan dasar sungai.
“Kita ingin menekankan bahwa aktifitas galian C yang diduga adanya aktifitas emas yang telah dilakukan tersebut perlu dipantau lebih jelas oleh pengambil kebijakan. Dimana pengambilannya perlu diatur secara lebih rinci yang bertujuan jangan sampai merusak palung sungai, karena akan melahirkan dampak negatif terhadap aktifitas tambang yang berada dalam sungai,” sebut Edy Syah Putra.
Ia menambahkan, dampak yang timbul tentunya pengaruh negatifnya yang sangat luas serta merugikan, dengan itu perizinan tentang pengambilan komoditas tambang di sungai perlu diatur secara cermat, dan dipantau secara menerus.
Salah satu dampak negatifnya adalah banjir bandang yang membawa berbagai material longsoran ke permukiman penduduk dan menyebabkan kerugian harta benda yang tidak ternilai jumlahnya, hal ini perlu diwaspai oleh masyarakat di area tersebut, mengingat lokasinya berada dekat dengan permukiman penduduk.
Lebih Lanjut sebut Edy, disisi aturan, hal ini patut menjadi pertanyaan?
Apakah memang dibolehkan adanya aktifitas galian C yang berada dekat dengan lokasi jembatan dan kalau pun ada berapa jarak sebenarnya aktifitas galian C dengan jembatan.
Ini perlu diluruskan dan dipertegas oleh pengambil kebijakan serta pihak penegak hukum, begitu juga dengan adanya dugaan aktifitas illegal minning (emas) yang juga berada dalam area DAS, karena aktifitasnya menggunakan beko untuk mengeruk material dalam sungai dan kemudian dipisahkan dengan menggunakan cruser atau penjaring material.
Dijelaskannya, bahwa jika dilihat Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 523 k/201/mpe/1992 tentang pedoman teknis penyusunan penyajian informasi lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan untuk usaha pertambangan bahan galian golongan C.
Dalam penjelasannya disebutkan, bahwa Kegiatan lain (jenis, lakasi dan jaraknya) yang berada sekurang-kurangnya 5 km ke arah hulu dan 5 km ke arah hilir, serta 500 meter dari garis sempadan sungai atau garis batas luar pengaman yang ditetapkan dalam mendirikan bangunan.
Pada penjelasan berikutnya disebutkan bahwa prasarana bangunan air dan bangunan umum yang ada di sungai (jenis dan lakasi), yang berada sekurang-kurangnya 5 km ke arah hulu dan 5 km ke arah hilir dan diperkirakan akan terpengaruh oleh kegiatan pertambangan tersebut.
Kita mengingatkan. Bahwa ekosistem sungai dapat berubah menuju ke kondisi lebih buruk oleh aktivitas manusia misalnya tidak tersedia aliran pemeliharaan sungai serta terjadi pengambilan bahan komoditas tambang yang tak terkendali.
• Rektor Unsyiah Resmikan Gedung Fakultas Keperawatan
• Perombakan Kabinet Aceh Tamiang Menyentuh 156 Jabatan
• 20 AMP belum Lunasi Pajak Galian C Selama Tiga Tahun, Ini Penjelasan Kabid Pendapatan BPKD Agara
Secara hukum, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pelakunya bisa terjerat hukum. Dalam aturan tersebut di pasal 109, disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun. Tentu ini menjadi pertanyaan. Apakah izin Galian C dan Illegal Minning tersebut telah diberikan izin atau tidak?
Selain ancaman penjara. Ada denda paling sedikit Rp 1 miliar dan paling banyak Rp 3 miliar.
“Untuk itu, kita meminta Inspektur Tambang dan Dinas ESDM Provinsi untuk turun ke lokasi dan melakukan penindakkan. Sebab, aktifitas kegiatan tersebut memiliki dampak negatif yang sangat luas, terutama di permukiman penduduk, bisa menimbulkan bencana alam dan tentunya yang menjadi korban adalah masyarakat sekitar area penambangan tersebut dan tentu tidak terkecuali kepada penegak hukum,” ungkapnya.
Berlangsung di Hutan Lindung Ulu Masen
Koordinator GeRAK Aceh Barat Edy Syah Putra kepada Serambi, Senin (10/2/2020) mengatakan, dari laporan lain dan juga hasil observasi lapangan, menyangkut dengan aktifitas illegal minning berlangsung di area hutan lindung Ulue Masen.
Dimana diketahui bahwa Ulu Masen adalah kawasan hutan luas yang mencakup sebuah Taman Nasional dan konservasi alam pada bagian utara Wilayah Aceh, Wilayah Ulu Masen terdiri dari hutan daratan rendah dan hutan daratan tinggi, hal ini menjadi keunikan tersendiri bagi kawasan ini.
“Dari laporan yang kita terima dan observasi dilapangan. Terlihat adanya bukaan hutan yang tidak terkontrol akibat penambangan ilegal tersebut. Ada kerugian yang ditimbulkan akibat penambangan yang kami duga tidak memiliki izin, baik kerusakan hutan, juga pemasukan kepada pendapatan Negara,” ungkap Edy Syah Putra.
Terkait hal tersebut, pihaknya menduga bahwa kerusakan hutan lindung di Ulu Masen sudah parah dan bila tidak kebijakan dan tindakan yang tepat dengan segera. Bukan tidak mungkin tutupan hutan tersebut semakin sangat terbuka akibat dijamah oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Konidisinya sudah semakin parah, bahkan seperti kelihatan aliran air kolam atau kubangan besar ditengah hutan tersebut. itu hasil observasi di lapangan, dan berada dekat dengan perbatan Kabupaten Aceh Barat,” jelasnya.
Ia menambahkan, bahwa menurutnya ada berbagai kerugian yang timbul akibat aktifitas illegal minning tersebut, seperti ada hak dan kewajiban pelaku usaha tambang yang tidak disetorkan oleh pelaku usaha penambangan.
Dimana hal ini dipertegas dalam UU NO. 4 TAHUN 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.
Dan atas aktifitas illegal minning yang berlansung di dalam kawasan hutan lindung Ulu Masen, pelaku usaha dengan bebas tidak menyetorkan hak dan kewajibannya, belum lagi akan pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan yang telah ditimbulkan. (*)