Hukuman Cambuk
Arab Saudi Hapus Hukuman Cambuk, Bagaimana dengan Aceh? Begini Komentar MPU Aceh
MPU Aceh ikut merespons terkait kebijakan Kerajaan Arab Saudi yang menghapus hukuman cambuk dari sistem pengadilan mereka.
Penulis: Subur Dani | Editor: Taufik Hidayat
Laporan Subur Dani | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh ikut merespons terkait kebijakan Kerajaan Arab Saudi yang menghapus hukuman cambuk dari sistem pengadilan mereka.
Wakil Ketua MPU Aceh, Tgk H Faisal Ali mengatakan, kebijakan tersebut harus dipahami dengan bijak dan tak perlu dikait-kaitkan dengan peraturan hukuman cambuk yang ada di Aceh sesuai dengan Qanun Syariat Islam.
Menurut Lem Faisal --panggilan akrab Tgk H Faisal Ali-- hukuman cambuk yang ada di Aceh dengan hukuman cambuk yang selama ini diberlakukan di Arab Saudi jauh berbeda.
"Kultur kita berbeda, ketika kultur berbeda, maka cambuk di Arab Saudi dengan kita juga berbeda. Di Saudi kalau orang berzina misalnya, itu dicambuk cukup banyak sesuai dengan aturan di sana, bahkan mungkin sampai mati, kita kan tidak," kata Lem Faisal menjawab Serambi kemarin.
Lem Faisal mengatakan, hukuman cambuk yang berlaku di Arab Saudi, acuannya kepada had, yakni segala ketentuan, batasan, bahkan mekanisme penerapan hukumannya telah dibicarakan dalam nash, ada dalam Alquran dan Hadits.
“Makanya cambuk di sana itu keras sekali, jumlahnya banyak, bahkan ada yang sampai meninggal,” kata Lem Faisal. Mungkin, kata Lem, peraturan tersebut selama ini mendapat protes kuat dari sejumlah pihak yang tidak setuju dengan aturan cambuk di sana, dengan satu alasan; kemanusiaan.
Sementara cambuk di Aceh jelas Lem Faisal, acuannya adalah ta’zir, yakni ketentuan yang ditetapkan oleh sebuah negara, namun tetap berpedoman pada aturan hukum sebenarnya. “Kita di sini, jumlah cambuknya saja tidak seperti di Arab Saudi, sedikit jumlahnya.
Begitu juga dengan algojonya, tidak seperti algojo di sana, kalau di sana itu sampai sobek, kalau kita di sini tangan algojo lurus begitu saja. Itu namanya ta’zir, artinya negara diberi ruang untuk menentukan itu,” kata Lem Faisal.
Oleh karena itu, jelas Lem Faisal, tidak sepatutnya nanti hukuman cambuk di Aceh dikait-kaitkan dengan hukuman cambuk di Arab Saudi yang telah dihentikan. “Kalau kita di sini misalnya ikhtilat, itu bentuknya ta’zir. Itu memang keputusan pemerintah, beda kalau di sana. Kalau mencuri itu sampai potong tangan,” kata Lem Faisal.
Lebih detail, jelas Lem Faisal, hukuman cambuk di Aceh adalah ijtihad ulama bersama umara yang ada di Aceh. Tujuannya, kata Lem, untuk memberi rasa jera kepada masyarakat agar tidak mengulangi perbuatan atau jarimah yang sama.
Jika memang Arab Saudi memberhentikan aturan hukuman cambuk, lanjut Lem Faisal, itu sah-sah saja.
Namun di Aceh, rasanya aturan itu tidak begitu mendapat pertentangan dari banyak kalangan. Kalau pun ada, bisa dijelaskan dengan cukup detail, bahwa cambuk di Aceh hanya proses pembelajaran seseorang yang telah berbuat salah.
“Bahkan kalau kita lihat selama ini, di Aceh jika ada warga non muslim yang berbuat jarimah, mereka lebih memilih hukuman cambuk ketimbang harus dipidana. Ini salah satu bukti bahwa hukuman cambuk di Aceh tidak ada pertentangan,” pungkas Lem Faisal.(*)
• Kerajaan Arab Saudi Hapus Hukuman Cambuk, Ganti dengan Hukuman Penjara dan Denda
• Begini Tata Cara Shalat Tarawih Beserta Keutamaannya, Bisa Dilakukan Sendiri atau Berjamaah
• Komunitas Rohingya Minta Maaf Kepada Rakyat Malaysia, Tidak Setuju dengan Zafar
• Wanita Korban Corona di Ekuador Tiba-tiba Bangun setelah Dinyatakan Meninggal Terinfeksi Covid-19
• VIDEO - Lemang Wak Saleh Yang Melegenda di Kota Lhokseumawe, Ini DIa Dapur Produksinya