Kupi Beungoh
Wakaf Saudagar Aceh Sayid Husein Aidid di Pulau Pinang untuk Pendidikan Dunia Melayu
Beliau merupakan tokoh masyarakat Aceh yang berhijrah ke Pulau Pinang pada akhir abad ke-18 M untuk menyiarkan Islam dan menjadi pengusaha yang sukses
Beliau merupakan tokoh masyarakat Aceh yang berhijrah ke Pulau Pinang pada akhir abad ke-18 M untuk menyiarkan Islam dan menjadi pengusaha yang sukses di sana.
Penulis: Sayed Murthada Al-Idrus MSc, Ketua Asyraf Aceh
KEDERMAWANAN tokoh Aceh tidak hanya melalui Habib bin Buga’ Al-Asyi yang telah mewakafkan sebidang tanah di Kota Mekkah untuk masyarakat Aceh.
Walaupun sampai saat ini belum diketahui tentang sejarah dan biografi dari Habib bin Buga’ Al-Asyi tersebut, tetap nilai wakaf tersebut menjadi investasi akhirat untuk Habib bin Buga’ Al-Asyi.
Salah satu tokoh Aceh lain yang juga mewakafkan hartanya untuk dunia pendidikan di Malaysia khususnya di Pulau Pinang adalah Tuanku Sayid Syarif Husein bin Abdurrahman Aidid.
Beliau merupakan tokoh masyarakat Aceh yang berhijrah ke Pulau Pinang pada akhir abad ke-18 M untuk menyiarkan Islam dan menjadi pengusaha yang sukses di sana.
Tuanku Sayid Syarif Husein bin Abdurrahman Aidid sebagai seorang saudagar kaya Aceh di Pulau Pinang dan bahkan dalam beberapa literatur sejarah lainnya disebutkan bahwa beliau orang terkaya di Pulau Pinang pada saat itu.
• Beringas di Ring Tinju, Ternyata Mike Tyson Takut Istri & tak Segan Bunuh Diri Jika tak Punya Istri

Bahkan Kerajaan Inggris pernah diberikan pinjaman sebesar $50.000 spanish dollar, ketika mereka mengalami krisis keuangan di Pulau Pinang.
Sebuah bentuk pinjaman yang lumayan besar untuk nilai uang pada saat itu, sehingga tidak salah apabila orang Inggris menyebut beliau sebagai Price of Merchant.
Beliau juga dikenal sebagai saudagar yang pertama sekali memiliki bangunan empat lantai di Lebuh Aceh dan merupakan bangun tertinggi yang ada di Pulau Pinang pada saat itu atau yang dikenal dengan sebutan Gedung Aceh.
Beliau dilahirkan di Aceh yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Kesultanan Aceh dari Dinasti Ba’alawi dan Dinasti Meukuta Alam.
• Viral Warga Tangkap Pencuri Pria Pakai Daster dan Jilbab, Pelaku Sempat Kepergok Korban
• 3 Remaja Ditangkap Balapan Liar di Ulee Lheue, dari Mengaku Ibu Sedang Hamil Tua Hingga Hilang Baju

Secara genealogy, sebelah ayahnya merupakan keturunan Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir Al-Husaini yang merupakan keturunan ahlul bait yang berhijrah dari Basrah ke Hadramaut pada tahun 317 H, sedangkan sebelah ibunya masih memiliki darah dari Dinasti Meukuta Alam.
Ayahnya bernama Sayid Syarif Abdurrahman bin Hamid Aidid, sedangkan ibunya Syarifah Khalisah binti Sultan Jamalul Alam Badrul Munir.
Salah satu sumbangan terbesar Tuanku Sayid Syarif Husein bin Abdurrahman Aidid adalah mewakafkan sebagian besar harta bendanya untuk pendidikan anak-anak melayu di Pulau Pinang yang dikenal kemudian dengan nama Tuanku Syed Husein’s Home untuk asrama bagi pelajar Melayu dan juga memberikan beasiswa yang dikenal dengan Tuanku Syed Husein’s Scholarship.
Beasiswa tersebut diberikan kepada orang Melayu yang ingin melanjutkan pendidikan ke Penang Free School.
Dimana Penang Free School merupakan sekolah tertua dan terbaik di Pulau Pinang yang didirikan pada tahun 1816 M.
Diberi nama tersebut dikarenakan sekolah ini menerima siswa dari berbagai ras dan suku yang terdapat di Pulau Pinang.
Di antara alumni dari sekolah tersebut adalah P Ramlee, yang merupakan aktor Melayu berdarah Aceh.
Pada masa itu pendidikan secara formal sangat mahal, sehingga hanya anak-anak dari kalangan bangsawan atau orang kaya yang dapat menghantarkan putra-putrinya ke sekolah tersebut, sedangkan bagi golongan masyarakat yang kurang mampu yang memiliki kemampuan akademik yang bagus tidak dapat menghantarkan putra-putrinya ke sekolah tersebut.
Melihat kondisi ini, pada tahun 1883 M melalui Kejaksaan Tinggi di Pulau Pinang Syarifah Zuhara Aidid--anak dari Tuanku Sayid Syarif Husein bin Abdurrahman Aidid-- mewakafkan harta ayahnya untuk dunia pendidikan anak-anak Melayu.
Harta wakaf Tuanku Sayid Syarif Husein bin Abdurrahman Aidid juga digunakan untuk orang yang tidak mampu dan membutuhkan dana untuk pengobatan melalui Yayasan The Penang Anti-Mendicity Society.
Selain memberikan bantuan beasiswa, dana sumbangan Tuanku Sayid Syarif Husein bin Abdurrahman Aidid juga digunakan untuk pembangunan asrama bagi siswa Melayu.
Tujuannya untuk mempermudah mereka dalam menjalani pendidikan, dimana asrama Melayu tersebut sekarang terletak di Kawasan Ayer Itam, Pulau Pinang.
Berdasarkan data keputusan Pengadilan Tinggi Pulau Pinang pada tahun 1883, penggunaan dana untuk beasiswa dan asrama digunakan untuk kebutuhan beasiswa, gaji security asrama, gaji tukang masak, kebutuhan asrama, dan seragam siswa.
Dimana beasiswa dan asrama bagi orang Melayu masih wujud sampai sekarang di Pulau Pinang serta telah menghasilkan banyak lulusan yang menjadi tokoh dan ilmuwan di Malaysia.
Pada tahap awal untuk pembangunan asrama, kebutuhan dana untuk beasiswa dan lainnya, mencapai $7.337,22 (Spanish Dollar), dimana satu Spanish Dollar mendekati nilai $ 100 (US Dollar) pada saat ini, sehingga besar dana yang dikeluarkan untuk pembangunan asrama tahap awal untuk pemberian beasiswa dan lainnya sebesar 100 x 7.337,22 = $ 700.337,22 (US Dollar) atau senilai lebih kurang Rp 11 miliar (dengan nilai $1 = Rp.16.000).
Dan setiap tahun untuk perawatan asrama, gaji, makan, dan beasiswa dikeluarkan dana sebesar $ 2.030 (Spanish Dollar) atau senilai Rp 3,2 milyar setiap tahun.
Asrama Melayu dan beasiswa yang diberikan masih wujud sampai kini berdasarkan keterangan dari ahli keluarga Tuanku Sayid Syarif Husein bin Abdurrahman Aidid.
Pada saat ini pengelolaan terhadap wakaf di bawah Majelis Agama Islam Pulau Pinang.
Menurut oral history, pada masa hidup Tuanku Sayid Syarif Husein bin Abdurrahman Aidid banyak memberikan perhatian terhadap perkembangan pendidikan kaum muslimin dengan mendirikan beberapa madrasah dan mendatang guru-guru agama dari Aceh maupun Hadramaut ke Pulau Pinang.
Sehingga tidak mengherankan apabila migrasi penduduk Aceh ke Pulau Pinang meningkat, dimana pada tahun 1794 M hanya 347 jiwa, meningkat menjadi 1.347 jiwa pada pertengah abad ke-19 M (1850 M). Begitu pula dengan migrasinya tokoh-tokoh Hadramaut ke Pulau Pinang, dimana hal ini dapat kita lihat dari kewujudan berbagai golongan yang berasal dari Hadramaut di Pulau Pinang khususnya golongan Ba’alawi.
Salah satu tradisi keluarga Ba’alawi adalah membina mesjid dimana mereka menetap. Hal ini dapat dilihat dari puluhan masjid yang terdapat di Kota Tarim yang merupakan kota asal keluarga Ba’alawi.
Di antaranya Mesjid Ba’alawi, Mesjid Al-Aydrus, Mesjid Aidid dan lain-lainnya.
Tuanku Sayid Syarif Husein bin Abdurrahman Aidid merupakan salah satu keturunan Ba’alawi yang mengikuti jejak pendahulunya dengan mendirikan Mesjid Melayu Lebuh Aceh di Pulau Pinang pada tahun 1808 M.
Mesjid ini didirikan di atas tanah wakaf dari Tuanku Sayid Syarif Husein bin Abdurrahman Aidid dengan luas 66.396 ft2.
Secara arsitektur, Mesjid Lebuh Aceh merupakan gabungan gaya India (Dinasti Moghul) dan Cina.
Mesjid ini juga dilengkapi dengan kolam wudhu’ dengan gaya khas Aceh, menara persegi delapan, mihrab, dan mimbar.
Di samping masjid terdapat makam dengan tipologi nisan khas Aceh atau disebut dengan Batu Aceh.
Hasil pengamatan penulis, terdapat beberapa batu Aceh dan batu khas Melayu yang berasal dari pada abad ke-19 M.
Mesjid Lebuh Aceh pernah dijadikan sebagai tempat persinggahan masyarakat Aceh yang akan melakukan ibadah haji melalui Pulau Pinang atau pada saat itu dikenal sebagai Second Jeddah.
Bahkan bukan hanya masyarakat Aceh tetapi seluruh jamaah yang berasal Malaysia, Thailand, Brunei, dan beberapa wilayah lainnya di Sumatera.
Interaksi antara masyarakat Aceh dan berbagai bangsa lainnya di Pulau Pinang tidak terlepas dari sosok kepemimpinan Tuanku Sayid Syarif Husein sebagai leader (Kaptain Melayu) yang telah berhasil membangun sebuah komunikasi baik dan membawa bandar Pulau Pinang menjadi pusat perdagangan internasional pada saat itu.
Mesjid Lebuh Aceh juga pernah dijadikan sebagai tempat rapat para dewan delapan dalam menyikapi Perang Belanda di Aceh pada tahun 1873 M.
Banyak bantuan yang dikirimkan kepada pejuang Aceh melalui para tokoh yang tinggal di Kawasan Mesjid Leubuh Aceh terutama daripada keluarga keturunan Tuanku Sayid Syarif Husein Aidid, termasuk senjata dan amunisi.
Selain keturunan Tuanku Sayid Syarif Husein bin Abdurrahman Aidid, bantuan kepada pejuang Aceh juga datang dari saudagar kaya dari keluarga Ba’alawi yakni dari Habib Abdullah bin Husein Alaydrus.
Beliau banyak mengirimkan akomodasi dan peralatan perang kepada pejuang Aceh dengan cara diselundupkan dari Singapura dan Pulau Pinang.
Wakaf harta dari Tuanku Sayid Syarif Husein bin Abdurrahman Aidid dalam dunia pendidikan anak-anak Melayu sangat dirasakan manfaatnya.
Beliau juga pioneer dalam mendirikan madrasah-madrasah di sekitar Mesjid Lebuh Aceh bagi para pelajar muslim yang dapat dijadikan contoh teladan bagi generasi muda.
Tidak hanya dalam dunia pendidikan, beliau juga memberikan perhatian terhadap orang-orang yang tidak mampu dan membutuhkan uluran tangan di Pulau Pinang.
Makam Tuanku Sayid Syarif Husein bin Abdurrahman Aidid terletak d isebelah Mesjid Melayu Lebuh Aceh, dimana batu nisan beliau terbuat dari batu granite dengan ukiran gaya khas Aceh.
Di mana pada zaman tersebut di Lebuh Aceh banyak terdapat tukang pahat batu nisan Aceh dengan bahan granite.
Tuanku Sayid Syarif Husein bin Abdurrahman Aidid kembali ke rahmatullah pada tahun 1823 M.
Selain makam beliau, terdapat juga beberapa makam anak cucu dan ahli keluarganya yang pada umumnya masih menggunakan batu Aceh.
Keberadaan makam dengan batu Aceh menunjukan identitas Tuanku Sayid Syarif Husein bin Abdurrahman Aidid sebagai salah satu bagian bangsa Aceh yang telah banyak memberikan peranan dan sumbangan terhadap kemajuan peradaban di Pulau Pinang. (*)