Kisah Hidup "GAM Denmark" Tarmizi Age, Menyambung Hidup Berjualan Telur dan Beras di Tangerang
Inilah kisah hidup Tarmizi Age, populer dipanggil "GAM Denmark." Ia memang pernah bertahun-tahun tinggal di Denmark, dan berkeliling ke berbagai....
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Jalimin
Laporan Fikar W Eda | Jakarta
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Inilah kisah hidup Tarmizi Age, populer dipanggil "GAM Denmark." Ia memang pernah bertahun-tahun tinggal di Denmark, dan berkeliling ke berbagai negara, berkampanye untuk Aceh. Ia dulu Ketua Lembaga Komite Monitoring Perdamaian dan Demokrasi Perwakilan Eropa.
Tarmizi Age yang juga punya nama panggilan Al Mukkaram, kini menyambung hidup dengan berjualan telur dan beras di Kota Tangerang, Banten.
Saat di Denmark, Tarmizi pernah menghadiri pertemuan menyangkut penyelesaian konflik Aceh, di Copenhagen, difasilitasi Pemerintah Denmark, yang juga ikut dihadiri Mediator Konflik Aceh Martti Ahtisaari, dan bertemu Tengku Hasan Muhammad Di Tiro, proklamator Aceh Merdeka di Swedia.
Dulu untuk sampai ke Denmark, Tarmizi Age juga harus melalui berbagai rintangan, ditangkap saat masuk ke negara Thailand bersama aktivis Kautsar Muhammad Yus, hingga hidup di penjara Taiping, Malaysia selama 7 bulan 15 hari
Sekarang untuk bertahan hidup dan membiayai keluarga, Tarmizi Age menyewa gerai kecil untuk berjualan di kota padat Tangerang. Ia menamai gerainya dengan nama anaknya, "Tasha & Daniel Berkah Jaya," terletak di Jalan Peusar, Kelurahan Peusar, Panongan, Tangerang, Banten.
Ia punya satu gerai kecil lagi, juga dinamai dengan nama anaknya "Berkah Tania Jaya." Tapi gerai yang ini ia biarkan tutup, karena tak punya modal lagi.
"Saya pindah ke Tangerang karena gagal mendapat pekerjaan di Aceh," kisah Mukkaram, tentang hijrahnya ke Tangerang.
Ia pulang ke Aceh dari Denmark setelah pencapaian perdamaian Aceh. Ia pulang pada tahun 2013, bercita-cita mengembangkan usaha dan mengembangkan potensi dirinya di Aceh, serta berpartisipasi aktif membangun Aceh pasca pendantanganan MoU Helsinki.
Tapi harapan tidak selalu sesuai kenyataan. Bahkan bertolak belakang. Tarmizi Age, yang berasal dari Desa Alue Sijuek, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, merasa gagal berusaha di Aceh, dan membuatnya harus hijrah ke Banten sampai sekarang.
"Harapan saya dulu proses perdamaian berjalan langgeng, dan bisa mengembangkan berbagai usaha dan kegiatan ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Tapi ternyata dalam pelaksanaannya tidak semudah itu," kata Tarmizi.
Waktu di Aceh, Tarmizi Age pernah menjadi kader salah satu partai politik nasional. Ia berencana mengembangkan diri dalam bidang politik.
Tapi, setelah Pemilu, ayah tiga anak ini, mulai kerepotan ekonomi, karena anaknya yang sulung Cut Tania Safira, mendapat kesempatan kuliah di Universitas Bakri, di Jakarta.
September Tania mulai di panggil masuk kuliah, Tarmizi Age dituntut dengan sejumlah kebutuhan anaknya yang mau masuk kuliah. Tarmizi lalu mencari pekerjaan.
Ia berangkat ke Banda Aceh dari Bireuen. Tujuannya mencari kerja guna menutupi kebutuhan kuliah anaknya. "Terkadang saya harus tidur di mobil yang saya parkir di halaman salah satu kantor partai politik berwarna biru, tempat saya bernaung. Terkadang mendapat kesempatan tidur di dalam kantor dengan fasilitas seadanya, beralas spanduk bekas, tanpa bantal. Itu sangat dimaklumi, perjuangan memang mengharuskan kita susah, tidak ada yang senang," tukas lelaki brewokan ini.