Opini

Zakat Fitrah: Dalam Qanun Aceh  

Umat Islam sepakat bahwa salah satu ibadat wajib dalam bulan Ramadhan adalah membayar zakat fitrah (bagi yang mampu), yang ditunaikan

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Zakat Fitrah: Dalam Qanun Aceh   
Prof. Dr. Al Yasa` Abubakar, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh

Oleh Prof. Dr. Al Yasa` Abubakar, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh 

Umat Islam sepakat bahwa salah satu ibadat wajib dalam bulan Ramadhan adalah membayar zakat fitrah (bagi yang mampu), yang ditunaikan akhir Ramadhan sebelum Hari Raya. Untuk Aceh zakat fitrah diatur Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal. Paling kurang ada tiga hal mengenai zakat fitrah yang diatur qanun ini.

Pertama, pengelolaan zakat fitrah tidak menjadi kewenangan Baitul Mal kabupten/kota atau provinsi, tetapi menjadi kewenangan Baitul Mal Gampong [Psl 29 ayat (2) huruf b). Kedua, zakat fitrah boleh dibayar dengan makanan pokok (beras) atau uang seharga beras tersebut. Ketentuan yang terahir diatur dalam Pasal 98 ayat (2) sebagai berikut. Zakat fitrah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  huruf a, merupakan zakat yang wajib dibayar setiap pribadi muslim atau orang tua/wali dalam bentuk makanan pokok atau uang seharga makanan pokok dalam bulan Ramadhan sampai sebelum pelaksanaan Shalat Idul Fitri setiap tahun.

Qanun di atas, secara jelas menyatakan bahwa zakat fitrah boleh dibayar dengan makanan pokok atau uang seharga makanan pokok. Walaupun isi qanun reltif sudah sangat jelas, penulis masih menerima pertanyaaan tentang kebolehan membayar zakat fitrah dengan uang dan laporan tentang adanya edaran, yang menetapkan jumlah uang yang lebih mahal dari harga beras. Untuk itu penulis akan mengutip terjemahan beberapa hadis sebagai berikut.

(a) Hadis riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Turmudzi, Ibnu Majah dan al-Nasa'i dari Abu Sa`id al-Khudhri, dia berkata: Kami (para Sahabat) pada masa Rasulullah, mengeluarkan zakat fitrah untuk orang yang sudah dewasa dan anak-anak, sebanyak satu sha` makanan (yaitu), satu sha` aqith (susu kering, keju), satu sha` munsya`ir (sejenis gandum), atau satu sha` tamar (kurma kering).

Kami selalu membayar seperti itu sampai Mu`awiyah (ketika menjadi khalifah 40-60 H) datang ke Madinah dalam rangka berhaji (`umrah). Pada waktu itu beliau berkhutbah "menurut pendapatku dua mud samra' (setengah sha` gandum Syam) sama dengan satu sha` tamar." Lalu orang-orang beramal mengikutinya; sedang aku tetap beramal seperti masa Nabi, selama aku hidup (sejak saat ini zakat fitrah mempunyai dua ukuran, satu sha` dan setengah sha`).

(b) Hadis yang diriwayatkan Abu Daud dan al-Nasa'i secara mursal dari al-Hasan, dia berkata: Rasulullah mewajibkan zakat fitrah satu sha` tamar, satu sha` sya`ir (sejenis gandum) atau setengah sha` qamh (sejenis gandum; kelihatannya qamh, hanthah dan samra' al-Syam adalah jenis gandum unggul yang harganya lebih mahal dari tamar).

(c) Sebuah hadis lain, Rasulullah menyuruh (para Sahabat) mengeluarkan zakat fitrah untuk dibagi-bagikan pada hari raya Idul Fithri. Beliau bersabda: Kayakanlah (cukupkanlah keperluan) mereka, sehingga tidak pergi berkeliling meminta-minta pada hari ini (tidak harus bekerja mencari nafkah pada hari raya).

Berdasarkaan hadis-hadis di atas, jumhur ulama cenderung sepakat, zakat fitrah musti dibayar sebanyak satu sha` bahan makanan baik yang disebutkan di dalam hadis atau yang tidak disebutkan di dalam hadis (bahan makanan yang digunakan di suatu daerah). Namun menurut Abu Hanifah, sekiranya dibayar dengan makanan utama yang ada di Arab pada masa Rasulullah mesti dibayar satu sha`, sedang kalau dibayar dengan makanan yang diimpor ke Madinah, yang kualitasnya lebih baik cukup setengah sha` saja.

Namun perlu dijelaskan, sha` yang digunakan Abu Hanifah lebih besar dari yang digunakan jumhur. Satu sha` gandum menurut jumhur sama dengan 2,2 kg. Sedang menurut Abu Hanifah sama dengan 3,3 kg. Satu sha` beras menurut ukuran jumhur ulama lebih kurang sama dengan 3,1 liter (2,5 kg.), sedang menurut Abu Hanifah lebih kurang 4,7 liter. Mengenai cara penunaiannya, jumhur ulama cenderung mewajibkannya dengan makanan pokok di daerah tersebut. Namun sekelompok ulama, di antaranya Abu Hanifah, al-Tsawri, al-Hasan al-Bashri, al-Bukhari (perawi hadis) dan Ibnu Taymiyyah membolehkan pembayarannya dengan uang, seharga (qimah) makanan pokok, apabila lebih maslahat. Umar bin Abdul Aziz ketika mejadi khalifah (khalifah Bani Umayyah yang dianggap paling taat dan alim) membolehkan membayar zakat fitrah dengan uang, sebesar setengah dirham.

Yusuf al-Qaradhawi setelah mengutip hadis-hadis dan mendiskusikan pendapat ulama, menarik kesimpulan yang sebagiannya penulis kutip sebagai berikut.

a) Masalah ini merupakan masalah ijtihadiah, karena sebagian Sahabat, memberi izin membayar zakat fitrah dengan jenis makanan yang lebih sedikit takarannya dari yang ditentukan dalam hadis (lihat anjuran Mu`awiyah).

b) Membayar zakat fitrah dengan uang pada masa sekarang akan lebih maslahat, terutama di daerah industri (perkotaan), karena gaji mereka dibayar dengan uang. Kalau mesti dengan beras maka dia perlu membeli beras lebih dahulu. Untuk penerima zakat (orang miskin) pun akan lebih maslahat karena sebagian dari zakat yang mereka terima akan dijual untuk membeli berbagai keperluan lain. Bahkan ada orang yang tidak memerlukan beras, karena setiap hari membeli makanan siap saji (sudah dimasak).

Dari uraian di atas dapat digaris bawahi bahwa zakat fitrah bukan masalah yang murni ta`abbudiah. Zakat fitrah mengandung unsur ta`aqquliah, sehingga bisa dipikirkan manfaat atau `illatnya. Mayoritas ulama menetapkan makanan sebagai `illat pembayaran zakat fitrah, namun sebagian kecil menetapkan nilai dari makanan (harga) sebagai `illatnya (memberi izin membayar dengan uang, seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz). Dengan demikian ketika memperbincangkan pembayaran zakat fitrah dengan makanan atau uang, maka yang kita perbincangkan sebetulnya hanyalah apakah memahami nash secara lugawiah atau memahami dengan illat agar lebih mengandung maslahat.

Pada masa sekarang, membayar zakat fitrah dengan uang senilai harga bahan makanan pokok dianggap lebih maslahat dan lebih lapang untuk umat. Lapang untuk orang yang akan membayar, lapang untuk amil yang akan mengelola dan lapang juga untuk fakir miskin yang akan menerimanya. Kuat dugaan orang miskin lebih untung kalau diberi uang dibandingkan dengan diberi beras. Kalau dia menerima beras lalu dijual, maka harga beras tersebut cenderung rendah, karena beras yang berkualitas baik sudah bercampur dengan beras yang berkualitas rendah.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved