Berita Subulussalam

Kisah Kakek Penyandang Tuna Netra di Subulussalam, Putra Rasmito: Bapak yang Minta Bekerja

Meski dalam kondisi keterbatasan fisik, kakek Rasmito tetap bekerja keras mengangkut Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit.

Penulis: Khalidin | Editor: Taufik Hidayat
Serambinews.com
RASMITO, kakek berusia 61 tahun yang tinggal di Desa Cipare-Pare Timur, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam ini salah satu penyandang tuna netra sejak kecil. 

Laporan Khalidin | Subulussalam

SERAMBINEWS.COM, SUBULUSSALAM - Rasmito, kakek berusia 61 tahun yang tinggal di Desa Cipare-Pare Timur, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam ini salah satu penyandang tuna netra sejak kecil.

Namun, meski dalam kondisi keterbatasan fisik, kakek Rasmito tetap bekerja keras seperti pantauan Serambinews.com Minggu (9/2/2020) Rasmito ternyata bekerja layaknya orang sehat yakni mengangkut Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit di pundaknya.

Hermanto, anak ketiga kakek Rasmito mengaku jika orangtuanya memang pekerja keras sejak dari dulu. Mereka bukan membiarkan ayahnya bekerja namun hal itu memang sudah menjadi karakter sang kakek ini.

Di sisi lain Hermanto selaku anak juga mengaku malu melihat orangtuanya meminta-minta karena mereka masih mampu membiayai.

“Kalau bekerja ini memang dia yang minta. Kalau pun  tidak bekerja sebenarnya kami bisa membantu. Cuma kalau nanti tidak kami kasih kerja malah bapak ini ngomong kenapa tidak diikutkan ngangkut sawit,” ujar Hermanto.

Hermanto mengaku sebenarnya mereka melarang orangtuanya ini bekerja keras karena setelah dia dan kakak-kakaknya dewasa sudah mampu membantu meringankan biaya hidup ayah dan ibunya.

Tapi, kata Hermanto sang ayah tetap keukeuh untuk bekerja dan selalu ikut membantu mengangkut TBS yang dipanen sang anak.

TBS kelapa sawit ini didodos atau panen setiap dua pekan dan Rasmito selalu minta diikutkan memikulnya ke halaman rumah untuk dijual ke pengepul atau agen.

Pada dasarnya, Hermanto bersama dua kakaknya tak tega melihat ayahnya bekerja keras di usia yang sudah senja. Hermanto juga tak mau ayahnya meminta-minta karena mereka sebagai anak siap membantu atau membagi rezeki.

”Kalau kami ada uang sedikit ya kami bagi ke bapak dan mama. Tapi itu tadi bapak selalu minta ikut bekerja, maka dialah yang memikul. Kalau saya ajak orang lain nanti dia ngomong kenapa dia tidak ikut,” ungkap Hermanto.

Rasmito mengaku sudah bermukim di Cipare-Pare Timur, Kecamatan Sultan Daulat Kota Subulussalam sejak puluhan tahun lalu.

Kerasnya hidup di Jawa, membuat pria beranak tiga ini mengadu nasib ke Aceh. Sebab, menurut Rasmito, saat di masih di Jawa dia hanya mampu bekerja sebagai penjual kayu bakar.

Setiap hari, Rasmito memikul dia gandeng kayu bakar yang dihargai Rp 1.000. Sebuah upah yang tidak sebanding dengan jerih payah. Padahal, kata Rasmito, upah seadanya itu akan dia gunakan untuk menafkahi istri dan tiga anaknya.

 Tahun 1994, Rasmito pun mengadu nasib ke Aceh dengan berbekal dorongan putra pertamanya. Di Desa Cipare-Pare yang dulunya permukiman transmigrasi, Rasmito mendapat sebidang tanah untuk diusahai.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved