Luar Negeri
Tidak Ada Manfaat, Korea Utara Sebut Akan Mengakhiri Hubungan Kim Jong Un dan Donald Trump
Hal itu disampaikan oleh media pemerintah Korea Utara, KCNA, Jumat (12/6/2020) dalam peringatan dua tahun KTT pertama kedua pemimpin.
Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Safriadi Syahbuddin
Kementerian Luar Negeri AS dan Gedung Putih tidak segera menanggapi pernyataan Menlu Korut tersebut.
Pada hari Kamis (11/6/2020), seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri AS mengatakan kepada kantor berita Korea Selatan, Yonhap bahwa Amerika Serikat tetap berkomitmen untuk berdialog dengan Korea Utara.
“Berdialog secara terbuka untuk pendekatan yang fleksibel untuk mencapai kesepakatan yang seimbang,” katanya.
• Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un Hilang Lagi, Sudah 3 Pekan Tidak Tampak
Korut intervensi Pilpres AS
Korea Utara mengatakan pada hari Kamis (11/6/2020) bahwa Amerika Serikat tidak memiliki urusan untuk mengomentari masalah antar-Korea.
Korea Utara meminta Washington untuk tetap diam jika ingin pemilihan presiden mendatang ingin berjalan lancar.
Melansir dari Reuters, pernyataan itu muncul setelah Kementerian Luar Negeri AS mengatakan pihaknya kecewa dengan Korea Utara karena memutuskan hotline komunikasi dengan Korea Selatan pada Selasa (9/6/2020).
"Jika AS intervensi ke dalam urusan orang lain dengan pernyataan ceroboh, jauh dari mengurus urusan internalnya,
pada saat situasi politiknya berada dalam kebingungan terburuk, itu mungkin menghadapi hal yang tidak menyenangkan yang sulit untuk dihadapi," kata Kwon Jong Gun, direktur jenderal untuk urusan AS di Kementerian Luar Negeri Korea Utara.
Korea Utara meminta Amerika Serikat untuk ‘menahan lidahnya’ dan mengatasi masalah dalam negerinya sendiri.
• Jika Korea Utara Runtuh dan Kim Jong Un Meninggal, Ini yang Akan Dilakukan Amerika, China dan Korsel
"Akan lebih baik tidak hanya untuk kepentingan AS, tetapi juga untuk kelancaran Pilpres mendatang," katanya dalam media pemerintah, KCNA.
Laporan Reuters mengatakan, tidak jelas apa yang akan dilakukan Korea Utara untuk mengganggu pemilu atau menyebabkan masalah bagi kampanye pemilihan kembali Presiden AS Donald Trump, kata James Kim, seorang peneliti di Institut Asan untuk Studi Kebijakan di Seoul.
"Jika ada, ada kemungkinan provokasi bahkan dapat menyatukan negara di sekitar petahana," katanya. (Serambinews.com/Agus Ramadhan)
